Friday, May 30, 2014

Bertanya atau Mati!

Bertanya atau Mati!Bertanya atau Mati! by Isman H. Suryaman
My rating: 5 of 5 stars

Jauh sebelum stand-up comedy diterima dan menjadi populer di Indonesia, tepatnya pada tahun 2004, terbitlah sebuah buku yang mengadopsi gaya stand-up comedy dalam penuturannya. Buku itu begitu berbeda dengan buku-buku lain yang ditaruh di rak buku humor di toko buku pada saat itu, yang pada umumnya hanya berupa kumpulan lelucon atau tebak-tebakan lucu tapi garing gitu deh. Saking berbedanya, wajar saja kalau toko buku kadang-kadang bingung di mana harus menempatkannya karena tidak mengenalinya sebagai BUKU HUMOR. Sama halnya dengan buku Kambing Jantan Raditya Dika yang bisa ditemukan di rak buku peternakan, buku yang berjudul Bertanya atau Mati! ini waktu itu konon hanya bisa ditemukan di rak buku psikologi, self-help, atau... AGAMA, karena toko bukunya tidak tahu harus menaruhnya di mana.

Anyway, pertama kali aku membaca tulisan Isman H. Suryaman adalah dari bukunya yang berjudul 7 Dosa Besar (Penggunaan) Power Point (pernah kureview di sini) yang kubeli dan kubaca pada tahun 2008. Genre-nya sih buku nonfiksi, yang ingin mengajari cara penggunaan power point secara baik dan benar, tapi gaya penulisannya yang kocak dan jenaka membuatku penasaran apakah Isman pernah menulis buku lain. Dan ternyata memang ada, terbit empat tahun sebelumnya, dan... jelas sudah tidak ada di toko buku. Waktu sudah putus asa mencari, sempat ku-PM Isman di akun goodreads demi bisa membeli langsung dari tangan pertama, tapi apa daya Isman tak dapat memenuhi karena sudah tidak punya stoknya. Maklum, sudah empat tahun sejak pertama terbit. Sampai akhirnya... aku baru bisa membacanya EMPAT TAHUN KEMUDIAN, alias tahun 2012. Itu pun dengan cara meminjam dari salah satu teman goodreads yang ternyata punya buku ini di rak bukunya (trims ya, Mas Tomo :P). Iya sih, seharusnya bisa pinjam lebih awal... tapi kan kalau aku suka tulisan seseorang, aku maunya PUNYA BUKUNYA!!! (hoarder mode on).

Mengapa aku menganggap buku Bertanya atau Mati! menggunakan gaya stand up comedy? Karena cara penuturannya yang memang tidak lazim. Buku ini berisi hasil pengamatan, pendapat, atau pengalaman pribadi penulisnya, serta mengutarakan keresahan, mengangkat kenyataan, memotret kehidupan sosial masyarakat, dan menyuguhkannya kembali kepada masyarakat dengan jenaka (ini berdasarkan definisi Pandji untuk stand-up comedy di buku MDB). Jadi, buku ini berisi opini dan pandangan penulis, yang menyampaikannya dengan kocak.

Jadi, jangan heranlah kalau menemukan banyak kalimat set-up dan punchline di buku ini. Seperti misalnya di bagian awal buku pada bab Mengapa Harus Bertanya? (atau dikenal juga sebagai "Prakata"), waktu Isman bercerita tentang tantangan dalam menulis buku:
Bagi saya, menulis buku sudah cukup sulit. Apalagi menulis buku komedi. Bukan karena saya pemula dalam dunia tulis-menulis. Pengalaman menulis saya sangat banyak. Sebagai contoh, waktu SD kelas satu saya berhasil menulis kalimat saya yang pertama: "Ini Budi". Sayangnya, ibu saya tidak menyambut keberhasilan ini dengan sukacita. Mungkin karena pertama, semua anak SD melakukannya. Dan kedua, tetangga sebelah meminta kami agar menghapus tulisan tersebut dari tembok mereka.
Kelihatan, kan, yang mana premiseset-up dan punchline-nya?

Isman mengakui buku ini berisi berbagai esai yang berdasarkan pemikiran, cerita, referensi, pengalaman, dan karangannya. Sebagian dari isi buku bisa ditemukan di blog-nya (yang kubaca sebelum akhirnya bisa membaca versi bukunya). Apa saja dibahas, dari yang penting sampai yang tidak penting. Ada yang dibahas seperlunya, ada juga yang dibahas panjang lebar. Suka-suka saja. Dari kentongan dan celengan yang dijual bareng peuyeum di kios oleh-oleh Padalarang, sejarah mobil yang awalnya cuma berkecepatan 4 km/jam (ini juga jadi salah satu bit stand-up Isman), panduan singkat membeli pakaian bayi untuk pria lajang, tanda-tanda yang perlu diperhatikan orang tua untuk segera membimbing anak mengenai seks, rambu kuning dan rambu merah berat badan, sampai pengalaman pribadi dalam merancang syukuran pernikahannya dengan Primadonna Angela.

Meskipun disampaikan dengan ringan dan jenaka, banyak esai di buku ini yang akan membuat kita berpikir dan mendapatkan wawasan baru. Dan itulah yang penting dari buku humor dengan genre seperti ini: bukan hanya sekedar lucu. Dan itu pula yang membuat buku ini menjadi salah satu buku favoritku.

Review ini kutulis dalam rangka:
Tema Humor


View all my reviews

Thursday, May 29, 2014

Steal Like an Artist

Steal Like an ArtistSteal Like an Artist by Austin Kleon
My rating: 4 of 5 stars

Buku ini keren. Sudah, itu saja review-ku. Sungguh, susah membuat reviewnya karena aku suka semuanya. Aku cuma bisa merekomendasikannya.

Tapi begini deh. Waktu membaca buku ini, aku langsung teringat kasus yang beberapa hari terakhir ini sedang menjadi topik hangat di komunitasku.

Untuk mereka yang seringkali "tak sengaja" meng-copas review buku orang lain, please please please bacalah buku ini sebagai acuan. Diajarin kok cara "mencuri" dengan baik-baik. Pencurian yang baik adalah ATM: Amati-Tiru-Modifikasi, bukan ATP: Amati-Tiru-Plek.

Tabel di halaman 39 buku ini memberikan perbandingan antara ATM dan ATP:

Curian bagus:
- terhormat
- memahami
- curi dari banyak
- cantumkan sumber
- ubah
- padukan

Curian buruk:
- tanpa etika
- tahu sepintas
- curi dari satu
- plagiat
- contek
- ambil mentah-mentah
"Curilah dari kami. Gabungkan dengan ciri khasmu. Maka kau akan temukan dirimu sendiri. Begitulah prosesnya. Suatu hari, kelak ada yang mencuri ide darimu." ---Francis Ford Coppola.
Yang kita curi adalah ide, dari banyak orang, memadukannya, dan menciptakan sesuatu yang baru. Itulah yang disebut proses kreatif.

P.S.
Kenapa aku tidak memberi nilai sempurna untuk buku ini? Bukan salah penulis maupun isi bukunya sih. Ini gara-gara pas pertama kali membuka bukunya, halaman-halamannya sudah mau lepas saja. Huh. Jadinya kenikmatan membaca bukunya kurang maksimal, kudu ekstra hati-hati supaya tidak copot :|

View all my reviews

Degalings

DegalingsDegalings by Pandji Pragiwaksono
My rating: 3 of 5 stars

Buku ini merupakan versi fisik dari komik mingguan Pandji Pragiwaksono yang terbit setiap minggu di kolamkomik.com dari bulan April 2011 sampai Februari 2013. Gambar dan cerita dibuat oleh Pandji, sedangkan pewarnaan dilakukan oleh Shani Budi Pandita, co-owner kolamkomik.com. Iya, meskipun aku sudah membaca langsung di kolamkomik, tetap saja belum sah kalau belum punya versi bukunya. Jadi, pas menemukan buku ini di zona Mizan saat berkunjung ke Pesta Buku Jakarta, ya aku langsung main embat saja. Setelah bayar dulu di kasir, tentunya.

