Monday, April 29, 2013

Where's Rhodey?

Marvel's Iron Man 3 The Movie PreludeMarvel's Iron Man 3 The Movie Prelude by Will Pilgrim
My rating: 4 of 5 stars

Komik Iron Man 3 Prelude ini merupakan missing link antara film Iron Man 2, The Avengers dan Iron Man 3, khususnya untuk menjelaskan pertanyaan "Di mana James Rhodes saat New York diserang alien dari dimensi lain?"

Selepas film Iron Man 2, Rhodey mengembalikan Iron Man Mark II kepada Tony Stark. Tony langsung mempereteli senjata Hammer Tech dari Mark II, yang menurutnya sama saja dengan corat-coret anak TK di lukisan Monalisa. Tapi toh bukan berarti Tony tidak mau meminjamkan teknologinya pada Dephankam AS. Ia malah menciptakan armor War Machine baru untuk Rhodey, yang dilengkapi persenjataan Stark Tech tentunya. Armor inilah yang kelak bakal dicat ala Captain America dan dinamai Iron Patriot di film Iron Man 3.

Sementara Tony sibuk dengan proyek barunya yaitu membangun Stark Tower yang akan menjadi gedung pencakar langit pertama yang menggunakan energi bersih, Rhodey dengan armor barunya sibuk menjalankan misi-misi pemerintah khususnya yang berhubungan dengan teroris Ten Rings di seluruh penjuru dunia. Sayangnya, di mana-mana orang mengira dan memanggilnya Iron Man O.o. Memangnya enak, jadi pemeran pengganti?

Jadi, waktu "situation in New York" terjadi, Rhodey tak bisa memenuhi panggilan darurat Tony, secara sedang bertempur dengan teroris yang ingin melindasnya jadi segepeng pizza dengan tank. Andaipun bisa segera pergi, dengan kecepatan supersonik pun paling cepat ia sampai satu jam lagi. Ups, ada kejadian lucu di sini: Tank teroris menggunakan Ex-Wife dari Hammer Tech. Rhodey yang mengira senjata itu sama mandulnya dengan waktu dipakai War Machine jadi kena batunya :)

Karena itu, Rhodey baru sampai ke New York setelah semuanya selesai, dan sistem pelacak War Machine akhirnya membawanya ke sebuah lokasi, di mana ia mendapati Tony sedang menikmati shawarma bersama superfriends-nya dan menyuruhnya ikut makan juga.

Just like that.

Eh, by the way, di akhir komik Tony memamerkan persiapannya kepada Rhodes untuk menghadapi berbagai macam situasi yang bisa terjadi di masa yang akan datang.

"Let me guess. A new suit?" tebak Rhodey.
"You're thinking too small," tukas Tony. "J.A.R.V.I.S., open Project Wine Cellar."

Menurut Tony, satu Iron Man saja tidak cukup, meskipun diback-up dengan War Machine. Karenanya, ia membangun Iron Legion. Jadi jangan heran kalau di film Avengers Iron Man terbaru adalah Mark VII, di awal film Iron Man 3 tahu-tahu sudah prototipe Mark 42 saja.

Tapi adegan Tony pamer koleksi armornya pada Rhodey di sini tidak sinkron dengan adegan final film Iron Man 3, sewaktu J.A.R.V.I.S. menjalankan House Party Protocol. Karena di film jelas-jelas Rhodey kelihatannya kaget melihat bala bantuan yang didatangkan Tony.

Tapi bagaimanapun, this is a nice reading.

View all my reviews

Tuesday, April 23, 2013

World's Most Wanted

The Invincible Iron Man, Vol. 2: World's Most Wanted, Book 1The Invincible Iron Man, Vol. 2: World's Most Wanted, Book 1 by Matt Fraction
My rating: 4 of 5 stars



Roda nasib selalu berputar, kadang di atas kadang di bawah. Tony Stark sebenarnya sudah banyak makan asam-garam kehidupan, sudah beberapa kali bangkrut sebelum meraih kembali kejayaannya. Tapi siapa sangka, selepas Civil War di mana ia sibuk memburu para superhero underground supaya mau registrasi, terus jadi Direktur S.H.I.E.L.D., eh belakangan malah jadi World's Most Wanted, diburu S.H.I.E.L.D. sampai ke ujung dunia, lalu semua harta kekayaannya disita dan dilikuidasi.


Ini mah sudah jatuh, tertimpa tangga, kelindes buldozer. Twewewww banget nggak sih! Belum cukup ya, kalau Iron Man dimusuhi setengah superhero Amerika gara-gara Superhero Registration Act.

Tapi Tony Stark memang pantas dibilang visioner. Di episode Civil War, ia sudah dapat membayangkan bagaimana jadinya kalau ia tidak berdiri di pihak pemerintah dan terjun langsung mengurus rekan-rekannya sesama superhero. Karena bisa saja tugas yang sebenarnya nggak enak itu jatuh ke tangan orang lain yang tidak bisa dipercaya, misalnya... Norman Osborn! Yap, itu yang terjadi di cerita ini. Gara-gara gagal mencegah invasi alien Skrull, Tony dipecat dari posisi Direktur S.H.I.E.L.D. dan digantikan oleh Norman Osborn, biar dibilang "mantan" yang namanya supervillain tetap saja kita tahu CV-nya seperti apa.

