Sunday, October 7, 2012

Taira no Masakado

Taira no MasakadoTaira no Masakado by Eiji Yoshikawa
My rating: 4 of 5 stars


When I look around 
Everybody always brings me down
Well is it them or me
Well I just can't see
But there ain't no peace to found
But if someone really cared
Well they'd take the time to spare
A moment to try and understand
Another one's despair
Remember in this game we call life
That no one said it's fair
- Guns N' Roses (Breakdown)

Berapa harga yang harus dibayar oleh seorang anak manusia yang hanya ingin hidup bahagia dan bersahaja di tanah air yang damai?

Taira no Masakado, atau Soma no Kojiro, putra pertama Taira no Yoshimochi, keturunan kelima dari Kaisar Kanmu, tidak punya ambisi besar selain hidup damai di tempat kelahirannya, dataran Bando di Jepang Timur. Namun nasib menentukan lain. Saat usianya menginjak tiga belas tahun, ayahnya meninggal dunia. Sebelum meninggal, sang ayah menitipkan tanah pertanian dan peternakannya kepada ketiga saudara laki-lakinya, untuk diserahkan pada anak-anaknya setelah mereka besar nanti.

Tapi tentu saja, Taira no Kunika, Yoshikane, dan Yoshimasa, yang selama ini merasa iri dengan kekayaan sang kakak, bersekongkol untuk membagi-bagi harta peninggalannya di antara mereka bertiga. Gagal membunuh Kojiro remaja dalam perjalanan mengawinkan kuda ke peternakan lain, mereka menyingkirkannya dengan cara lain: mengirimkan Kojiro ke Ibukota untuk "belajar menjadi pria terhormat".

Kojiro yang lugu (atau bodoh?) dan tak pernah berburuk sangka pun berangkat ke Ibukota, dan akhirnya bertahun-tahun menjadi pelayan kelas rendah di kediaman Fujiwara no Tadahira, Menteri Kiri di pemerintahan. Selama di Ibukota, Kojiro tanpa sengaja berkenalan dan berkawan dengan sekelompok pria terpelajar yang merasa muak dengan dekadensi pemerintah Ibukota yang semakin menyengsarakan rakyat dan diam-diam merencanakan revolusi. Di antara orang-orang yang kelak mempengaruhi jalan hidupnya adalah kepala bandit Yasaka no Fujito dan Inspektur Iyo Fujiwara no Sumitomo.

Pada usia dua puluh sembilan tahun, setelah sempat naik pangkat jadi Inspektur di Pangkalan Pengawal, Kojiro kembali ke kampung halaman untuk menunaikan tugas sebagai kepala keluarga dengan menyandang nama Taira no Masakado. Ia mendapati adik-adiknya hidup terlantar, harta kekayaan ayahnya habis dikuras, dan hampir seluruh tanah ayahnya telah diambil alih oleh ketiga pamannya. Meskipun telah hidup lama di Ibukota dan melihat kenyataan bahwa dunia penuh dengan manusia licik dan penuh tipu daya, ia masih lugu dan percaya bahwa para paman tetap memegang janji pada almarhum ayahnya. Ia pun berangkat ke tempat mereka untuk meminta kembali kekayaan dan tanah yang dititipkan. Hasilnya? Tentu saja ditolak dan dianiaya habis-habisan.

Apakah Masakado langsung melawan ketidakadilan yang menimpanya? Tidak. Ia bertekad mengembalikan kesejahteraan keluarganya dengan kerja keras, bukan kekerasan. Ia mengoptimalisasi tanah pertanian dan tanah peternakan yang tersisa, dan perlahan-lahan kehidupannya kembali makmur seperti saat ayahnya masih hidup. Bahkan saat musim paceklik, kekayaannya malah bertambah. Karena perkembangan pesatnya dan sifatnya yang senang membantu orang lain, sekutu pun mulai bertambah.

Takdirnya sebagai dewa perang yang tercatat dalam sejarah awal era samurai di Jepang dimulai justru setelah ia merasa sudah waktunya untuk berkeluarga. Sayangnya, Kikyo, gadis yang dipinangnya ternyata diincar oleh Tasuku dan Takashi, putra sulung dan kedua Minamoto no Mamoru dari klan Hitachi Genji, tuan tanah nomor satu di dataran Bando. Cemburu buta dan patah hati, ditambah hasutan trio paman Masakado yang merasa terancam oleh kebangkitan sang keponakan, mereka sepakat untuk membunuh Masakado dengan jebakan upacara kematian mendiang Taira no Yoshimochi, undangan yang tak mungkin ditolak Masakado.