Dilihat dari covernya, buat yang belum pernah tahu Degalings sebelumnya juga pasti bisa menebak tema utamanya adalah hubungan ayah-anak dalam keluarga di Indonesia. Kisah yang disampaikan dalam 99 strip komik ini adalah kisah nyata dari Pandji sang "Ayah" dengan Dipo, putra pertamanya, yang di dalam komik ini dinamai "Jamie".

Namanya juga anak kecil, adaaa saja tingkah laku yang lucu dan koplak, yang bisa jadi membuat orang tua bahagia, sedih, terharu, dan kadang-kadang... malu. Sialnya, ketika sang anak sudah besar, yang paling berkesan dan teringat sepanjang masa lebih seringnya adalah kejadian-kejadian yang bikin malu. Dan biasanya, orang tua akan dengan senang hati me-rewind dan menceritakan aib-aib masa lalu itu di segala kesempatan, terutama dalam acara keluarga besar, di mana ada banyak orang yang masih ingat bagaimana kelakuan si anak waktu kecil #pengalamanpribadi #truestory

Karena hiruk-pikuk-suka-duka kisah hubungan orang tua-anak yang beraneka-ria ini pasti dialami hampir semua orang yang punya anak, maka kisah Pandji/Dipo kerap yang diabadikan dalam komik Degalings bisa nyambung dengan mereka, bahkan beberapa cerita juga menjadi bit-bit stand-up comedy Pandji. Misalnya cerita tentang Dipo/Jamie yang suka banget Angry Birds. Ia suka melompat menerjang sang ayah, dan mengaku sebagai angry birds. So, secara tidak langsung berarti ayahnya apa dong???

Masih soal Angry Birds, logika sang anak malah bisa meng-upgrade cerita dongeng klasik. Seperti waktu sang ayah membacakan buku dongeng The Three Little Pigs (Degalings #74):
Ayah : ... akhirnya 2 babi kecil yang rumahnya hancur ditiup serigala, lari ke rumah babi ketiga yang rumahnya dari batu bata. Serigala itu tiup rumahnya, tiup lagi, tapi rumahnya nggak roboh. Akhirnya, serigalanya pulang dan babi itu aman...
Jamie : Harusnya serigala itu pakai angry birds item, biar meledak rumahnya! Terus pakai angry birds merah, terus mati babinyaaa!
Lho, memangnya cuma John Connolly yang bisa bikin parodi dongeng? Itu juga kalau Jamie memang berniat bikin parodi. Tapi kelihatannya sih serius...

Atau kisah tentang kesulitan orang tua memberikan penjelasan tentang Tuhan kepada anak waktu menunjukkan lokasi negara-negara yang ada di bola dunia.

Ayah : Nah, sebelah sini Brasil yang ada di kartun Rio. Ini China, yang ada di Kungfu Panda. Ini Amerika yang ada di Toy Story. Nah, ini Indonesia tempat kita.
Jamie : Kalau Allah ada di mana?
Ayah : Ada di atas semua ini, nak (jari menunjuk ke atas).
Jamie : Kamar mama?
Ayah : Errr... lebih tinggi lagi.

Pandji juga memasang beberapa foto di buku ini, hanya untuk meyakinkan pembaca bahwa kisah-kisah di buku merupakan kejadian nyata. Dan dari foto-fotonya, kelihatan banget Dipo ternyata satu cetakan dengan Pandji (^.^). Ya iyalah...

Omong-omong, aku memang sengaja tidak memasang gambar-gambar komiknya di review ini. Kalau mau tahu seperti apa penampakannya, silakan mampir dan mengintipnya di kolamkomik. Atau lebih baik lagi, baca langsung bukunya saja... :))

View all my reviews

Tuesday, May 27, 2014

Murjangkung

Murjangkung: Cinta yang Dungu dan Hantu-hantuMurjangkung: Cinta yang Dungu dan Hantu-hantu by A.S. Laksana
My rating: 4 of 5 stars

Setelah menyadari kesalahan fatal dalam membaca petunjuk posting bareng BBI bulan ini, aku pun langsung mengecek list 10 Besar KLA 2013 di sini untuk mengecek apakah ada buku yang sudah pernah kubaca, belum pernah kureview, dan ada di rak buku perpustakaanku.

Ah, ternyata ada dua. Ada Murjangkung dan Surat Panjang tentang Jarak Kita Yang Jutaan Tahun Cahaya. Baiklah, karena waktu untuk balik lagi ke Jakarta sudah mepet dan aku belum kepingin baca Pasung Jiwa, apalagi buru-buru karena deadline posting KLA tinggal satu hari lagi, biar kubahas Murjangkung saja deh.

Buku ini kubeli di Gramedia Banjarmasin. Waktu itu aku sedang melakukan perjalanan dinas, baru pertama kali ke Banjarmasin, dan lokasi wisata kedua yang wajib kukunjungi setelah Pasar Terapung ya toko Gramedia setempat. Karena berdasarkan info teman-teman Goodreads dan BBI bahwa harga buku di luar Jawa lebih mahal, aku cuma membeli satu saja, ceritanya sih untuk dibaca pas perjalanan pesawat balik ke Jakarta. Eh ternyata... baru dibaca seminggu kemudian. Ah, sudahlah.

Apa yang menarik dari buku ini?

Jalinan kalimat yang asyik dan pilihan kata yang apik membuat cerita-cerita pendeknya  yang unik dan absurd malah terasa menarik.

Oh ya, buku ini memang kumpulan cerpen. Tapi seperti biasa kalau membahas kumcer, aku takkan membuat review per judul, hanya membahas hal-hal yang menarik saja... (baca: malas bahas satu-satu, euy!).

Cover
Gambar kapal eropa terbalik di sudut kiri atas dengan judul simpel murjangkung: cinta yang dungu dan hantu-hantu.

Siapa Murjangkung? Buat yang sering baca komik Sawung Kampret-nya Dwi Koen pasti hafal deh ini nama panggilan sayang dari Jan Pieterzoon Coen alias J.P. Coen, Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang meninggal di Batavia pada tanggal 21 September 1629 pada usia 42 tahun.

Kalau cuma lihat cover depan dan tidak membaca sinopsis di cover belakang, bisa-bisa calon pembaca menuduh buku ini adalah kompilasi cerita cinta dan cerita horor yang dialami Murjangkung...

Isi
Benarkah ini terdiri dari cerita romhor (roman-horor) Murjangkung selama hidup di Indonesia?

Jelas tidak sih, tapi cerpen pertama yang berjudul Bagaimana Murjangkung mendirikan kota dan mati sakit perut menjelaskan apa yang terjadi sejak ia datang sampai meninggal di Batavia pada usia 42 tahun itu. Sakit perut? Tepatnya sih gara-gara terjangkit kolera/muntaber/disentri (pilih salah satu). Gosipnya, wabah penyakit itu disebarkan oleh tentara Sultan Agung dari Mataram yang menyerang Batavia tahun sebelumnya, tapi versi A.S. Laksana ini menyebutkan awalnya gara-gara sampah dan tahi yang dibuang di kanal oleh anak-anak buah Murjangkung sendiri.

Selain bercerita tentang hikayat Batavia dan Murjangkung, A.S. Laksana bermain-main kata dan logika pada cerpen-cerpen lainnya.

Ada cerita dari hantu yang merasuki A.S. Laksana sendiri untuk menuliskan kisah asal-usul dan keluarganya (sepertinya menarik ya, kalau memang prosesnya demikian :P), ada kisah skinwalker yang bikin merinding, dan beberapa kisah cinta yang terasa absurd yang... lebih baik tak dipikirkan logikanya kalau tidak mau pusing. Tapi itu terserah pembaca, kok.

Seperti halnya seorang penulis wanita Indonesia yang gemar menggunakan nama Nayla untuk tokohnya (bukan berarti mereka orang yang sama), A.S. Laksana sepertinya gemar menggunakan nama Seto untuk tokoh-tokoh cerpennya (kembali, bukan berarti mereka orang yang sama).

Akhir kata
Is it worth to read?