Jadi, apa yang Tony lakukan untuk melindungi rekan-rekannya, baik yang sudah teregistrasi maupun yang masih underground?
1. Memasang virus yang akan menghancurkan hampir seluruh data rahasia S.H.I.E.L.D termasuk data para superhero begitu Osborn mencoba membuka data dimaksud
2. Karena virus ekstremis yang dimilikinya membuat otak Tony bak harddisk satu-satuna yang tersisa yang menyimpan semua data rahasia S.H.I.E.L.D., Tony pun menginjeksi dirinya dengan virus yang perlahan-lahan akan menghapus semua memori yang ada di sel-sel otaknya. Ya, saudara-saudara sekalian, Tony Stark yang superduper jenius perlahan-lahan akan menjadi semakin bodoh, dan pasti bakal mengalami vegetative state. Kenapa nggak bunuh diri aja sekalian sih, kan beres? Sepertinya tidak semudah itu, karena meskipun Tony mati data di otaknya tetap saja masih bisa didownload oleh musuh.
3. Going underground

Ya, ya, ya... buat yang sebal dan menganggap Tony otoriter, sadis, dan tanpa ampun di episode Civil War, inilah saatnya untuk bilang "Rasain, lu!" atau "Karma tuh!" ^_^ Tapi dalam kondisi sakit kejepit begini Tony malah tidak mau minta bantuan rekan superhero karena tidak mau melibatkan mereka, termasuk Rhodey. Ia hanya meminta bantuan secara pribadi kepada Maria Hill dan Pepper Potts.

Dan entah paranoid, pengalaman masa lalu, atau memang sudah memperhitungkan semua probabilitas, Tony ternyata sudah siap menghadapi kondisi seperti ini. Siapa sangka waktu ia menggunakan teknologi arc reactor untuk menyelamatkan nyawa Pepper Potts sebenarnya ia juga sudah menyiapkan armor suit buat asprinya itu? Rupanya ini Rescue Armor yang disebut-sebut dalam gosip-gosip terkait film Iron Man 3 (baru tahu ternyata adanya di arc yang ini).

Lalu bagaimana nasib Tony selanjutnya? Apakah kita akan menyaksikan Tony mengalami kerusakan otak yang sengaja dibuatnya sendiri? Bagaimana kelangsungan rezim Osborn sebagai Direktur S.H.I.E.L.D?

Terus terang teu terang abdi mah. Masih bersambung. Harus mengunduh lanjutannya lagi, atau kalau iseng mengunduh juga sekalian komik superhero Marvel lainnya yang masih tie-in atau termasuk dalam seri Dark Reign ini.

Khusus buat yang kepingin tahu bagaimana tampang Tony Stark yang tanpa kumis dan berambut cepak, sila baca komik yang satu ini. Aneh euy...

*dibaca dalam rangka menyambut penayangan film Iron Man 3*

View all my reviews

Monday, April 22, 2013

What's So Civil 'Bout War Anyway

Civil War Prose NovelCivil War Prose Novel by Stuart Moore
My rating: 5 of 5 stars


Look at your young men fighting
Look at your women crying
Look at your young men dying
The way they've always done before

Look at the hate we're breeding
Look at the fear we're feeding
Look at the lives we're leading
The way we've always done before




Hari Sabtu tanggal 13 April 2013 lalu, aku iseng-iseng mampir ke Periplus Plaza Senayan untuk mencari novel Headhunters-nya Jo Nesbo. Tapi baru saja masuk, mataku langsung menemukan tumpukan buku ini terpajang manis di display buku anak-anak. Sampulnya bernuansa gelap, dengan tulisan judul besar-besar "CIVIL WAR" dan ilustrasi Iron Man dan Captain America, disertai tulisan "MARVEL" berlatar merah di punggung buku. Jantungku berdebar kencang. Aku sudah membaca graphic novel Civil War yang kudownload dari freecomicsdownload.com tapi belum punya aslinya, apakah ini versi tankobon berukuran mungil seperti manga?

