Sunday, July 27, 2014

The Red Baron

The Red BaronThe Red Baron by Manfred von Richthofen
My rating: 5 of 5 stars

Buku ini kutemukan di salah satu lapak buku bekas di Plaza Semanggi, dengan kondisi yang lumayan bagus untuk sebuah buku terbitan tahun 1976. Seperti biasa, aku membelinya dengan alasan "sepertinya menarik", karena cukup tahu tentang pilot ace Perang Dunia I ini dari bacaan perang/militer yang pernah kubaca, apalagi buku ini ditulis sendiri oleh sang Red Baron.

Biasanya sih buku yang dibeli gara-gara "sepertinya menarik" berakhir "hit or miss" dengan perbandingan fifty-fifty. Untungnya, buku ini termasuk yang hit. Setengahnya karena aku memang penggemar bacaan perang/militer, tapi setengahnya lagi karena aku suka gaya penulisan biografi ini, dan... iya, mungkin agak bias juga karena penulisnya ganteng dan keren :D

Rittmeister Manfred Freiherr von Richthofen
Jadi, siapakah makhluk manis dengan lirikan maut di atas ini?

Dari cover belakang buku, bisa kita dapatkan gambaran singkatnya:
Manfred von Richthofen, the Red Baron, was probably the greatest air ace of either World War. In nearly three years of combat, from 1915 to 1918, he shot down more aircraft than any other flier. A staggering 80 kills accounted for the death, wounding or capture of 126 Allied pilots; von Richthofen's blood-red Fokker was a sky-born legend, the man a hero.
Aslinya, buku ini merupakan jurnal pribadi Manfred von Richthofen dengan judul "My Life In The War", yang terbit pada tahun 1918 sebelum ia gugur. Edisi The Red Baron merupakah terjemahan bahasa Inggris dari terbitan 1933, yang juga mencakup surat-surat Manfred von Richthofen semasa Perang Dunia I, ditambah tulisan dari kedua adiknya, Lothar dan Bolko, serta catatan dari Captain A. Roy Brown, pilot yang menembak jatuh Von Richthofen.

Lahir pada tanggal 2 Mei 1892, sebagai anggota keluarga bangsawan Prussia dan putra seorang mayor, Manfred dipaksa masuk Cadet Corps pada usia sebelas tahun. Ia kurang cocok dengan peraturan dan disiplin, dan tidak suka belajar. Prinsipnya "It would have been wrong to do more than was necessary, so I worked as little as possible." Duh, tipe Sloth Deadly Angel banget nih, tipe murid yang tidak disukai guru-guru strict deh :) Tapi kemalasannya diimbangi dengan kesukaannya di bidang olahraga, terutama senam, sepakbola, dan berkuda.

Pada awal karir militernya, Manfred merupakan bagian dari pasukan kavaleri Jerman. Pada tahun 1911 ia bergabung di sekolah militer, dan menjadi perwira dengan pangkat letnan pada tahun 1912. Di masa damai sebelum perang dimulai, ia mengikuti dan memenangkan kompetisi berkuda, dengan prestasi terakhir Kaizer Prize Race pada tahun 1913.

Di awal Perang Dunia I, Manfred menjadi bagian dari tim reconnaisance baik di Front Timur maupun Front Barat. Namun dengan berkembangnya perang parit, operasi kavaleri berkuda menjadi kurang relevan, sehingga Manfred tahu-tahu mendapat pekerjaan membosankan: asisten ajudan, dan turun derajat dari pasukan tempur menjadi kurir. Tidak cocok dengan pekerjaan membosankan tanpa tantangan, begitu mendapat tugas logistik, ia nekat menulis surat permohonan pada komandannya, yang konon berbunyi "Yang Mulia, saya tidak pergi berperang untuk mengumpulkan keju dan telur, tapi untuk tujuan lain". Untunglah meskipun suratnya membuat tersinggung sebagian orang, permintaannya dikabulkan. Pada bulan Mei 1915, ia bergabung dengan Angkatan Udara.

