Thursday, November 28, 2013

Permainan Anak-Anak Generasi X

Little Mice GAME OVER !! Volume 1Little Mice GAME OVER !! Volume 1 by Muhammad Mice Misrad
My rating: 3 of 5 stars

Seharusnya aku membaca ulang dan mereview koleksi komik Tintin-ku dalam rangka posting bareng BBI bulan November ini. Tapi apa daya, buku-buku lain lebih menuntut untuk dibaca ulang atau dibaca duluan, tahu-tahu waktu luangku habis deh tanpa sempat menyentuh selembar pun komik Tintin. Nah, kebetulan minggu lalu aku tak sengaja memasukkan komik Mice ini ke dalam tas belanja. Dan kebetulan juga buku ini bisa habis dibaca dalam lima sampai sepuluh menit. Jadi didaulatlah komik tipis ini untuk kuulas sedikit.

Pada intinya komik ini masih satu seri dengan Football's Coming Home-nya Mice: nostalgia masa kanak-kanak. Bedanya kalau di komik sebelumnya Mice bercerita tentang permainan bola sepak, di sini Mice bernostalgia tentang semua games yang dimainkannya waktu kecil, dari hujan-hujanan sambil berbugil ria (kenapa juga nggak sekalian sabunan dan sampoan, ya?), main tembak-tembakan kayu (senapan dibuat sendiri), pletokan, sumpitan, bola gebok, gatrik, dan tentu saja permainan favorit masa itu... main gundu dengan segala macam variasinya. Tidak lupa Mice memberikan gambaran anak-anak masa itu, dari korengan gara-gara sering tikusruk sampai anak-anak yang meler sepanjang masa hingga dijuluki Apollo 11 (tidak perlu kusalin penjelasan Mice di sini, karena terasa menjijikkan, walaupun kayaknya dulu anak jorok seperti itu dianggap biasa saja).

Sudah begitu saja review-nya?

Iya, sudah begitu saja. Dan terus terang, kebanyakan permainan masa kecil Mice tidak pernah kumainkan. Jadi tentu saja, nostalgiaku tentang permainan masa kecil tidak akan nyambung dengan komiknya Mice (entah kalau di jilid 2 Game Over, ya).

Kalau diingat-ingat, permainan masa kecilku kebanyakan permainan untuk anak perempuan sih. Maklum, namanya juga anak ketiga dari tiga bersaudari dengan selisih umur yang lumayan dekat. Jadi, main bertiga saja sudah seru, apalagi kalau bergabung dengan anak-anak perempuan dari lingkungan sekitar.

Little Women in Sephia

Jadi, apa saja permainannya?

Biasanya permainan outdoor yang kuikuti memerlukan cukup banyak peserta, seperti main karet misalnya.

Ketinggian se-merdeka
Kalau main game sekarang pakai level, sebenarnya main karet juga sama ya. Dimulai dari ketinggian se-dengkul, se-pipis, se-pinggang, se-dada, se-dagu, se-telinga, se-kepala, sejengkal (di atas kepala), sampai se-merdeka (entah kenapa posisi tertinggi ini dinamai se-merdeka). Sebenarnya dengan permainan ini bisa dilihat anak-anak mana saja yang berbakat jadi atlet loncat tinggi. Tapi tentu saja, kalau loncat tinggi tidak boleh dengan bantuan tangan, atau istilah Sunda-nya di-hontal.

Permainan lain yang butuh banyak orang adalah main ular naga:

Permainan ini biasanya sih dilakukan siang-siang. Tapi kalau aku liburan ke rumah nenek, pada waktu itu listrik belum masuk desa, permainan ini asyik juga dilakukan di bawah sinar bulan purnama (kalau terang bulan begini, anak-anak ogah tidur cepat). Biasanya diiringi lagu "ular naga panjangnya, bukan kepalang, dst" tapi waktu aku kecil seingatku lagu Sunda-nya "slep dur", yang sampai sekarang aku lupa lirik panjangnya, dan sudah pasti tidak tahu artinya. Apakah maksudnya "sepur" yang masuk terowongan? Entahlah.

Permainan outdoor lain yang biasa kuikuti adalah kucing-kucingan, petak umpet (kucing sumput in Sundanese), dan gobak sodor (go back through the door?) alias galah asin. Ini tentu saja bukan hanya permainan anak perempuan.

Sedangkan kalau permainan indoor, banyak macamnya, biasanya model main bola bekel, congklak, halma, monopoli, dll.
Bola bekel dan "kuwuk"-nya

Tapi permainan favoritku adalah... main anjang-anjangan (oke, oke, sebut saja main boneka). Karena pada waktu itu aku boro-boro tahu ada makhluk bernama Barbie dan Ken, aku main pake KW-10 nya, alias boneka kertas.