Menilik nama penulis di sampulnya, ternyata bukan Mark Millar melainkan Stuart Moore, dan tercantum di atas namanya tulisan imut nyaris tak terbaca: adapted from the graphic novel by Mark Millar and Steve McNiven. Wow! Ini novelisasi dari versi komiknya! Wajib punya!!!
*langsung meluncur ke kasir dan tidak kecewa-kecewa amat waktu dibilang persediaan novel Headhunters sudah ludes tak bersisa*

Novel ini boleh dibilang kubaca Senin-Kamis, maksudnya dari hari Senin sampai hari Kamis, yang berarti makan waktu cukup lama buatku. Bukan karena novelnya tidak menarik sih, sebaliknya malah, tapi karena bacanya disayang-sayang supaya tidak segera tamat. Dan tentu saja, dalam membaca buku ini, di benakku yang tertayang adalah VERSI MOVIE (ngarepbanget.com) dengan casting para aktor/aktris yang sudah wara-wiri di Marvel Cinematic Universe maupun film-film Marvel yang lisensinya dipegang studio lain. Film The Avengers yang hanya mempertemukan empat superhero Marvel plus agen-agen S.H.I.E.L.D. tidak ada apa-apanya dibandingkan megacrossover yang menampilkan pertarungan antar superhero dunia Marvel (minus X-Men) ini!

Lantas, bagaimana novel ini kalau dibandingkan dengan versi komiknya? Sama halnya dengan novelisasi film, pembaca mendapatkan cerita yang lebih lengkap dan melihat dari sudut pandang masing-masing karakter sehingga dapat lebih memahami jalan pikiran dan motivasi atas tindakannya, khususnya dari empat karakter utama yang menonjol di sini: Tony Stark, Steve Rogers, Peter Parker, dan Sue Storm.

Novel Civil War ini boleh dibilang intrepetasi ulang Stuart Moore atas versi komiknya, sehingga meskipun 99% jalan ceritanya sama, boleh dibilang berada di dimensi yang berbeda dari versi komik. Mengapa? Karena berbeda dengan versi komiknya yang terbit sebelum film Iron Man (2008) ada, Stuart Moore berkreasi dengan mengambil referensi dari film-film Marvel atau mengupdate sesuai kondisi sekarang. Misalnya ada reporter Christine Everhart di konferensi pers UU Registrasi Superhero, Peter Parker yang masih bujangan (di versi komik sudah menikah), atau para superhero yang menggunakan twitter untuk menyatakan prinsip, dll.

Di dunia Civil War ini, Bruce Banner sedang menyepi jauh di angkasa luar, Nick Fury tewas dalam menjalankan tugas, dan Thor sudah tiada pada Ragnarok entah di dunia mana. Avengers masih berduka karena kehilangan salah satu anggota terbaiknya, dan Tony Stark berusaha mengajak Peter Parker untuk menjadi anggota tetap Avengers menggantikan posisi Thor. Meskipun tidak pede bisa menggantikan seorang dewa, bagaimana Peter tidak terpikat? Tony memiliki segala yang ia impikan! Ditambah lagi, sebagai sesama ilmuwan (senior dan junior tentunya) mereka bisa berbicara dengan bahasa yang sama. Selain mendapat hadiah kostum canggih dari Tony menggantikan kostum merah-biru yang dijahitnya sendiri, Peter pun mendapat honor besar sebagai anggota Avengers. Wih selamat tinggal masa-masa bokek!

Dan di dunia ini, sudah terlalu banyak “superhero” dan “villain” yang meresahkan warga biasa. Di antaranya terdapat “superhero” dengan akreditasi nyaris tak terdengar. Bagaimana caranya supaya bisa terkenal? Buat reality show sendiri. Itulah yang dilakukan sekelompok superhero remaja “New Warriors”. Dengan show yang sudah memasuki Season 2 tapi ratingnya terus menurun, mereka seakan mendapat rating-booster waktu menemukan tempat persembunyian empat villain yang tercantum dalam daftar FBI Most Wanted. Meskipun tahu level power mereka lebih rendah, demi rating mereka tetap menyerbu. Serbuan itu berbuah maut ketika salah satu target mereka, Nitro, meledakkan diri. Ledakan yang menewaskan delapan ratus lima puluh penduduk di kota Stamford, Connecticut, itulah yang kemudian membangkitkan kemarahan warga biasa terhadap para superhero yang membuat pemerintah Amerika Serikat menetapkan Undang-Undang Registrasi Superhero (SRA).


Dunia superhero pun terbelah, antara pendukung SRA yang dipimpin Iron Man dan penentang SRA yang dipimpin Capt. America. Sebagai pembaca, sungguh sulit memutuskan untuk mendukung pihak mana, karena setiap pihak memiliki alasan dan motivasi yang dapat diterima, tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya.

Bayangkan bila kita hidup di Marvel Universe, sebagai pekerja kantoran biasa yang tak punya kekuatan super apapun. Bagaimana rasanya melihat para superhero berkeliaran dengan bebasnya? Mungkin kehadiran mereka membuat kita merasa aman, apalagi kalau kita merasa polisi dan tentara kurang mampu mengatasi para supervillain apalagi malah sibuk perang antar mereka sendiri. Tapi mungkin juga kehadiran mereka membuat kita was-was dan takut, kalau-kalau pertarungan antara mereka dengan supervillain akan melibatkan kita. Lagi sibuk-sibuknya menyusun konsep kebijakan di kantor, tiba-tiba Hulk menerjang numpang lewat untuk menghancurkan alien di gedung sebelah. Atau lagi enak-enaknya tidur tiba-tiba ketimpa atap yang runtuh, atau menguap tanpa sisa seperti para penduduk Stamford.