Menurutku, ya. Meskipun kebanyakan cerpennya cukup absurd dan menimbulkan banyak tanya tak terjawab dan kerutan kening yang harus segera disetrika biar tak berbekas, kumpulan cerpen ini enak untuk dinikmati karena gaya penulisannya yang asyik dan absurditas ceritanya itu sendiri :)

Review ini dibuat dalam rangka...
Tema KLA 2013

View all my reviews

Cerita Cinta Enrico

Cerita Cinta EnricoCerita Cinta Enrico by Ayu Utami
My rating: 3 of 5 stars

Salah satu tema Posbar BBI bulan ini adalah Khatulistiwa Literary Award.

Ada sih, buku-buku KLA yang sudah pernah kubaca tapi belum sempat (baca: malas) kubuat reviewnya. Tapi setelah bongkar-bongkar tumpukan buku yang belum terbaca di sudut kamar kosku, ternyata ada juga beberapa judul buku KLA yang nyempil, baik yang juara maupun yang nominee. Nah, kesempatan nih, lumayan buat mengurangi jumlah tumpukan buku tak terbaca yang makin merajalela. Setelah cap-cip-cup kembang kuncup antara Cerita Cinta Enrico, 65, dan Pasung Jiwa, akhirnya aku memilih buku pertama untuk kubaca duluan untuk Posbar BBI 2014.

Setelah selesai membaca dan membuat draft review-nya... baru deh mengecek ke blog event BBI dan mengetahui bahwa yang seharusnya kubaca adalah KLA 2013, bukan sekadar KLA tahun berapa saja! Kuduna yang kubawa pulang untuk dibaca pas liburan buku Pasung Jiwa nih! T.T

Ya sudahlah. Keburu bikin draft reviewnya, tetap kuposting saja deh...

Buku ini ditulis dengan POV orang pertama, dari tokoh utama yang namanya terpampang di cover buku. Ah, oke, itu bukan nama yang sebenarnya, melainkan nama yang ingin disematkan ibunya di akte kelahiran tapi setelah kegagalan negosiasi dengan sang ayah, akhirnya hanya berakhir menjadi nama panggilan saja.

Mengapa harus dipanggil Enrico? Sang ibu menyiapkan nama itu berdasarkan nama penyanyi tenor Italia yang sudah mati pada tahun 1921, karena konon Enrico adalah anak yang begitu mencintai ibunya, sampai-sampai setiap kali ia  menyanyi yang terbayang adalah wajah ibunya. Dan... ya... benang merah buku ini memang kisah cinta Enrico pada ibunya... serta pada sang pengganti ibunya.

Mari kita review buku ini a'la suka-suka.

Cover
Tidak ada gambar sama sekali. Cuma judul dengan latar hijau stabilo dengan huruf-huruf yang setelah dilihat-lihat rupanya terdiri dari gambar tentara baret merah yang sedang berdiri sikap sempurna, atau sedang memanggul bazoka, sedang menembak, serta... pose-pose absurd macam sedang melompat melenting atau sedang nungging di atas bangku kayu. Tentu saja ada pose menari tango dengan wanita bergaun merah (tetap dalam sikap sempurna). Selain itu juga ada gambar sepatu pantovel untuk mengisi huruf N dan sasaran tembak untuk huruf O.

Sebelum membaca bukunya, tentu kita bertanya-tanya apa maksud dari si penata letak sampul. Tapi setelah membaca bukunya, yah... mungkin ada relevansinya sih. Enrico bukan tentara baret merah, tapi memang anak kolong. Sepatu pantovel dengan hak kokoh ada histori sendiri dengan sang ibu. Sementara wanita bergaun merah... anggap saja itu melambangkan pilihan Enrico untuk hidup bebas tanpa ikatan dengan wanita manapun.

Cerita
Aku membaca buku ini tanpa referensi apa-apa sebelumnya, dan toh sinopsisnya tidak mengungkapkan apa-apa selain bahwa ini kisah nyata seorang anak yang lahir bersamaan dengan pemberontakan PRRI, dan isinya tentang kisah cinta dalam bentangan sejarah Indonesia sejak era pemberontakan daerah hingga Reformasi.

Kuncinya adalah kisah nyata. Baru di bab-bab terakhir aku baru ngeh kalau si Enrico ini ternyata... suami si penulis buku, yang juga ikut tampil sebagai sosok wanita yang belakangan menjadi obsesi Rico dan akhirnya membuatnya rela melepas kebujangannya.

Iya, ternyata ini buku novel biografis, yang disusun penulis berdasarkan cerita suaminya, sejauh jangkauan ingatannya, dikait-kaitkan dengan sejarah Indonesia selama 50 tahun hidupnya. Tahun-tahun utama yang menjadi tonggak sejarah buku ini adalah 1958, 1968, 1978, 1988, 1998, dan 2008. Iya, sepuluh tahun sekali yang berakhir dengan angka 8. Singkatnya begini :
1958: tokoh utama lahir bersamaan dengan pemberontakan PRRI
1968: si penulis lahir bersamaan dengan dimulainya masa Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto
1978: tokoh utama merasakan hilangnya kebebasan dengan pembungkaman politik bagi mahasiswa
1988: tokoh utama sah jadi pemanjat tebing dan fotografer
1998: apa perlu kutulis di sini apa yang terjadi pada sejarah Indonesia di tahun 1998?
2008: tokoh utama mencoba bertanya pada si penulis, bagaimana bila suatu hari mereka menikah. Wow, itu memang tonggak sejarah, karena masing-masing berprinsip tidak menentang institusi pernikahan namun memilih untuk tidak menikah! Iya... tonggak sejarah sesungguhnya memang tanggal 17 Agustus 2011, waktu mereka akhirnya benar-benar menikah :)

Buku ini memang berkisah tentang Enrico dari waktu lahir (tentunya berdasarkan cerita orang tuanya), masa kanak-kanak sebagai anak kolong dan anak yang memuja ibunya, masa remaja yang mulai merasa terkekang oleh obsesi ibunya pada agama sehingga malah membuatnya menjurus atheis di kemudian hari, masa mahasiswa di mana kebebasan yang diperolehnya setelah lepas dari sang ibu malah direnggut oleh pemerintah yang otoriter. Lalu... apakah dicabutnya kebebasan berpendapat kemudian dikompensasikan pada kebebasan bermaksiat? Di sini penulis secara blak-blakan mengisahkan kehidupan Enrico yang serba freelance: tidak mau punya bos, tidak mau punya istri, tidak mau punya anak. Tidak mau berprokreasi tapi tetap melakukan kegiatan prokreasi dengan wanita manapun, atas dasar suka sama suka, tanpa ikatan. Meskipun pada akhirnya... cerita berakhir lain di penghujung novel. Semua... karena cinta... (ini kenapa jadi malah nyanyi...)

Akhir kata
Aku membaca buku ini sebagai novel, jadi tidak pengaruh apakah apa yang diceritakan dalam buku ini memang benar atau cuma sebagian saja yang benar. Lagipula, ingatan tentang masa kanak-kanak memang sulit diandalkan, begitu pula cerita orang lain tentang masa kanak-kanak kita.

Aku hanya ingin berkomentar sedikit tentang beberapa bagian yang sering diberi penekanan sehingga diceritakan berulang-ulang. Iya, sih, sebagai pemilik golongan darah A yang gemar mengulang-ngulang sesuatu kalau kita menganggap suatu hal itu penting (meskipun menurut orang lain tidak), aku juga sering melakukan dosa yang sama. Tapi kalau di setiap beberapa halaman terdapat pengulangan tentang seperempat puting susu yang tertelan...



View all my reviews

The ABC Murders

Pembunuhan ABC - The ABC MurdersPembunuhan ABC - The ABC Murders by Agatha Christie

Hm, jadi saudara-saudara, apa sih maksud dari ABC di sini?

1. Seorang anonim membuat surat peringatan kepada Poirot bahwa ia akan melakukan pembunuhan di suatu tempat pada waktu tertentu, dan menandatanganinya dengan nama ABC.