Di luar dugaan, usaha penyergapan Masakado yang kelak dikenal dengan pertempuran Nozume malah menjadi bumerang bagi para penyerangnya. Masakado selamat karena bantuan dari adik-adik dan anak buahnya yang mengikuti diam-diam. Kadung sudah berperang, daripada kembali ke rumah untuk bertahan dari serangan lanjutan, Masakado pun memimpin pasukannya untuk lebih dulu menyerang lawan. Di sepanjang jalan, para prajurit lokal yang membenci klan Hitachi Genji serta trio Kunika, Yoshimasa dan Yoshikane, bergabung dengan pasukan Masakado. Apalagi sebelumnya daerah itu merupakan wilayah kekuasaan Taira no Yoshimochi. Tahu-tahu pasukan Masakado berlipat ganda. Dan sebagai akibatnya, Masakado menang dengan mudah!

Dalam pertempuran ini, ketiga putra Minamoto no Mamoru tewas, dan Kunika bunuh diri. Namun tentu saja, perang tidak berakhir di sini. Perang yang awalnya didasari konflik internal klan Taira pun meluas, hingga lama-lama bikin gerah pemerintahan pusat. Sementara Yasaka no Fujito mengipas-ngipasi Masakado, Taira no Sadamori, putra Kunika dan sepupu Masakado, bergerilya di Ibukota untuk menumpas Masakado sebagai pemberontak. Belum lagi di tempat lain Fujiwara no Sumitomo juga memulai pemberontakan.

Masakado yang sebenarnya hanya ingin hidup tenang dan damai akhirnya dikendalikan oleh keadaan. Dendam antar keluarga mulai bertumpuk. Mata dibayar mata, gigi dibayar gigi. Ia tak bisa berbalik, apalagi setelah istri dan anaknya tewas. Konon, ia berperang seperti Asura (lho kok malah jadi ingat Sakhrukh Khan di sini?), merebut provinsi demi provinsi, bahkan sebagian orang menobatkannya sebagai Kaisar Baru. Tapi kebahagiaan sederhana yang diidamkannya tak lagi menghampirinya.

Sejarah mencatat Masakado akhirnya kalah dan gugur, pada tanggal 14 Februari 940. Usianya baru tiga puluh delapan tahun saat itu. Masih muda untuk ukuran zaman sekarang. Apakah ia mendapatkan ketenangan yang didambakannya setelah kematian datang menjemput?

Mungkin tidak. Taira no Masakado telah menjadi urban legend yang sangat populer sampai saat ini. Konon, kepalanya yang dipenggal dikirim ke Kyoto untuk dipamerkan pada publik tidak membusuk selama berbulan-bulan. Lantas, si kepala terbang ke arah kampung halamannya, sebelum akhirnya mendarat di desa Shibasaki (sekarang masuk wilayah Tokyo). Para penduduk desa menyucikan dan mengebumikan kepala itu di Kuil Kanda Myojin. Selama berabad-abad arwah Masakado dikabarkan menimbulkan peristiwa-peristiwa aneh yang tidak masuk akal sehingga diperlukan berbagai cara untuk menenangkan arwahnya. Jadi, jangan coba-coba menggusur makamnya kalau tidak mau kena kutuk. Oleh karena itu, kuil tempat kepalanya bersemayam sampai saat ini masih terpelihara dengan baik di Tokyo.

Sebagai tambahan, karena gambar-gambar Taira no Masakado yang kutemukan di internet tidak ada yang cukup keren untuk kupajang di sini (apalagi gambar kepala gentayangannya!), kupajang saja chara arwahnya dari game Shin Megami Tensei. Hm... masih kurang seram sih.


View all my reviews

2 comments:

  1. Baru sekali ini aku baca review novel biografis tokoh sejarah jepang. Aku lebih prefer baca komiknya sih.. :P

    ReplyDelete
    Replies
    1. IMHO, komik Vagabond-nya Inoue Takehiko selevel dengan novel sumbernya, Musashi-nya Eiji Yoshikawa. Aku juga lebih suka Shanaou Yoshitsune-nya Hirofumi Sawada daripada novelnya. Tapi untuk novel Taiko atau Taira no Masakado ini, aku belum pernah nemu versi komiknya.

      Delete