Hak manusia biasa itulah yang dilindungi oleh SRA, yang mewajibkan para superhero mendaftarkan diri ke pemerintah dan menjadi... Pegawai Negeri Sipil. Ya, untuk manajemen risiko, superhero yang boleh beraksi hanya yang sudah terdaftar dan punya lisensi dari pemerintah (dan digaji dari uang pajak masyarakat pula!). Sementara superhero yang membangkang dan ogah jadi agen pemerintah dianggap melanggar hukum dan harus ditangkap.

Tony Stark mendukung SRA karena baginya tidak ada pilihan lain untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada superhero setelah tragedi Stamford. Daripada membiarkan seluruh superhero dianggap pelanggar hukum, lebih baik ambil jalan tengah dengan registrasi. Dan demi meminimalkan korban, daripada membiarkan pemerintah/ S.H.I.E.L.D. memburu sendiri para superhero pembangkang, ia memilih untuk bekerja sama dengan catatan ia sendiri yang memimpin perburuan.

Tony memiliki semua sumber daya dan teknologi untuk itu, dan usahanya didukung oleh para superhero/ilmuwan jenius yang setara, seperti Reed Richards dan Hank Pym. Termasuk Peter Parker, yang mengagumi dan mempercayai Tony, sehingga bersedia meregistrasikan diri dan mengungkapkan identitasnya pada konferensi pers SRA (Stuart Moore menghapus adegan J. Jonah Jameson terjungkir dari kursi waktu melihatnya di TV, huh).

Identitas Tony Stark sendiri sudah lama menjadi milik publik, dan hubungan baiknya dengan pemerintah sebagai kontraktor Homeland Security sudah tak usah ditanya lagi. Jadi wajar saja kalau Tony berdiri di pihak pemerintah. Dan mungkin wajar saja mempertanyakan apakah dengan SRA ini Tony malah jadi semakin kaya dengan bertambahnya proyek keamanan pemerintah yang ditanganinya, termasuk membangun “penjara” bagi para supervillain dan superhero pembangkang yang jauh lebih canggih dan super dibandingkan Arkham Asylum.

Sedangkan Captain America yang menentang SRA... yah, menurutku sebenarnya agak aneh sih motivasinya. Soalnya sejauh yang aku tahu (dari versi MCU-nya, karena aku hampir tak pernah baca serial komiknya), sebagai prajurit Cap patuh buta alias just follow orders dari pemerintah, berbeda dengan Tony yang pakai batasan dalam bekerja sama. Okelah, dia trauma dengan fasisme Nazi, dan mempersamakan tekanan terhadap kebebasan bertopeng dan bertindak para superhero sama seperti tekanan Nazi pada kaum minoritas Eropa di zamannya. Apalagi pihak pemerintah menggunakan jargon Mbah Bush “you’re either with us, or against us” dan memenjarakan para superhero tanpa peradilan di Negative Zone-nya Tony dan Reed Richards, sama seperti perlakuan terhadap para “tersangka teroris” yang dijebloskan ke Guantanamo. (Ke mana saja dia waktu War on Terror?!! Eh, sori lupa waktu itu dia masih jadi Capsicle, ya?). Singkat cerita, di mata Cap, Tony Stark dengan segala kecanggihan teknologinya sama zalimnya dengan Hitler, Mussolini dan Stalin diblender jadi satu, musuh yang harus dihabisinya sebelum ia tertidur panjang.

Yang jelas, sudah pasti bagian paling seru dari novel ini adalah perang antar superhero. Perang antara para superhero ilmuwan yang mengandalkan otak dan teknologi dengan superhero jalanan yang mengandalkan otot. Para superhero mutan X-Men sendiri memilih pasif dan mengurung diri di akademi, mungkin mereka sudah cukup trauma dengan perang antarmutan. Cuma Wolverine, yang merangkap anggota Avenger, yang sempat muncul paska bencana Stamford, hanya untuk menyampaikan pesan bahwa X-Men netral dan tak mau terlibat. Sisanya tawuran habis-habisan. Terlalu banyak superhero termasuk yang tidak kukenal di sini untuk dapat disebut satu persatu. Tapi tragedi yang mengguncangkan semua superhero terjadi sewaktu Thor menghancurkan jantung Goliath dengan petirnya. Thor?! Lho, katanya sudah mati? Benar, Thor sudah mati. Tapi Tony , Reed dan Hank berhasil membuat kloningnya, yang memiliki kekuatan persis aslinya tapi hanya berfungsi seperti robot.

Tragedi Goliath membuat peta kekuatan bergeser. Peter yang merasa kecewa Tony memutuskan untuk menyeberang ke pihak Cap, begitu pula anggota Fantastic Four lain meninggalkan Reed Richards. Sue dan Johnny bergabung dengan Cap sementara Ben mengungsi ke luar negeri. Tapi bukan berarti kekuatan pihak Tony berkurang, karena banyak juga superhero dari pihak Cap yang akhirnya mendaftarkan diri, belum lagi para supervillain yang “bertobat” dan dikondisikan menjadi superhero.