Pada karir awalnya di Angkatan Udara, Manfred kembali bertugas sebagai tim reconn. Sebagai observer di pesawat two-seater, ia tidak menjadi pilot, melainkan menangani bom dan senapan mesin. Tapi kemudian ia berlatih menjadi pilot, bergabung dengan skuadron Boelcke sebagai pilot tempur solo, dan belakangan memimpin suadron sendiri (Jagdstaffel alias Jasta 11). Dan... tentu saja sisa hidup selanjutnya menjadi legenda.
Red Baron dan Jasta 11-nya
Membaca kisah Manfred von Richthofen dari sudut pandang dan pemikiran pribadinya ini mengasyikkan. Meskipun pada saat itu pihak lawan menjulukinya "Le Diable Rouge" atau "Red Devil" alias Setan Merah (sama sekali tidak ada hubungannya dengan Manchester United) karena kepiawaiannya di angkasa, kita tahu kalau dia manusia biasa. Manusia biasa yang melakukan hal-hal luar biasa, tentu saja. Dan karena penuturannya tentang hal-hal yang dialaminya selama perang, seburuk apapun, selalu dipandang dari sudut yang positif, sehingga kisah perang yang dialaminya terasa bagaikan petualangan yang seru dan mendebarkan. Pembaca seolah menonton film perang dengan Von Richthofen sebagai tokoh utama, mendukung apapun keputusan yang dibuatnya, dan lupa berpikir dari sudut lawannya yang jadi korban.


Bagi Manfred von Richthofen, berperang dan bertempur itu fun! Tidak peduli di darat ataupun di udara. Sebagai seorang pemburu sejati, (iya, ia masih sempat-sempatnya berburu babi dan bison di masa perang), menjadi pilot pesawat tempur jelas pekerjaan ideal: menyalurkan hobi sambil tetap mengabdi pada negara. Memburu skuadron lawan, dog-fight satu lawan satu, atau satu lawan banyak sekalipun, menembak jatuh minimal satu pesawat musuh setiap kali terbang, benar-benar mengasyikkan. Ia mengakui bahwa sebagai pilot pada awalnya ia lebih sebagai hunter ketimbang shooter. Ia merasakan kepuasan setiap kali berhasil menembak jatuh lawannya. Seorang shooter lebih klinis, apabila berhasil menembak jatuh lawan, ia tidak merasakan emosi yang berlebihan, dan langsung beralih pada lawan berikutnya. Hm, kalau von Richthofen hidup di masa sekarang, mungkin ia bisa menyalurkan hobinya dengan bermain video games, tanpa benar-benar membunuh makhluk bernyawa.

Kenapa Manfred von Richthofen dijuluki Red Baron? Pertama, ia seorang Freiherr yang tidak ada gelar padanannya di Inggris, tapi kira-kira setingkat gelar baron. Kedua, ia mengecat pesawat Fokker triplane-nya dengan warna merah menyala. Benar-benar mencolok, seolah menunjukkan dirinya dan menantang semua orang "Come and get me!", persis seperti warna armor Iron Man atau jacket Rita Vrataski di All You Need Is Kill. Pokoknya kelihatan banget dari jauh, dan membuat lawan sempat lempar koin dulu sebelum memutuskan untuk memburu atau menghindarinya.
Replika Triplane Fokker Dr. I Von Richthofen
Kok sombong banget sih, di saat orang lain berusaha terbang diam-diam tanpa ketahuan? Menurut cerita adiknya, Lothar, yang juga merupakan anak buah dan wingman-nya, pada awal karir sebagai pilot tempur Manfred merasa terganggu karena ia merasa terlalu mudah dilihat oleh lawannya dalam pertempuran udara, dan sudah berusaha menggunakan berbagai macam warna untuk penyamaran, tapi kamuflase tidak ada gunanya untuk benda bergerak seperti pesawat. Akhirnya, supaya mudah dikenali oleh rekan-rekannya di udara, ia memilih warna merah menyala.

Pada awalnya hanya Manfred sendirian yang menggunakan pesawat berwarna merah. Awalnya ia dijuluki "Le petit rouge", dan pernah dikira "Joan of Arc" atau wanita sekaliber itu karena warna merah identik dengan wanita. Tapi segera semua orang tahu siapa yang duduk di dalam pesawat merah. Setiap kehadirannya dapat langsung meningkatkan semangat pasukan darat dan mengendurkan semangat pasukan lawan. Demi melindungi Manfred yang terlalu mencolok itulah, para anggota skuadronnya memutuskan untuk ikut mengecat merah pesawat mereka juga. Untungnya, kepiawaian tempur mereka membuktikan bahwa mereka juga pantas mengenakan simbol yang sama dengan pemimpin mereka.
Kompakan, yuuuk!
Korban Manfred kebanyakan penerbang Inggris, dan ia memang lebih suka menghadapi orang Inggris. Baginya, penerbang Prancis pengecut, karena lebih memilih kabur kalau bertemu dengannya. Penerbang Inggris umumnya berani menantangnya atau menerima tantangannya. Kalau dipikir-pikir, antara pintar dan pengecut atau berani dan bodoh itu memang tipis bedanya. Kalau sudah tahu lawan yang dihadapi adalah the Red Baron, memangnya salah kalau memilih kabur?