2. ABC meninggalkan buku panduan kereta api yang disebut ABC dekat dengan korban pembunuhannya. Hm... kalau ada copycat yang melakukan hal ini di Indonesia, kemungkinan besar yang ia tinggalkan di dekat korbannya berupa botol kecap atau saos ABC, ya?

3. ABC melakukan pembunuhan secara alfabetis, baik lokasi maupun nama korban pembunuhannya. Pertama di Andover, dengan korban Mrs. Ascher, Kedua di Bexhill, dengan korban Betty Barnard. Ketiga di Churston, dengan korban Sir Carmichael Clarke. Keempat di Doncaster, dengan korban... eh, alfabetnya meleset sedikit.

Oh! Pembunuh serial dengan korban random!
Pembunuh serial dengan surat peringatan terlebih dahulu!
Apakah novel ini menjadi inspirasi bagi para pembunuh serial modern yang mengirimkan surat dan teka-teki lebih dulu kepada detektif/polisi/surat kabar seperti halnya kasus Zodiac yang terkenal dan tak pernah tertangkap itu?

Hercule Poirot tidak percaya bahwa ini pembunuhan serial random dari seorang psikopat. Ia percaya bahwa ini pembunuhan yang sama seperti yang biasa ditanganinya, pembunuhan dengan motif pribadi. Mengapa demikian? Karena baginya pasti ada alasan tersendiri mengapa si pelaku mengirimkan surat tantangan secara pribadi kepadanya, bukan kepada polisi dan surat kabar. Benarkah pendapat Hercule Poirot? Lantas, kalau Hercule Poirot benar, siapakah pelaku pembunuhan yang mengaku bernama ABC itu? Benarkah itu inisial pelaku, atau sebenarnya tak berarti apa-apa?

Pas membaca ulang buku ini, aku jadi kepikiran dan mencoba mengingat-ingat, ada nggak ya novel Agatha Christie yang memang penjahatnya benar-benar psikopat yang nggak punya motif apa-apa selain membunuh demi kesenangannya sendiri? Jadi penasaran deh, karena jelas Pembunuhan ABC yang semula menjurus ke sana ternyata cuma trik dan pengalihan isu. Aaa, jadi spoiler deh. Nggak apa-apa ya?

Mengikuti penyelidikan Hercule Poirot dari satu lokasi ke lokasi lain, membuatku agak pesimis pada Poirot kalau saja kasus ini benar-benar random dan pembunuh berantai sungguhan.

Pertanyaan "Mengapa Mrs Ascher? Mengapa Andover?" tak perlu dicari jawabannya kalau pelaku memang melakukannya secara random. Oke, ada beberapa kota dengan inisial A, kocok yuk! Ah, ternyata Andover. Nah, buka buku telepon untuk nama berawalan A, siapkan jarum, tutup mata, dan... tusuk! Eh yang kena Ascher ya. Okesip! Andover, Ascher. Gitu.

Hastings terlalu berharap Poirot bisa langsung tahu siapa pelakunya, tapi toh Poirot angkat tangan.

"Mon ami, apa maumu? Kau menatapku seperti pandangan seekor anjing setia, yang menuntutku untuk mengucapkan pernyataan ala Sherlock Holmes! Yang benar adalah--aku tidak tahu tampang pembunuh itu, atau tempat tinggalnya, atau bagaimana cara menangkapnya."

Pada akhirnya, kita takkan mendapati Poirot menjadi seorang profiler pembunuh berantai, karena ia menyelidiki kasus-kasus pembunuhan selanjutnya bukan dengan menutup kemungkinan bahwa mungkin pembunuhan itu tidak bersifat acak, dan motif pembunuhannya bisa ditebak. Harta, dendam, atau alasan umum lainnya.

Ah, jadi penasaran deh. Mungkin aku harus segera baca ulang novel-novel Agatha Christie yang lain, untuk menemukan apakah ada novel yang pelakunya murni seorang pembunuh berantai, yang membunuh tanpa motif apa-apa selain kesenangan pribadi... Eh, tunggu, tunggu, jangan-jangan itu novel Curtain, ya...?



View all my reviews

Murder on the Orient Express

Murder on the Orient Express: Pembunuhan di Orient ExpressMurder on the Orient Express: Pembunuhan di Orient Express by Agatha Christie
My rating: 4 of 5 stars

Hercule Poirot (lagi-lagi) tak mau berinisiatif melakukan pencegahan pembunuhan. Kali ini dengan menolak tawaran perkara dan uang yang mengiringinya dari seseorang yang merasa jiwanya terancam.
"Kalau Anda mau memaafkan saya karena alasan pribadi--terus terang saja, saya menolak tawaran Anda karena saya tak suka pada wajah Anda."
Kalau kita hanya membaca yang tersurat, pasti kita bilang, ebuset, Poirot pilih-pilih klien berdasarkan tampang! Tapi tentunya kita juga harus membaca yang tersirat. Poirot adalah seorang pengamat yang mampu melihat karakter asli seseorang, bisa melihat sifat binatang di balik penampilan luar yang tidak tercela. Jadi, karena Poirot tahu orang yang ingin menggunakan jasanya adalah orang jahat, ia memilih tidak mau membantunya. Habis perkara.

Dalam waktu enam jam, orang yang berbicara kepada Poirot itu meninggal. Poirot otomatis diminta untuk mencari pembunuhnya. Lantas, kalau Poirot berhasil mengetahui pelakunya... apa yang akan ia lakukan?

Selesai bertugas di Siria, Poirot berencana berlibur selama beberapa hari di Istanbul. Tapi karena mendadak dipanggil ke London berkaitan dengan perkembangan suatu kasus yang ditanganinya, Poirot pun bermaksud menggunakan kereta Simplon Orient. Sayangnya, entah kenapa gerbong kelas satu penuh, padahal bukan peak season. Untung saja Poirot bertemu kenalan lamanya, Monsieur Buoc, direktur perusahaan kereta api, yang mengatur agar sebuah kamar khusus diberikan kepada Poirot.

Ternyata, kehadiran Poirot membuat skenario sebuah pembunuhan yang telah dirancang rapi menjadi sedikit terganggu. Belum lagi ditambah kereta api yang tertahan salju di Pegunungan Balkan, sehingga teori bahwa pelaku pembunuhan sudah tidak ada di kereta tak bisa digunakan.

Poirot mendapati gerbong kelas satu terdiri dari orang-orang dari berbagai negara dan belahan bumi yang berbeda, dan ia harus mencari tahu siapakah gerangan dari belasan orang itu yang memiliki motif.  Boleh dibilang, Poirot tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menyimpulkan deduksi atas kasus ini ini. Ia cukup meminta kesaksian dari setiap orang yang ada di gerbong, lantas duduk merenung dan berpikir. Berbagai kesaksian yang bertolak belakang malah membawanya kepada kesimpulan yang nyata. Kunci utama kasus ini adalah bahwa gerbong itu merupakan melting pot dengan beragamnya latar belakang penumpang yang ada.

Hal yang dapat menjadi bahan diskusi dan renungan setelah membaca buku ini antara lain sebagai berikut:

Apakah hukuman yang pantas bagi pelaku pembunuhan, apabila korbannya adalah seseorang yang amat sangat jahat yang telah menimbulkan penderitaan bagi banyak orang?

Apakah karena korban pembunuhan benar-benar jahat, maka pelaku yang telah merencanakan dan melaksanakan pembunuhan boleh dibebaskan?

Well, ini pertanyaan yang juga timbul jika kita menonton serial TV Dexter. Korban Dexter Morgan semuanya psikopat pembunuh serial yang jahat. Jadi, meskipun Dexter juga psikopat pembunuh serial yang membunuh, memutilasi, lantas membuang ke laut para psikopat lainnya, apakah Dexter adalah pahlawan masyarakat yang seharusnya mendapat penghargaan, bukannya dikurung di penjara?

Err... kira-kira begitulah analoginya. Bedanya, Dexter memang memiliki kebutuhan untuk membunuh sebagaimana halnya para psikopat yang menjadi korbannya, hanya saja ia memiliki kode etik bahwa yang dibunuhnya adalah mereka yang pantas mendapatkannya (baca: para pembunuh yang lolos dari hukum). Sedangkan pelaku pembunuhan di novel ini membunuh demi melampiaskan dendam.