Lalu akhirnya, siapa yang menang?



Bukan siapa-siapa. Perang berakhir bukan karena satu pihak berhasil mengalahkan pihak yang lain. Perang berakhir karena Cap akhirnya melihat bahwa perang itu tak ada artinya, bila mereka hanya memperjuangkan kebebasan dan hak asasi diri sendiri tanpa mempedulikan kebebasan dan hak asasi orang lain: para manusia biasa. Perang berakhir karena Cap akhirnya melihat alasan di balik dukungan Tony cs terhadap SRA, dan akhirnya menyerah demi kebaikan bersama. Tidak semua pengikut Cap dapat memahami keputusannya, tentu saja. Sebagian tetap berjuang underground, sebagian lagi memilih pindah negara lain seperti Kanada yang tidak memberlakukan SRA. Tapi sebagian besar superhero, di bawah pimpinan Tony, bergabung dengan program pemerintah yang menempatkan satu tim superhero di masing-masing negara bagian. Tony sendiri mendapat satu pekerjaan baru, menjadi pemimpin S.H.I.E.L.D.

And
I don't need your civil war
It feeds the rich while it buries the poor
Your power hungry sellin' soldiers
In a human grocery store
Ain't that fresh
I don't need your civil war

Look at the shoes your filling
Look at the blood we're spilling
Look at the world we're killing
The way we've always done before
Look in the doubt we've wallowed
Look at the leaders we've followed
Look at the lies we've swallowed
And I don't want to hear no more

My hands are tied
For all I've seen has changed my mind
But still the wars go on as the years go by
With no love of God or human rights
'Cause all these dreams are swept aside
By bloody hands of the hypnotized
Who carry the cross of homicide
And history bears the scars of our civil wars


Marvel’s Civil War
Cast

Tony Stark : Robert Downey Jr.
Steve Rogers / Johnny Storm : Chris Evans (double casting + honor)
Peter Parker : Tobey Maguire (aku lebih suka versi Tobey daripada Andrew Garfield)
Reed Richards : Ioan Gruffudd
Sue Storm : Jessica Alba
Ben Grimm : Michael Chiklis
Clint Barton : Jeremy Renner
Thor : Chris Hemsworth
Matt Murdock : Ben Affleck
Frank Castle : Ray Stevenson (kayaknya lebih pas daripada Thomas Jane dan Dolph Lundgren)
Logan : Hugh Jackman

Director : Joss Whedon

I don't need one more war
Whaz so civil 'bout war anyway


“Civil War” - Guns N’ Roses

View all my reviews

Monday, April 15, 2013

The Hunt Is On...

HeadhuntersHeadhunters by Jo Nesbø
My rating: 5 of 5 stars


Buatku, membaca dan menonton film bukan hobi yang bisa dipisahkan, karena yang menjadi pembeda di antara keduanya hanya media yang digunakan dalam storytelling. Karenanya, aku suka novel-novel movie-tie-in. Ada film yang diangkat dari novel? Baca dulu novelnya, baru tonton filmnya. Ada naskah film yang dinovelisasi? Tonton filmnya dulu, baca baca novelnya.

Itu kondisi idealnya, karena sering juga terjadi sebaliknya sih. Aku sudah membeli novelisasi film Spider-Man 3 sebelum filmnya beredar, bahkan membacanya sambil mengantri tiketnya pada hari pertama pemutaran film di Blitz Megaplex PVJ Bandung. Atau aku menonton sebuah film dulu, lantas karena suka baru deh sibuk mencari-cari novel sumbernya. Itulah yang terjadi untuk film/novel genre thriller dari Norwegia ini:



Pertama menemukan judul film ini di internet waktu film The Raid sedang hot-hotnya. Kebetulan film ini juga diputar di TIFF 2011 dan juga mendapat review yang positif dari para kritikus. Karenanya, waktu menemukan DVD ini di lapak belakang kantor sebelum filmnya diputar cineplex Jakarta, langsung kubeli tanpa peduli kalau film ini berbahasa Norwegia. Yang penting kan kualitasnya sudah bagus dan ada subtitle bahasa Inggrisnya :)

Waktu luang yang sempit membuatku sering multitasking antara membaca buku, menonton film dan browsing internet. Kebetulan film ini mendapat nasib dimultitasking, dan dari semua pemainnya aku cuma tahu si ganteng Nikolaj-Coster Waldau yang main di serial TV Game of Thrones sebagai Jaime Lannister. Tapi tentu saja tak perlu waktu lama buatku untuk menyingkirkan buku dan laptop, untuk fokus menonton film ini. It's that good, for me anyway.