Karena itulah Inggris sampai membentuk skuadron khusus dengan tujuan utama menghancurkan Manfred von Richthofen. Pilot yang berhasil menembak jatuh atau menangkapnya akan mendapat Victoria Cross, promosi, pesawat pribadi, 5.000 poundsterling, dan hadiah khusus dari pabrik pesawat yang digunakan si pilot. Bersama skuadron itu akan terbang juru kamera yang akan merekam seluruh kejadian dengan tujuan film propaganda British Army. Apa yang dipikirkan Manfred von Richthofen ketika membaca berita spesial itu benar-benar kocak!

Pada tanggal 6 Juli 1917, Manfred terluka dalam sebuah dog-fight. Deskripsinya tentang apa yang terjadi ketika kepalanya tertembak dan pesawatnya jatuh benar-benar membuat kita dapat merasakan berada di kokpit pesawat dan terluka bersamanya. Ia selamat dengan luka parah di kepala dan dadanya. Tapi, karena beberapa waktu sebelumnya adiknya Lothar juga terluka dan dirawat di rumah sakit, yang terpikir olehnya malah siapa di antara mereka yang bisa terbang lebih dulu. Dasar kompetitif!

Foto bareng suster Kate yang merawatnya
Manfred von Richthofen menulis dan menerbitkan jurnal perangnya selama masa perawatan (berdasarkan instruksi bagian propaganda Angkatan Udara Jerman). Kalau sebelumnya ia sudah terkenal di kalangan militer baik di pihaknya sendiri maupun pihak lawan, kali ini ia mendadak jadi selebriti dan idola buat masyarakat kebanyakan, yang membanjirinya dengan surat penggemar. Bahkan London Times juga menulis review bukunya, padahal waktu itu perang belum berakhir. 

Meskipun sering bersenggolan dengan Maut, Manfred von Richthofen jarang benar-benar terluka. Namun, keberuntungannya berakhir pada tanggal 21 April 1918 ketika ia tertembak jatuh oleh Captain Roy Brown (catatan resmi demikian, meskipun sekarang terbukti bahwa peluru yang membunuh von Richthofen berasal dari anti-aircraft gun di darat). Ia dikebumikan secara militer dan penuh kehormatan oleh pihak Inggris.

Captain von Richthofen, the brave and worthy foe
Ia gugur di usia dua puluh lima tahun.

If I should live through this war, I shall have more luck than sense. 
-- Manfred von Richthofen
  
View all my reviews

Friday, July 25, 2014

Before I Go To Sleep

Before I Go To SleepBefore I Go To Sleep by S.J. Watson
My rating: 4 of 5 stars

Kalau bicara tentang sakit, mungkin kita langsung berpikir tentang penyakit badaniah. Dan kalau bicara tentang sick-lit, mungkin juga kita langsung teringat pada novel-novel yang tokoh utamanya menderita penyakit berat mematikan dan tinggal selangkah lagi dari liang kubur. Karena mencoba tidak terjebak dalam pola pikir mainstream itulah aku memilih novel yang satu ini untuk berpartisipasi pada event:
Tema Sick-lit
Baiklah, untuk mempersingkat waktu, kita simak saja bincang-bincang ringan antara Tanya (T) dan Jawab (J) tentang novel debut S.J. Watson ini.

T: Memangnya di sini tokoh utamanya sakit apa sih?

J: Amnesia.

T: Klise banget itu mah. Itu kan sering dipakai di sinetron, opera sabun, telenovela... Tokoh utamanya amnesia sebentar untuk seru-seruan aja, terus ingat lagi semuanya pas kepalanya kejedot tembok atau gimana, gitu...

J: Di dunia nyata, amnesia karena trauma bisa jadi membuat tokoh utamanya kehilangan sebagian besar dari memori otaknya secara permanen. Yah, boleh dibilang seperti bad sector dari hard disk yang nggak bisa diperbaiki lagi.

T: Oke deh kalau begitu... jadi tokoh utama ini memang amnesia, tapi bukan yang tipe yang bangun-bangun terus bertanya Who am I? terus berkelana mencari jati diri?