Tunggu sebentar... ini juga pertanyaan yang timbul jika kita menonton atau membaca serial silat. "You kill my teacher/father/brother/lover/etc, I'll kill you!!" lantas penonton/pembaca akan merasa puas dan bertepuk tangan jika di akhir cerita si tokoh utama berhasil membalas dendam dengan membunuh musuhnya yang konon jahat kabina-bina. Sepertinya hanya hukum rimba dan hukum dunia persilatan yang berlaku di sana, yang kuat dan yang menang adalah yang benar. Seolah tidak ada hukum negara yang akan memastikan apakah jagoan kita penjahat atau tidak di mata negara. Ini tergantung posisi si tokoh antagonis juga sih, kalau negara menganggapnya orang baik, tentu jagoan kita jadi penjahat. Susah kan jadinya? Perlu seorang Judge Bao agar jagoan kita bisa diadili dengan layak.

Sementara itu, apabila kita membaca manga Detektif Conan, tidak ada perkecualian sama sekali bagi pelaku pembunuhan. Oke, kita tahu latar belakang mengapa seseorang melakukan pembunuhan. Kita tahu bahwa korbannya mungkin saja "pantas" mendapat ganjarannya. Tapi itu tidak berarti si pelaku layak dibebaskan. Kogoro Mouri (kalau lagi serious mode on) selalu berkata: "Aku tidak mau mendengar alasan seorang pembunuh."

Jadi, apabila kau seorang detektif yang telah berhasil melacak seorang pelaku pembunuhan, apakah kau akan mempertimbangkan motif sang pelaku, sebagai dasar untuk melepaskan atau menangkapnya? Apakah bila kau anggap korban layak dibunuh, maka kau akan melepaskan pelakunya? Atau kau akan tetap menangkapnya, dan membiarkan pengadilan yang memutuskan seperti apa hukuman yang wajar baginya?

Keputusan Poirot di novel ini memang kontroversial. Sama kontroversialnya dengan kita yang setia mendukung Dexter dalam setiap episodenya, dan berharap ia takkan pernah dicurigai dan ditangkap oleh pihak yang berwajib.



View all my reviews

Monday, May 26, 2014

Evil Under the Sun

Evil Under the Sun (Pembunuhan di Teluk Pixy)Evil Under the Sun by Agatha Christie
My rating: 3 of 5 stars

Novel detektif adalah novel yang membutuhkan logika. Tapi... ada tapinya, jangan pernah memikirkan usia sang detektif ataupun tokoh-tokoh tetap lain yang selalu ada di sekitarnya. Catat ini baik-baik: mereka bisa hidup di segala zaman, menembus ruang dan waktu, tanpa adanya penuaan, atau kalaupun ada, proses penuaannya berjalan amat lambat, tidak sejalan dengan pergerakan zaman. Ingat protesku di sini tentang tokoh-tokoh di serial komik Detektif Conan yang tidak menua padahal sudah belasan kali merayakan malam tahun baru? Pembelaan terbaik yang bisa kuberikan: namanya juga komik. Tapi membaca buku ini, aku diingatkan bahwa penyimpangan ruang dan waktu juga berlaku untuk serial novel misteri, terutama yang tokoh utamanya Hercule Poirot.

Bayangkan saja, waktu pertama kali muncul, dengan setting di akhir Perang Dunia I, Hercule Poirot digambarkan sudah tua karena sudah pensiun (meskipun tidak jelas berapa usianya, katakan saja 60 tahun). Dan di novel yang baru kubaca ulang ini, setting-nya di awal tahun 1940-an, karena buku Gone With the Wind-nya Margaret Mitchell sudah terbit. Apakah usia Poirot di sini sudah 80 tahun? Bagaimana dengan usianya di novel Curtain yang terbit tahun 1975, dong? Kalau masih penasaran dengan topik ini, teori tentang usia Poirot bisa dibaca di situs ini.

Terlepas dari topik tentang usia Poirot, membaca novel ini membuatku memikirkan beberapa topik lain yang cukup menarik untuk dibahas.

Pertama: Mengapa misteri/kejahatan selalu terjadi di saat liburan?

Pernah bertanya-tanya nggak sih, kenapa kebanyakan buku Enid Blyton (selain yang settingnya dunia sekolah asrama), terutama yang bertema misteri dan petualangan, selalu terjadi pada saat para tokohnya sedang liburan sekolah? Sangat mungkin karena temanya kerjasama kelompok, yang para anggotanya baru bisa bertemu saat liburan. Kalau misalnya Fatty menemukan kejanggalan di sekolah asramanya, tak mungkin ia meminta teman-teman di desanya datang. Paling banter ia selesaikan sendiri, atau dengan bantuan teman asramanya, dan tahu-tahu kita punya serial misteri di sekolah asrama putra. Dan kalau dipikir-pikir, pola misteri saat liburan sekolah ini kok ya bertolak belakang dengan serial Harry Potter misalnya, yang para penjahatnya lebih sering menunggu sampai anak-anak masuk sekolah untuk melancarkan aksinya.

Sama halnya dengan serial novel/manga detektif, di mana pada saat tokoh utamanya sama sekali tidak berniat bekerja, kepingin beristirahat, tapi "kebetulan" saja kejahatan terjadi di tempatnya berlibur. Dan kehadirannya di lokasi sama sekali tak menyurutkan niat pelaku untuk berbuat jahat, malah seperti berjudi atau tertantang untuk mengelabui si detektif!

Hercule Poirot punya teori sendiri tentang mengapa kejahatan umum terjadi pada saat liburan, seperti dijelaskannya pada halaman 19 buku ini.
Umpama Anda punya musuh. Kalau Anda ingin mendekatinya di tempat tinggalnya, di kantornya, di jalan--eh, bagaimana ya, Anda harus mempunyai alasan--Anda harus bisa menjelaskan kehadiran Anda di dekatnya. Tapi di sini, di pantai, orang tidak perlu menjelaskan kehadirannya.Anda berada di Teluk Leathercombe, mengapa? Waduh! Ini kan bulan Agustus-- orang pergi ke pantai pada bulan Agustus--orang sedang berlibur. Jadi Anda lihat semuanya amat normal kalau Anda berada di sini, dan Mr. Lane berada di sini, dan Mayor Barry berada di sini, dan Mrs. Redfern berada di sini beserta suaminya. Karena sudah menjadi kebiasaan di Inggris bahwa pada bulan Agustus orang-orang pergi ke pantai.
Cukup masuk akal, kan? Atau kau punya teori sendiri?

Kedua: Apa yang dapat dilakukan seorang detektif bila bisa melihat bahwa kejahatan akan terjadi?

Setelah kasus pembunuhan di buku ini, Hercule Poirot menjelaskan pada Hastings mengapa ia tidak mencegah kejahatan yang sudah jelas kelihatan, pada saat pembunuhan belum terjadi. Ia berkata, bahwa jika seseorang sudah nekat mau membunuh, tidak mudah mencegahnya. Ia tidak menyalahkan dirinya untuk apa yang telah terjadi. Itu, menurutnya, tidak bisa dihindari.

Oh, ya...? Lalu, mengapa Hercule Poirot melanggar teorinya sendiri di akhir hidupnya? Bahkan sampai melanggar prinsipnya, dan melakukan pembunuhan demi mencegah kejahatan terjadi? Itu kita bahas nanti saja ya, saat review novel terakhirnya... :)

Jadi, itu dua hal yang terpikirkan olehku di bab-bab awal buku ini...

Oke, buku ini kubaca dalam rangka menyelesaikan Program BUBU yang sepertinya jadi program tiada akhir, karena banyak buku yang sudah kubeli ulang dan masih menanti kubaca ulang, termasuk buku-buku Agatha Christie. Padahal beli ulang seperempat buku yang hilang saja kayaknya belum sampai.