Nah, begitu tahu ini film adaptasi, aku mencari novelnya di internet, dan akhirnya dapat juga dalam format epub di situs book torrent langganan. Meskipun begitu, bukan jaminan langsung dibaca sih, karena pameran buku yang bertubi-tubi membuat tumpukan buku di kamar kost menjadi prioritas utama untuk dibaca duluan.

Tapi karena nggak sengaja lihat novel ini terpajang manis di Periplus Plaza Senayan minggu lalu, aku jadi berpikir untuk menyiasati prinsip "lebih dulu baca buku fisik ketimbang baca buku digital" itu dengan membelinya... Strategi yang tidak bersahabat dengan dompet, tentu saja, apalagi waktu kemarin sowan lagi ke Periplus, novel yang minggu lalu kulihat masih setumpuk (kata CSnya sih ada 50-an jilid) habis diborong orang! Setelah berpikir bolak-balik, akhirnya beli juga di Kinokuniya dengan harga yang lebih mahal... hiks3x

Baiklah, setelah pendahuluan plus curcol yang cukup panjang, aku harus kembali ke khittah bahwa ini adalah review buku. Jadi, apakah novelnya memberikan kesan yang sama dengan filmnya?

YES. It's that good, for me it worthed the price (buang bon kino ke tempat sampah).

So, apanya sih yang menarik? Sharing sedikit deh, mudah-mudahan nggak spoil :

1. Protagonisnya tidak keren

Namanya biasa banget: Roger Brown. Waktu nonton filmnya sempat bingung, ini kok orang Norwegia namanya Inggris/Amerika banget, tanpa ada penjelasan apa-apa (jadi dejavu orang Finlandia bernama Michael J. Fox di novel Hafalan Solat Delisa). Setelah baca novelnya, jadi tahu bahwa dia memang blasteran karena ayahnya memang orang Inggris. Tampangnya juga biasa banget dengan tinggi di bawah rata-rata, tepatnya 1,68 m, dan dia sensitif banget tentang tinggi badannya dan sadar kalau overkompensasi ke hal lain. Kelebihan fisik yang paling menonjol dan dibanggakan adalah rambutnya :)


Sorry ya Askel Hennie, dibilang nggak keren, tapi aktingmu keren kok!


Roger Brown merupakan headhunter yang sukses, cerdas, arogan, dan manipulator ulung (interviewnya pakai teknik interogasi!). Ia sangat mencintai istrinya yang high maintenance, tapi tidak sungkan selingkuh dengan perempuan biasa. Gaya hidupnya yang high class dan besar pasak daripada tiang dibiayai dari profesi sampingannya: pencuri karya seni. Profesi utama sebagai headhunter memberi banyak keuntungan untuk profesi sambilannya. Dalam interview, topik bisa mengarah ke keluarga, hobi, karya seni yang terpajang di rumah, sistem keamanan, sampai ada anjing atau tidak di rumah :)

2. Antagonisnya keren sekali

Sekeren Nikolaj-Coster Waldau tentunya!


Clas Greve, pria tampan, pintar, berkharisma, mantan CEO HOTE, perusahaan teknologi GPS di Rotterdam. Roger Brown sendiri mengakui Greve sebagai spesimen fantastik yang dapat menandingi teknik interogasinya. Belakangan diketahui bahwa Greve juga mantan pasukan khusus yang berspesialisasi dalam melacak target.

3. Plot yang cepat dan tak terduga

Dibuka dengan narasi Roger Brown tentang hukum fisika dasar untuk menjelaskan tabrakan antara truk 25 ton dengan mobil 1800 kg masing-masing dengan kecepatan 80 km/jam dan bahwa ia akan mati sebentar lagi karena berada di mobil sial itu, kita dibawa mundur beberapa waktu sebelum kecelakaan.

Roger Brown bertemu dengan Clas Greve di pameran seni yang diadakan di galeri istrinya, Diana. Ia langsung mengincar Greve sebagai kandidat sempurna untuk posisi CEO di Pathfinder, perusahaan teknologi GPS Norwegia. Roger juga girang setengah mati mendapati Greve juga ternyata memiliki lukisan karya Reubens yang konon hilang waktu Perang Dunia II.

Dengan bantuan partner-in-crime-nya, Ove Kjikerud, Roger sukses mencuri lukisan di apartemen Greve. Hanya saja, tanpa sengaja ia menemukan ponsel istrinya di kamar tidur Greve. Hatinya hancur dan mimpi buruknya pun dimulai...

Roger mendapati Ove mati di mobil Volvo-nya karena tertusuk jarum beracun, dengan teknik yang pernah dilakukan Greve saat masih di pasukan khusus. Saat itulah ia sadar bahwa Greve mengincar nyawanya, tapi pertama-tama ia harus menyingkirkan mayat Ove...

Dari titik ini, cerita bergulir dengan pace yang cepat dalam mengikuti petualangan survival Roger. Dari acara membuang mayat Ove ke danau (dan ternyata Ove masih hidup!), hampir mati ditembak Ove gara-gara Roger tak mau membawanya ke rumah sakit, diburu Greve dan anjing pelacaknya sampai terpaksa bersembunyi di tangki tinja WC (unforgettable scenes, lebih parah dari film Slumdog Millionaire!), digigit anjing (di leher!), ditangkap polisi, nyaris tewas karena mobil polisi yang menangkapnya ditabrak truk 25 ton yang dikendarai Greve...