J: Benar sekali, di sini tokoh utamanya, Christine, kehilangan sebagian besar memori otaknya, karena begitu terbangun, ia merasa masih berumur 20-an, masih muda dan lajang, padahal pada kenyataannya sudah berusia 47 tahun. Ia tidak tahu berada di mana, dan tidak lagi kenal suami yang sudah dinikahinya selama puluhan ta--

T: Stop! Ah, ini mirip film itu tuh... yang diangkat dari kisah nyata itu... yang jadi suaminya Channing Tatum itu, kan?

J: Oh... film The Vow maksudnya?

T: Iya, iya. Film itu. Ah, udah ketebak nih jalan ceritanya. Ini pasti cerita si Christine dan suaminya berusaha tetap bersama, meskipun si Christine ini tidak ingat sama sekali sama suaminya...

J: Ehm. Kalau omong-omong tentang film, mungkin plot novel ini kombinasi antara film The Vow dengan film 50 First Dates, sih...

T: Say what? Itu kan film tentang cewek yang punya short term memory loss dan bikin si cowoknya berusaha ngajak kencan setiap hari karena besoknya si cewek sudah lupa siapa dia? Jadi si Christine ini...

J: Iya. Selain kehilangan memori, otak Christine juga kehilangan kemampuan untuk menyimpan memori baru. Ibarat hard disk yang rusaknya bukan cuma karena bad sector saja, tapi juga nggak bisa nge-save lagi. Jadi, setiap kali tidur, otak Christine reset lagi ke memori paling akhirnya, yang umurnya masih 20 tahunan masih lajang itu...

T: Hence the title, ya... Duh, kasian amat suaminya. Ini mah berarti jadi kerjaan rutin tiap hari, harus ngasih tahu si istri tiap hari ya, kalau mereka sudah lama nikah, kalau dia sudah tidak muda lagi, and so on... Terus, before she goes to sleep, dia harus ngapain dong? Berdoa supaya besok masih ingat?

J: Jadi begini..., pada suatu hari Christine didekati oleh Dr. Nash, seorang dokter yang mencoba meneliti dan menyembuhkannya. Dan dalam upaya terapi ini si dokter menyarankan agar Christine membuat jurnal harian, semacam memori tertulis, sehingga Christine bisa mengetahui apa yang dialaminya hari-hari sebelumnya. Setiap pagi si dokter menelepon supaya Christine membaca jurnal yang diisi dan disimpan di lemari sebelum tidur.

T: Begitu... Terus?

J: Jadi novel yang kita baca ini bentuknya model jurnal atau diary. Kita membaca apa yang dibaca dan ditulis Christine dari hari ke hari.

T: Kedengarannya membosankan ya. Kan pasti setiap hari sama begitu. Christine bangun, tidak ingat siapa dirinya, diingatkan oleh suaminya, diingatkan sama dokternya. Begitu terus...

J: Ini bukan novel drama biasa lho. Ini novel thriller.

T: Lho? Bagaimana bisa?

J: Jadi, Christine ini belum lama menulis jurnal, karena belum lama berhubungan dengan si dokter. Jadi sebelumnya mungkin Christine percaya-percaya saja pada Ben, suami yang ditemuinya setiap kali bangun pagi. Tapi setelah membuat jurnal, ia mendapati kalau omongan dan penjelasan Ben tidak konsisten setiap kali ia bertanya tentang masa lalunya. Misalnya, bagaimana mereka bertemu dan menikah. Apa yang membuatnya amnesia. Apakah mereka punya anak. Mengapa foto-foto mereka tidak banyak. Dan lain-lain. Ia mendapati Ben membohonginya.

T: Lah, mungkin suaminya juga capek kali, kalau ceritanya sama terus dari waktu ke waktu? Lumayan buat variasi, daripada  bosan cerita yang itu-itu saja? Atau memang sengaja berbohong supaya Christine tidak sedih, begitu?

J: Hm... sebenarnya pendapat si Christine ini juga berubah-ubah sih tentang kebohongan suaminya, meskipun di halaman depan jurnal ia menulis "DON'T TRUST BEN". Tapi...

T: Tapi apa?

J: Dari jurnal hariannya kita sebagai pembaca bisa mencoba menebak-nebak, apakah si Ben ini memang suami penyabar dan penyayang sebagaimana yang kelihatan, dan si Christine ini cuma paranoid saja, atau ada hal lain yang ia sembunyikan? Apalagi Christine pernah bangun-bangun mukanya memar... Biar dibilangin kecelakaan juga, mungkin saja dia dipukul suaminya, kan? Jangan-jangan bukannya penyabar dan penyayang, si suami malah pelaku KDRT? Jangan-jangan kecelakaan yang membuat Christine amnesia juga sebenarnya...