Zaman dulu karakter paling umum adalah Candy-Candy sih

Malah sebelum boneka kertas ada aku pakai versi yang lebih sederhana, bikin sendiri dengan bahan jarit alias kain perca dengan rangka lidi. Jangan bayangkan boneka kain dengan wajah dan rambut yang imut. Biasanya kubuat gundul saja seperti boneka penangkal hujan, bahkan tanpa muka seperti hantu muka rata. Dan kalau boneka kertas umumnya dilengkapi dengan koleksi baju gantinya, untuk boneka perca bajunya harus kubuat sendiri (untungnya, sebagai anak penjahit profesional, limbah kain dengan bahan beraneka jenis dan warna cukup melimpah).

Justru dalam permainan boneka dengan fasilitas terbatas begini, perlu banyak kreativitas dan imajinasi (iyalah, boneka kain dengan kepala bulat gundul bisa dibayangkan sebagai cewek cakep atau cowok ganteng!). Tidak punya rumah boneka? Buat sendiri! Satu rumah bisa makan satu meter persegi, dan biasanya melibatkan segala macam jenis barang, dari stationery sampai dengan kotak kaset, yang fungsinya bisa berubah-ubah tergantung imajinasi dan kondisi. Kotak kaset bisa jadi tempat tidur, meja rias, bahkan mobil! Selain mengurus prop, tentu saja yang paling penting adalah menjadi penulis skenario, sutradara, penggerak serta pengisi suara boneka (pastinya). Biasanya sih yang penting ada plot utama, ceritanya bisa mengalir begitu saja dengan ending bagaimana nanti.

Dan kalau cerita belum habis saat sudah bosan main, biasanya cerita digantung begitu saja, to be continued, bisa dilanjutkan besok harinya. Dan supaya tidak repot, properti sandiwaranya juga dibiarkan begitu saja. Baru kalau ada inspeksi dari orang tua (iya... orang tuaku tidak pernah mengecek anak-anaknya mau belajar atau tidak, tapi minimal seminggu sekali mengecek kerapian kamar), baru deh dengan amat terpaksa semua properti dibereskan... padahal ceritanya belum tamat...

Entah kapan main anjang-anjangan terhenti dan terlupakan. Mungkin ketika para pemainnya lebih suka menumpahkan jalan cerita dalam imajinasinya ke dalam bentuk tulisan... :P

View all my reviews

Thursday, November 21, 2013

Like a Virgin

Wedding Night - Malam PengantinWedding Night - Malam Pengantin by Sophie Kinsella
My rating: 3 of 5 stars

Sinopsis:
Lottie sudah lelah dengan pacarnya yang tidak segera mengajukan lamaran. Suatu hari, Ben, mantan pacarnya semasa remaja muncul kembali dan mengingatkan Lottie pada janji yang pernah mereka buat belasan tahun lalu: bila mereka sama-sama masih lajang pada usia tiga puluh, mereka akan menikah. Lottie menyambar kesempatan itu, dengan syarat: Tidak udah pakai masa pacaran, acara kencan, atau pertunangan--langsung saja ke altar! Dan terbanglah mereka untuk berbulan madu di pulau kecil Yunani tempat mereka pertama kali bertemu. Namun, rupanya tidak semua senang dengan keputusan mereka yang terbutu-buru--teman dan keluarga berusaha menghalang-halangi. Akankah Lottie dan Ben mendapatkan malam pengantin impian mereka? Ataukah ini akan berubah menjadi malapetaka?

Review:
"Pada zamanku, para lelaki menikah karena mereka menginginkan seks. Tentu saja itu motivasi! Kalian para gadis ini sudah tidur bersama dan tinggal bersama, lalu menginginkan cincin pertunangan. Terbalik."
Ketika membaca komentar dari figuran random di Bab 1 halaman 25 novel terjemahan ini, sontak aku tersenyum, dan mungkin... mengamini. Setidaknya, begitulah dunia "Barat" pada umumnya yang ditampilkan di layar perak atau layar kaca, atau... di novel-novel chicklit. Pola hubungan yang sudah terbalik dibandingkan masa lalu sekarang dianggap lumrah dan biasa, meskipun tentunya bukan berarti apa yang kutonton di film/televisi atau kubaca di novel-novel itu mencerminkan kondisi yang sebenarnya di sana. Namun demikian, aku hanya berharap "pola menikah-lalu tinggal bersama" masih tetap lestari di Indonesia. Yap, aku bukannya lupa menuliskan tahap "pacaran dan tunangan". 