Di buku ini, Hercule Poirot sedang liburan musim panas. Banyak orang menarik yang tinggal di hotelnya, lumayan untuk orang yang hobinya observasi. Tapi apa mau dikata, terjadi pembunuhan yang membuatnya harus melupakan liburannya sebentar.

Korban pembunuhan adalah Arlena marshall, wanita cantik berambut merah, yang dipuja banyak lelaki dan dibenci banyak wanita, gara-gara daya tarik seksualnya.

Ada beberapa orang yang memiliki motivasi untuk membunuhnya. Bisa suaminya, Kenneth Marshall, yang mungkin baru tahu kalau istrinya berselingkuh. Bisa anak tirinya, Linda Marshall, yang mencoba menggunakan santet--eh, sihir--untuk mengguna-guna mati sang ibu tiri. Bisa juga Christine Redfern, yang suaminya, Patrick, berselingkuh dengan Arlena. Bisa saja...siapa saja, yang mungkin motivasinya tidak begitu jelas.

Pembaca digiring menelusuri alibi dari masing-masing tersangka, yang dikaitkan dengan waktu pembunuhan sang korban. Ini kuncinya: waktu pembunuhan. Pembunuhnya piawai mempermainkan waktu... tapi hanya Poirot yang bisa menemukan celah dalam plot sandiwara yang dirancang untuk menipu semua orang...



View all my reviews

Monday, May 5, 2014

The Mysterious Affair at Styles

Misteri di Styles (The Mysterious Affair at Styles)Misteri di Styles by Agatha Christie
My rating: 4 of 5 stars

Judul asli: The Mysterious Affair at Styles
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 9789792229097
Halaman: 272 hlm
Cetakan kedelapan: November 2013
Pertama kali kubeli: 18 Juli 1988
Beli ulang: 02 April 2014
Baca ulang: 04 Mei 2014

Dalam Program BUBU (Beli Ulang Baca Ulang) koleksi Agatha Christie, buku ini kuberikan kehormatan menjadi buku pertama yang kubaca ulang. Alasannya sudah jelas: novel ini adalah novel Agatha Christie yang pertama kali diterbitkan, dan yang lebih penting lagi, novel ini adalah novel yang memperkenalkan karakter Hercule Poirot, detektif Belgia yang merupakan karakter favoritku dari seluruh karya Agatha Christie.
Detektif necis dan rapi jali
Dalam gaya penulisan novel detektif pertamanya ini, jelas terlihat bahwa gaya penulisan cerita Agatha Christie dipengaruhi oleh gaya cerita Sir Arthur Conan Doyle, bahkan sampai pada penokohannya. Selain tokoh utamanya yang sama nyentriknya dengan Sherlock Holmes, ada Kapten Arthur Hastings si asisten detektif mantan tentara merangkap narator yang menjadi cerminan Dr. John H. Watson, tak lupa ada Inspektur Japp dari Scotland Yard yang sering dibantu oleh Poirot, seperti halnya Inspektur Lestrade.

Namun demikian, untuk karakternya sendiri jelas Poirot sangat berbeda dengan Sherlock, apalagi kalau kita melihat dari gaya hidupnya. Poirot orangnya sangat rapi, teratur, bahkan menjurus OCD, meskipun tidak selebai Detektif Adrian Monk. Dan karena sudah membawa-bawa Monk, perlu disebutkan mereka juga sama-sama mantan polisi, meskipun alasan pensiunnya berbeda.
Poirot in uniform
Di awal novel ini, Kapten Hastings mendeskripsikan Hercule Poirot sebagai berikut:
Poirot adalah laki-laki kecil yang luar biasa. Tingginya tidak lebih dari satu meter enam puluh, tetapi sangat berwibawa. Kepalanya berbentuk seperti telur, dan selalu miring sedikit ke satu sisi. Kumisnya sangat kaku. Pakaiannya rapi sekali. Aku kira dia akan merasa lebih sakit bila ada setitik debu menempel di bajunya daripada sebutir peluru nyasar di tubuhnya. Tetapi laki-laki yang pernah menjadi anggota kepolisian Belgia yang disegani itu sekarang timpang. Sebagai detektif, bakatnya memang luar biasa. Dia mampu menyelesaikan kasus-kasus paling memusingkan pada masa itu.

Mengapa Poirot si polisi hebat jadi pengangguran dan terdampar di Inggris yang kemudian jadi tempat tinggalnya untuk seterusnya? Perang Dunia I penyebabnya. Karena pendudukan Jerman di Belgia, Poirot menjadi pengungsi di Inggris, dengan bantuan Emily Cavendish, korban pembunuhan di novel ini. Ketika Kapten Hastings yang menjadi tamu di kediaman Mrs. Cavendish meminta bantuannya, Poirot pun menggunakan keahliannya sebagai detektif untuk mengungkap misteri.

Misterinya sederhana. Emily Cavendish, seorang janda kaya, baru menikah lagi dengan laki-laki yang lebih muda. Tak lama kemudian, ia tewas diracun. Siapakah pelakunya? Apakah Alfred Inglethorp, suami barunya? Apakah salah satu dari kedua putra tirinya, John dan Lawrence Cavendish? Apakah Mary Cavendish, menantunya? Atau...

Di novel ini diperlihatkan metode kerja Poirot yang masih bergaya Sherlock, atau kalau ala Pasukan Mau Tahu: "mencari petunjuk". Dengan gaya dan metode detektif konvensional, di TKP ia menemukan dan mengumpulkan petunjuk yang menarik seperti cangkir kopi yang hancur, tas kecil dengan kuncinya, noda di atas lantai, secarik kain berwarna hijau, tetesan lilin di lantai, potongan kertas di perapian, dan lain sebagainya. Tugas berikutnya adalah menjadikan hal-hal yang bagaikan potongan puzzle itu menjadi gambaran yang sempurna.

Karena ternyata Kapten Hastings bukan seorang poker-face, Poirot kerap merahasiakan hasil penyelidikan, deduksi dan rencananya, karena khawatir Hastings akan membocorkannya hanya dari ekspresi wajahnya! Reaksi Hastings atas perilaku Poirot sepanjang novel pun bervariasi karenanya. Dari kasihan karena mengira kemampuan Poirot sudah menurun drastis dari masa jayanya sebagai polisi, sampai jengkel berat karena "dibohongi" Poirot.

Bukan berarti Poirot tidak melemparkan kisi-kisi pada Hastings (dan pembaca), dan kalau pembaca jeli, pasti bisa lebih cepat dan lebih dulu ngeh dibandingkan Hastings yang polos dan lugu.

Oh, ya, sifat Poirot yang menyukai keteraturan yang menjurus OCD juga dideskripsikan di sini. Mulanya waktu Hastings mendapati Poirot memegang-megang (baca: merapikan) benda-benda pajangan di atas perapian, lalu mengagumi kebun begonia yang dibuat sangat simetris dan rapi, hal yang sangat penting bagi Poirot. Dan kalau boleh spoiler, justru OCD-nya Poirot itulah yang memberikan petunjuk final untuk pengungkapan misteri di novel ini!




View all my reviews

Thursday, May 1, 2014

Si Kuping Belah

Petualangan Tintin : Si Kuping Belah  (Tintin, #6)Petualangan Tintin : Si Kuping Belah by Hergé
My rating: 3 of 5 stars

Selamat datang di Amerika Selatan, Tintin!!!

Betul, setelah Rusia, Afrika, Amerika, Mesir, Arab, India, Cina, kini tibalah Tintin di Amerika Selatan!

Judul
Untuk jilid Tintin yang satu ini, sepertinya aku lebih sreg dengan judul terjemahan  versi Indira, yaitu Patung Kuping Belah. Selain karena sudah puluhan tahun tahunya judul yang satu itu, minimal saat melihat sampulnya jadi tidak bertanya-tanya siapakah yang punya kuping belah, misalnya apakah orang yang duduk mendayung di belakang Tintin sebenarnya punya masalah dengan kupingnya, kebetulan saja ketutupan rambut :)

Cover
Setelah melihat foto pohon mati yang melintang di sungai yang digunakan Herge sebagai inspirasi... ih, keren, benar-benar mirip banget.