Please tell me, mananya yang bukan spoiler??? :P


Yang jelas, filmnya ternyata sangat setia dengan novelnya sampai ke detailnya, kecuali di beberapa adegan tertentu, misalnya waktu Greve sempat-sempatnya buang hajat di WC sementara Roger sembunyi di bawahnya (Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!) . Mungkin sutradaranya yang nggak tega. Atau Nikolas-Coster Waldau yang ingin jaga imej kalau cowok ganteng nggak buang hajat (di WC jorok lagi). Atau Askel Hennie yang jelas nggak mau semakin trauma... (Jadi penasaran apakah isi tangki itu berisi coklat yang bisa dimakan seperti di film Trainspotting atau...)

Jadi, daripada spoiler berkepanjangan, biarlah masih tersisa beberapa pertanyaan:
Mengapa Greve ingin membunuh Roger?
Bagaimana caranya Roger meloloskan diri?

Jo Nesbo berhasil membawa pembaca untuk bersimpati pada protagonis yang SOB dan menyebalkan, lantas menutup novel ini dengan twist cerdas, yang dipatuhi oleh Morten Tyldum sampai ke titik komanya.

Highly recommended for those who have the stomach to read the novel or see the movie!

View all my reviews

Thursday, April 11, 2013

Queen's Butler Karin

QB Karin Vol. 1QB Karin Vol. 1 by Yuriko Nishiyama
My rating: 4 of 5 stars

Setelah bertahun-tahun akhirnya karya mangaka yang menelurkan serial Harlem Beat dan Dragon Voice yang termasuk favoritku terbit lagi di sini. Meskipun tokoh utama serial ini, Karin, adalah cewek, tapi nuansa khas Yuriko Nishiyama-nya terasa sekali. Dari charasnya sampai pola ceritanya, entah kenapa mirip dengan charas dan pola cerita di dua serial sebelumnya, bikin deja vu saja.

Oke, ceritanya memang beda sih, serial ini berkisah tentang polwan biasa yang mendadak bergabung dengan tim SP atawa pengawal khusus para wanita penting yang bernama QB (singkatan dari Queen's Butler, sih, tapi kok ingatanku koneknya ke Queen Bees terus, ya?), yang berisi cowok-cowok ganteng pilihan yang semuanya memiliki keahlian khusus di berbagai bidang. Tapi nuansanya mirip-miriplah: tokoh utamanya junior atau pemula yang dikelilingi dan dididik oleh para senior yang jago, tapi diam-diam punya potensi dan bakat terpendam yang selanjutnya akan menjadi senjata rahasia tim.

So, apa bedanya Karin dengan Naruse dan Rin Amami, bahkan sampai chara-nya saja mirip?
Iya, iya, beda jenis kelamin... :P
Oke, bedanya Karin adalah cewek tomboi perkasa yang punya semangat melindungi yang tinggi sejak kecil, tapi justru itu yang memimpikan cita-cita mulia nan bahagia: jadi damsel in distress yang diselamatkan pangeran tampan.

Katanya seri ini tamat di volume 4 (pendek banget, ih!). Jadi bertanya-tanya apakah cita-cita Karin bakal tercapai di jilid terakhir.


View all my reviews

Saturday, April 6, 2013

The "Location" Book

The Graveyard Book - Cerita dari PemakamanThe Graveyard Book - Cerita dari Pemakaman by Neil Gaiman
My rating: 4 of 5 stars


Tidak salah kalau Neil Gaiman merasa berutang budi pada Ruyard Kipling, karena novel ini adalah The Jungle Book versi pemakaman, sehingga judul yang dipilih The Graveyard Book. Mungkin kalau settingnya dibuat beda, misalnya berlokasi di XXX (pilih sendiri tempatnya), maka judulnya bisa jadi The XXX Book.

Bedanya sudah jelas, kalau di buku aslinya sang bayi dibesarkan oleh penghuni rimba belantara, di buku ini sang bayi yatim piatu dibesarkan oleh penghuni pemakaman, alias para hantu!

Dari premis ini, cerita yang berkembang kemudian memang jauh berbeda, sehingga menjadikannya cerita yang lebih menantang imajinasi. Bagaimana para hantu membesarkan dan mendidik sang bayi? Bisakah ia kelak bergaul dengan manusia biasa? Apa saja keuntungan dan kerugian dibesarkan oleh makhluk alam lain? Siapa orang yang telah membunuh seluruh keluarganya dan sampai sekarang masih mengincarnya? Apa yang membuatnya menjadi target pembunuhan? And so on.

Seperti biasa, Neil Gaiman meramunya dengan sangat menarik, sehingga baru setelah membaca ucapan terima kasihnya di belakang buku, aku baru ngeh kaitan buku ini dengan buku klasiknya Ruyard Kipling.