Baiklah, sebelum aku terjerumus mengutip isi buku Udah Putusin Aja-nya Felix Y. Siauw, mari kita kembali ke review. Tapi pertama-tama, aku memohon maaf pada pihak-pihak yang memungkinkan jatuhnya buku ini ke pangkuanku, atas amat sangat terlambatnya review (atau bukan review?) ini. Dari awal aku memang agak ragu mengikuti penawaran buntelan yang memajang buku ini di listnya, selain karena sudah lama tidak membaca chicklit, juga aku tergolong malas membuat review. Bukan karena aku tidak suka menulis, tapi karena waktuku tersita untuk membaca (cari-cari alasan, padahal malas mah malas aja, padahal bukunya sudah dibaca pada bulan September lalu!).

Oke, kesan pertama setelah menamatkan buku ini adalah... buku ini boleh dibilang unik, dan... kocak.

Di mana uniknya? Ya itu, tema utama yang sengaja dipilih untuk menghidupkan konflik: kembali ke tren masa lalu dengan "no sleeping together before wedding", sehingga Lottie, tokoh utamanya, mendadak bak perawan yang menunggu-nunggu malam pengantin, sementara calon pengantinnya, Ben, terpaksa harus mengamalkan ilmu deferred gratification yang sudah lama dilupakan orang, terlindas oleh era kebebasan seksual paska generasi bunga.

Di mana kocaknya? Semua kekonyolan yang terjadi sebelum dan sesudah adegan lamaran romantis Ben pada Lottie, yang diterima dengan syarat mahaberat dan mematikan itu.

Diawali dengan salah paham dan gagal paham Lottie yang mengira pacarnya akan mengajukan lamaran. Selama ini, patah hati selalu membuatnya melakukan hal-hal aneh dan destruktif, dan sekarang ujug-ujug ia menerima lamaran mantan pacar yang sudah lama tidak ditemuinya. Kekonyolan lebih lanjut dimulai dengan usaha-usaha licik Fliss, kakak Lottie, yang berusaha menggagalkan pernikahan Lottie karena menganggap Lottie mengambil keputusan yang salah (iya, iya, tentu saja ia benar!), dengan dibantu oleh Lorcan, tangan kanan Ben yang berusaha mengembalikan Ben ke jalan yang benar.

Yang membuat cerita ini menarik adalah tokoh-tokohnya, yang tidak ada yang sempurna. Putri cantik yang selalu melakukan hal-hal destruktif demi melupakan patah hati. Pangeran charming yang tampan dan kaya raya... tapi bodoh dalam urusan bisnis. Kakak sang putri yang selalu ikut campur urusan cinta adiknya, antara iri hati dan sayang. Perdana menteri yang berusaha menyetir sang pangeran demi kepentingan dan ambisi pribadinya.

Well, memang tidak ada manusia yang sempurna. Tapi ketidaksempurnaan itulah yang membuat dunia ini berwarna. 

View all my reviews

Curcol! Dari Kamar Kost Pembaca

Declare! Kamar Kerja Penerbit Jogja (1998-2007)Declare! Kamar Kerja Penerbit Jogja by adhe
My rating: 4 of 5 stars

Buku-buku terbitan penerbit Jogja (yang belum besar dan mapan) kuanggap buku langka, karena hanya bisa kudapat di pameran-pameran buku. Biasanya, ada saja buku-buku yang kubeli dari lapak Yusuf Agency, meskipun hanya karena alasan "sepertinya menarik".

Tapi, ada tapinya sih, aku tidak tergerak untuk membeli buku terjemahan dari beberapa penerbit Jogja tertentu, karena pengaruh opini teman-teman yang sudah pernah membaca dan mereview buku-bukunya, lantas memberi cap nista "terjemahan penerbit anu ancurrr". Sementara buku terjemahan penerbit Jogja lain yang kubeli, meskipun kata orang bagus, kadang tetap masih membuat kening berkerut.

Memang bagaimanapun, untuk buku yang aslinya dalam bahasa Inggris, menurut pendapatku lebih baik kubaca versi aslinya saja, karena kalau menemukan idiom yang diterjemahkan harfiah banget (satu roti panggang untuk nenekku sebagai terjemahan dari a toast to my grandmother?), bawaannya pasti pingin misuh-misuh, berhenti membaca, lantas berharap untuk menswap bukunya saja kalau ada kesempatan. Nama besar penerjemah pun bukan jaminan hasilnya memuaskan, seperti pengalamanku waktu membaca Of Mice and Men-nya John Steinbeck terjemahan PAT tahun 50-an (untung bukunya hasil pinjam). Padahal tadinya aku tertarik baca karena nama PAT-nya, bukan Steinbeck-nya, hehehe...

Sementara kalau buku yang aslinya dari bahasa lain... ya pasrah saja deh. Karena faktor keawamanku atas bahasa aslinya, paling aku cuma bisa bertanya-tanya apakah memang tulisan sang pengarang begitu sulit saking sastrawi-nya, atau sebenarnya penerjemahnya yang tidak sanggup memberikan pemahaman bagi pembaca?

Ini bukan ripyu, hanya sekedar curcol.

View all my reviews