Cerita
Dimulai dari pencurian patung suku Arumbaya yang misterius, yang membuat Tintin menelusuri jejak pencuri patung itu ke Republik San Theodoros di Amerika Selatan. Seperti biasa, di sana Tintin dijebak dan ditangkap dengan tuduhan teroris dan nyaris dieksekusi tembak (sudah untuk yang keberapa kali, coba?), kalau saja tidak terjadi kudeta yang menggulingkan Jenderal Tapioca yang berkuasa. Dan Jenderal Alcazar yang menjadi penguasa berikutnya langsung mengangkat Tintin sebagai kolonel!

Di sela kesibukan tugasnya sebagai kolonel (di antaranya main catur dengan sang Jenderal), Tintin masih berupaya mencari patung yang hilang. Di sisi lain, ia juga menghadapi wakil General American Oil yang mengincar minyak yang berada di padang pasir perbatasan antara San Theodoros dan negara tetangga, Nuevo-Rico, yang berusaha menyogoknya untuk membujuk Jenderal Alcazar merebut daerah minyak itu. Penolakan Tintin pun membuatnya jadi target pembunuhan.

Meskipun Tintin selamat, sayangnya Jenderal Alcazar setuju untuk berperang. Dan Tintin pun kena fitnah korupsi dan akan dieksekusi (lagi), tapi berkat balas budi pembunuh bayaran yang pernah dilepaskannya, Tintin berhasil lolos dan akhirnya sampai ke wilayah suku Arumbaya. Di sana ia bertemu Ridgewell, petualang Inggris yang sudah lama hilang, dan mendapatkan cerita bahwa kemungkinan besar terdapat berlian suku Arumbaya yang disembunyikan dalam patung kuping belah. Berlian itulah yang sebenarnya dicari-cari para penjahat yang berusaha mencuri patung tersebut.

Saat kembali ke Eropa, Tintin pun mendapati bahwa patung yang dicari-cari itu ada...
... banyak sekali!
Dan ia harus menelusuri sumbernya untuk menemukan patung yang asli, dan berpacu dengan para penjahat yang ingin mendapatkan berlian suku Arumbaya.

Trivia
Mulai jilid petualangan ini, Tintin tidak lagi bertualang di negara dengan nama asli, namun dengan nama fiktif.

Konflik minyak San Theodoros dan Nuevo-Rico merupakan gambaran konflik Bolivia dan Paraguay, sementara daerah minyak yang jadi rebutan diubah namanya dari Gran Chaco menjadi Gran Chapo.

Di komik Tintin, perusahaan minyak yang terlibat adalah General American Oil yang mendukung San Theodoros dan British South-American Petrol yang mendukung Nuevo-Rico, sementara di dunia nyata Standard Oil of United States mendukung Bolivia sementara British Controlled Oilfields mendukung Paraguay.

Ada kematian dalam komik ini bila dibandingkan jilid-jilid sebelumnya. Ada pemahat yang jadi korban pembunuhan, teroris yang terkena bom sendiri, sampai para penjahat yang mati tenggelam ketika jatuh ke laut bersama Tintin.

View all my reviews

Lotus Biru

Petualangan Tintin : Tintin Dan Lotus Biru  (Tintin, #5)Petualangan Tintin : Tintin Dan Lotus Biru by Hergé
My rating: 4 of 5 stars

Setelah bertualang di Mesir, Arab dan India, nggak lengkap dong kalau Tintin tidak mampir ke tetangga sebelah, Cina. Apalagi sebelum terjerumus petualangan yang berhubungan dengan cerutu beropium, Tintin sebenarnya dalam perjalanan kapal ke Shanghai. Tidak afdol kan, kalau berhenti sampai India saja.

Judul
Lotus Biru? Selama ini kalau baca cersil Kho Ping Hoo yang ada cuma perkumpulan Teratai Putih atau Teratai Merah. Rupanya teratai berwarna biru juga ada, dan beginilah penampakannya:
Cantik, ya...

Cover
Di rumahku ada guci keramik setinggi satu meter dan berukuran cukup besar, tapi tidak berarti aku yang berbodi kecil bisa masuk ke dalamnya. Hati-hati kalau beli guci keramik untuk hiasan di rumah, jangan terlalu besar sehingga anak-anak kepo bisa kecemplung ke dalamnya.
Ini sih sekampung juga masuk
Review
Menurut Michael Farr dalam Tintin: The Complete Companion, bagian kedua petualangan Tintin di dunia timur ini merupakan mahakarya yang pertama dari Herge, bahkan ada yang menganggap ini karya terbaiknya. Mengapa demikian? Karya ini merupakan titik balik Herge, karena untuk pertama kalinya, petualangan Tintin memiliki cerita yang terstruktur dengan baik, tidak ada lagi alur cerita dadakan. Herge tidak lagi berimprovisasi tiap minggu, di mana Tintin terlempar dari satu bahaya ke bahaya lain secara terus menerus hingga petualangan usai.

Kisah-kisah awal Tintin penuh prasangka dan stereotip dunia Barat atas dunia baru yang tidak begitu diketahui. Perkenalan Herge dengan Zhang Zong Ren, mahasiswa seni patung asal Cina, memberi Herge banyak pengetahuan tentang Cina jauh lebih banyak dari kliping surat kabar yang dikumpulkannya, dari sejarah, sastra, filsafat sampai agamanya.

"Saat mengerjakan Lotus Biru-lah aku menemukan dunia baruku. Sebelum itu, aku hanya mengenal orang Cina samar-samar sebagai orang sipit dan kejam, suka memakan sarang burung walet, berambut kucir, dan suka membuang bayi ke sungai. Aku terpengaruh gambar dan cerita-cerita pemberontakan Boxer yang selalu menekankan kekejaman mereka. Gambaran itu sangat membekas padaku."

Selain menyingkirkan semua prasangka buruk Herge, Zhang juga dijadikan tokoh pendamping Tintin selama di Cina dalam kisah Lotus Biru.

Cerita Lotus Biru sendiri merupakan lanjutan langsung dari Cerutu Sang Firaun, dimulai sejak Tintin masih menjadi tamu di istana Maharaja Rawhajputala. Kunjungan misterius seorang tamu dari Shanghai yang hanya sempat memberitahu bahwa ada yang membutuhkan Tintin di Cina membuatnya langsung mengepak koper dan berangkat ke sana. Sesampainya di sana, ia terus menerus mengalami percobaan pembunuhan bahkan ditangkap oleh kepolisian internasional Shanghai. Mendapati bahwa ada miscommunication dan bahwa ia tidak dibutuhkan di Shanghai seperti dugaannya semula, Tintin hampir balik kanan pulang ke Bombay, kalau saja ia tidak diculik di tengah malam oleh Wang Ren Jie,  dari perkumpulan Putra Naga yang bertujuan melawan penyebaran opium di Cina. Musuh utama Putra Naga adalah Mitsuhirato, agen rahasia Jepang yang selain mata-mata juga bergabung dengan penyelundup opium ke seluruh dunia, terutama ke Cina. Dan Lotus Biru yang menjadi judul komik ini adalah sarang opium yang menjadi tempat pertemuan para penjahat di sini. Kisah selanjutnya bergulir pada upaya Tintin untuk menghancurkan organisasi penyelundupan narkoba dengan menghadapi tentara Jepang, kepolisian permukiman internasional, pasangan Dupond-Dupont yang setia mengejar Tintin sampai ke Cina, dan tentu saja sang kepala komplotan: Rastapopoulos.

Terlepas dari jalan cerita komiknya, yang lebih menarik untuk diperhatikan adalah latar belakang cerita yang begitu tepat secara politik. Pada saat Herge menulis Lotus Biru, bagi dunia Barat aneksasi Jepang di Manchuria dianggap membawa stabilitas di wilayah tersebut, sehingga dalam hal tersebut pers Barat cenderung lebih berpihak pada Jepang. Berkat Zhang, Herge yang lebih memahami situasi politik Asia dan ambisi imperialisme Jepang menuliskan satir politik yang sangat mendekati kenyataan. Menindaklanjuti "serangan terorisme" pada jalur kereta api di Cina sehingga menyebabkan jatuh korban di kalangan orang Jepang, Jepang pun memenuhi misinya sebagai penjaga hukum dan kebudayaan Timur Jauh dengan mengirimkan prajurit ke Cina, demi kebaikan mereka sendiri...