View all my reviews

Blast to the Past

Generasi 90anGenerasi 90an by Marchella FP
My rating: 4 of 5 stars


Setelah mengaku generasi 80-an (SD & SMP) di review buku Gaul Jadul, kali ini mengaku generasi 90-an (SMA & Kuliah) di buku ini.

Iya, iya... ini deklarasi umur \(^.^)/


Bacaan:
Masa 90-an itu masanya aku disahkan menjadi manga otaku (pelanggan setia Elex?), dimulai dari angkatan pertama yang terbit di Indonesia (Candy-Candy, Kungfu Boy, Dragonball dkk) dengan harga Rp.2.800 per jilid sampai sekarang mencapai Rp.17.500 per jilid (dan bakal terus naik keliatannya).

Masa 90-an itu masanya aku mulai membaca bacaan yang disisipi adegan hot, seperti novel-novelnya Sidney Sheldon dan Jackie Collins (padahal adegannya sudah cuma sedikit kena sensor pula) sampai di akhir tahun 90-an mulai terbit novel-novel harlequin (yang kualitas ceritanya agak dipertanyakan tapi gunting sensornya sudah mulai tumpul). Oh ya, manga dewasa yang juga mulai kubaca di tahun 90-an tentu saja serial City Hunter-nya Hojo Tsukasa dan Sanctuary-nya Ryoichi Ikegami yang keduanya diterbitkan oleh Rajawali Grafitti.

Tontonan:
Masa 90-an itu masa di mana pernah untuk nonton TV swasta masih harus pakai antena parabola segede gaban (sekalian liat acara TV negara tetangga). Acara favorit? Banyak banget.

Anime yang mulai menjamur salah satu yang juga kupantengi, dari Sailor Moon sampai Samurai X, yang terus berlanjut sampai masa kerja dan membuatku sempat menjadi anime otaku segala, sampai mengumpulkan VCD anime yang kubeli dari toko hobi (ah, dosa masa muda :P)

Serial TV juga selalu ditunggu penayangannya. Yang impor dari Amrik tentunya macam McGyver, Quantum Leap, Lois & Clark, Sliders, dkk. Yang impor dari Hongkong seperti serial silat Chin Yung: Sia Tiauw Eng Hiong, Sin Tiauw Hiap Lu, dan To Liong To. Yang impor dari Amrik Latin, sampai nggak hafal judul-judulnya yang kebanyakan mirip-mirip. Dan tentu saja sinetron asli Indonesia. Khusus yang terakhir lama-lama tidak kreatif, lebih banyak yang temanya serupa tapi tak sama hingga bikin muak, dan kutinggalkan sampai sekarang.

Tontonan bioskop juga tak usah ditanya. Minimal meskipun jarang ke bioskop, tahun 90-an itu yang namanya VCD player mulai diperkenalkan, membuat Betamax player mendadak pensiun. Sudah tentu VCD original (dan bajakan) menjadi sumber pengisi waktu luang. Sampai akhirnya di tahun 2000-an tergantikan oleh DVD player (dan DVD bajakan :P).

Musik:
Pas SMA masih doyan Guns 'N Roses dan Bon Jovi. Pas kuliah mulai geser ke Jazz, dari Frank Sinatra sampai Harry Connick Jr. Eh, akhir tahun 90-an malah demen berat sama L'arc en Ciel dan lagu-lagu soundtrack anime, hehehe. Selera musik memang nggak bisa ditebak ya.

Di luar hobi tiga besar di atas, sebagian besar isi buku ini memang membuatku <i>blast to the past</i> sejenak ke masa lalu:
Ngumpulin tazos? (Iya, iya, biar udah SMA/kuliah juga masih suka koleksi barang gratisan dari cemilan)
Ngumpulin stiker basket Panini?
Membuat kompilasi lagu sendiri di kaset?Mulai belajar komputer dari MS-Word, Wordstar, sampai Windows?
Mulai berkenalan dengan internet? (buat baca komik Hikaru no Go di warnet yang buset downloadnya lama banget)
Baca majalah Hai, Gadis, Mode, Aneka Yes, Anita Cemerlang, dll?
Semua dijabanin.


Sepertinya cuma perkembangan gim saja yang tak kuikuti (selain tetris dan prince of persia, barangkali). Selain karena memang nggak gape main gim, waktu luang toh sudah habis dipakai baca buku, nonton film dan nulis cerita.

Tren mode juga tidak kuikuti. Aku bukan tipe yang peduli sama mode yang sedang ngetren. Untuk pakaian yang biasa kupilih modelnya konservatif dan long lasting (banyak loh yang masih bisa dipakai sampai sekarang tanpa terlihat out-of-mode #ngirit). Kecuali waktu style potongan rambutku dari SD yang selalu cepak mendadak membuatku dituduh jadi KDM alias Korban Demi Moore pas lagi heboh-hebohnya film Ghost :)

View all my reviews