Wait a sec, bukankah itu taktik kuno yang masih digunakan pada zaman sekarang, di mana negara yang mengklaim dirinya sebagai polisi dunia saat ini gemar melakukan pre-emtive strike dan mengirimkan tentara ke negara lain "demi kebaikan" negara yang diserangnya?

Mengingat zaman dibuatnya komik ini, Herge boleh dibilang sangat berani mengambil risiko dengan menuliskan kebenaran dan mendukung Cina dengan kritiknya atas pendudukan Jepang.

Buatku pribadi, setelah membaca ulang empat jilid petualangan Tintin sebelumnya, komik ini memang terasa sekali bedanya dari sisi cerita. Berkurangnya unsur kebetulan serta cerita yang jauh lebih serius dan realistis mungkin berpengaruh pada penilaianku ketika membacanya waktu kecil yang menganggap jilid ini kurang menarik karena kurang fun bila dibandingkan jilid petualangan Tintin lainnya. Tetapi saat ini, dengan mengambil sudut pandang yang berbeda, aku mengakui bahwa komik ini merupakan salah satu mahakarya Herge.

Yah, kalau waktu kecil bagiku komik ini ibarat termos, maka sekarang telah berubah menjadi...
KOMPOR GAS!!!



View all my reviews

Cerutu Sang Firaun

Petualangan Tintin : Tintin Dan Cerutu Sang Firaun  (Tintin, #4)Petualangan Tintin : Tintin Dan Cerutu Sang Firaun by Hergé
My rating: 3 of 5 stars

OK, ev'rybody... setelah lama terlantar, Program Baca Ulang Tintin dilanjutkan lagi. Dan sekarang... kita sampai di Mesir! Tapi ingat, jangan tertipu dengan judul komik yang satu ini, karena lokasinya bukan hanya Mesir dan sekitarnya, karena Tintin ternyata nyasar ke Arab dan India juga.

Judul
Judul aslinya Les Cigares du Pharaoh.  Judul versi terjemahan GPU ini rasanya lebih pas dibandingkan judul versi Indira yang berbunyi Cerutu Sang Faraoh. Tentu saja karena istilah serapan bahasa Arab lebih akrab di literatur (termasuk terjemahan kitab suci) kita dibandingkan istilah versi Eropa-nya.

Cover
Cukup membuat penasaran. Cerutu yang bertebaran di lantai serta lukisan di dinding jelas konek dengan judulnya. Tapi... apaan tuh, deretan orang Eropa yang termumifikasi dalam peti mati terbuka?

Cerita
"Ini baru hidup, Milo. Liburan yang tenang," kata Tintin pada anjingnya dalam pelayaran kapal yang bertujuan akhir Shanghai.

Tapi Milo tidak sependapat. Buatnya itu bukan pelayaran yang hebat, tapi super-duper membosankan. "Kenapa ya, tidak ada yang jatuh dari kapal biar seru?"

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Ada yang jatuh ke laut... selembar kertas berharga milik arkeolog Philemon Siclone (meskipun ternyata cuma brosur perjalanan :P). Pertemuan tak sengaja dengan arkeolog aneh (sepertinya tidak ada orang biasa di sekitar Tintin!) yang sedang mencari kuburan Firaun Kih-Oskh yang hilang pun tanpa sengaja menjerumuskan Tintin dan Milo pada petualangan berikutnya. Kepo bukan hanya bisa membunuh kucing, tapi juga wartawan dan anjing.

Di kapal itu juga Tintin bertemu dengan Rastapopoulos serta pasangan detektif Dupond dan Dupont (ini penampilan perdana si "kembar", lho!). Yang terakhir itu malah ujug-ujug menangkap Tintin yang dituduh menyelundupkan heroin. Tapi namanya juga Tintin, biarpun dikurung di kabin, ia malah dengan santainya turun ke darat waktu kapal merapat di Port Said. Iya, kita tahu dia tidak salah, tapi kok ya tidak ada rasa hormat pada pihak berwajib sama sekali. Jadilah ia terus dikejar-kejar Dupond dan Dupont lintas batas negara sepanjang komik ini.

Di dekat Kairo, Tintin dan Siclone menemukan kuburan Firaun Kih-Oskh dengan begitu gampangnya, dan di sanalah Tintin menemukan deretan ahli Mesir yang sudah dijadikan mumi dalam peti terbuka... malah ada tiga peti kosong dengan label nama Siclone, Tintin... bahkan Milo! Tentu saja Tintin juga menemukan berpeti-peti cerutu dengan simbol Kih-Oshk, sebelum pingsan gara-gara terbius dan bangun dalam peti mati di...

Laut Merah. Oke, ingat di sini belum ada Kapten Haddock, yang ada baru Kapten Allan Thompson yang entah kenapa kelak turun derajat jadi bawahannya Haddock. Gara-gara salah info, Kapten Allan membuang peti mati Tintin cs terombang-ambing di lautan ganas penuh hiu. Hanya Siclone yang berhasil diselamatkan, sementara Tintin dan Milo ditolong oleh kapal kecil di mana Tintin bertemu Senhor Oliveira da Figueira, salesman yang jelas sangat persuasif dan sukses membuat Tintin membeli banyak barang tidak berguna (entah dari mana uangnya, rupanya meskipun ditangkap dompet Tintin tetap utuh).

Sampai di pantai Arab, Tintin diculik anak buah Sheik Patrash Pasha yang marah karena pelayannya memakan kue beracun yang dijual Senhor Oliveira (pesan moral: sabun itu bukan untuk dimakan, saudara-saudara!). Ternyata dia penggemar petualangan Tintin (Oke, di sini time-loop jelas terjadi, karena si Sheik menunjukkan komik edisi Perjalanan ke Bulan yang seharusnya masih bakal terjadi di masa depan. Kenapa nggak edisi Tintin di Sovyet, Kongo, atau Amerika saja sih? Product placement sih boleh-boleh saja, tapi kan bikin pembaca bawel jadi gatal pingin komentar).

Berkat si penggemar Tintin malah dapat kuda dan berkesempatan merusak syuting film Rastapopoulos, meskipun belakangan tertangkap lagi oleh Dupond dan Dupont dengan tuduhan tambahan, penyelundup narkoba dan ikut pemberontakan gara-gara kapal yang menolongnya dari Laut Merah memuat senjata selundupan. Berhasil kabur lagi, tentunya.

Ujung-ujungnya, setelah terdampar di India, pada akhirnya Tintin bisa meringkus komplotan Kih-Oskh yang bermaksud menyingkirkan Maharaja Rawhajpoutalah dan menolong sang pangeran yang diculik. Seperti biasa, komik pun diakhiri dengan perayaan besar-besaran bagi Tintin sang Penyelamat. Oh ya, cerutu yang jadi judul komik ini ternyata sarana untuk penyelundupan opium, dan komplotan Kih-Oskh selama ini berusaha menyingkirkan Tintin untuk menutupi fakta.

Dan Tintin pun ingin berlibur kembali...

Tapi... apakah bisa?

Akhir kata
Seperti jilid-jilid sebelumnya, terlalu banyak kebetulan dalam komik Tintin. Kebetulan direkrut jadi tentara lokal Arab (masa tampang Tintin segitu universalnya, belum lagi bahasa Arabnya selancar apa sih?), hampir dieksekusi tembak (lagi), berhasil kabur dengan pesawat meskipun jatuh di hutan India (dan selamat lagi)... Belum lagi hal-hal absurd bin ajaib seperti waktu Tintin kabur dari rumah sakit jiwa. Mana bisa menjadikan perut buncit sebagai trampolin???

Yah, kembali ke kredo awal: namanya juga komik. Apapun bisa terjadi demi menciptakan hiburan berkelanjutan bagi pembaca.

View all my reviews