T: Terus? Terus?

J: Ada plot twistnya tentu saja. Terungkap di halaman-halaman terakhir jurnalnya. Tapi tidak bakal kukasih tahu di sini lah.

T: Yah... Kok gitu, sih?

J: Baca novelnya sendiri saja ya...

Bincang-bincang pun selesai.

View all my reviews

Thursday, July 24, 2014

Holyland (Manga)

Review ini ditulis dalam rangka:
Tema masalah remaja
Judul: Holyland 
Jilid: 1 - 18
Mangaka: Kouji Mori
Dibaca tanggal: 31 Maret 2013

I wanted to become stonger, so that I could protect my (holyland) place.

Dalam hal manga, aku tidak hanya membaca manga yang diterbitkan secara resmi oleh penerbit di Indonesia. Pada zaman jahiliyah dulu, waktu penerbit Indonesia masih kelewat hati-hati dan belum berani secara resmi menerbitkan komik bertema dewasa atau setidaknya yang pasti kalaupun terbit bakal banyak disensor (bahkan Fushigi Yuugi Jilid 2 saja sampai ditarik lagi dari peredaran!), aku membeli berbagai judul komik yang belum terbit di Indonesia karena faktor X tadi (macam GTO atau Shin Kotaro Makaritoru) dari penerbit underground. Setelah tahu ada versi yang lebih hemat, aku membeli versi mangascan dari taman bacaan langganan. Lantas, setelah melek internet dan tahu cara mudah mengunduh sendiri, aku malah jadi doyan mengumpulkan manga hanya berdasarkan deskripsi cerita yang "sepertinya menarik", untuk dibaca kapan-kapan kalau ada waktu. Tentu saja, ketiga metode koleksi manga yang sangat tidak disarankan itu, bagiku semacam proses natural selection, karena bila aku suka atau malah suka banget manganya, aku pasti akan membeli dan mengoleksi kalau sudah terbit edisi resmi terjemahan Indonesianya.

Anyway, manga yang satu ini termasuk yang kuperoleh dengan metode ketiga, dan yang kupilih untuk dibaca secara random dari ratusan judul yang ada, hanya gara-gara aku sedang malas-malasnya membaca novel pada hari libur. Tidak disangka-sangka jalinan cerita menarik serta didukung oleh artwork yang bagus ternyata malah membuatku terdorong untuk menyelesaikannya dalam satu hari. Kalau tidak salah ingat (maklum sudah lebih dari setahun yang lalu), paling-paling kutinggalkan sebentar untuk beberapa kegiatan kurang penting seperti mandi, makan, dan luluran di salon (lah, itu mah lama ya... :)). Tapi yang jelas, rasanya tidak sia-sia menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menyelesaikan serial manga ini. Sayangnya, sampai saat ini aku belum tahu apakah manga ini bakal terbit di Indonesia atau tidak.

Oke, pertanyaan pertama adalah, apakah manga ini memang sesuai dengan tema baca bareng? Menurutku sih jawabannya tentu saja iya. Wong manga ini tokoh utamanya remaja yang bermasalah.

Between the worlds of boys and men, there lies holyland. Where laws don't matter and the strongest rule. In that world, "he" roamed. Kamishiro Yuu, he was there.

Kamishiro Yuu berpenampilan sangat biasa, seperti cowok lemah yang gampang di-bully dan dipalak preman. Tapi, siapa sangka ia bisa melancarkan "one-two punch" tinju dengan mudahnya pada preman yang mem-bully-nya? Malah, Yagi, yang konon salah satu orang terkuat di SMA Sawa, bukan pertama yang menjadi korbannya. Di luar sepengetahuan Yuu sendiri, ia malah dikenal di lingkungan tempat ia berkeliarah sebagai petinju yang memburu anak geng, karena ia sudah memukul jatuh 4-5 orang hanya dengan satu pukulan.

Padahal, setiap kali, Yuu cuma membela diri dari preman yang memalaknya. Habis, tampangnya yang culun itu memang mengundang mereka yang merasa lebih kuat untuk mengerjainya sih. Tapi reputasi Yuu sebagai Shimokita's Hunter Boxer malah menimbulkan perburuan tersendiri atas dirinya. Baik itu dilakukan oleh para "korban" yang kepingin membalas dendam, maupun banyak anak geng lain yang tidak mengetahui sosoknya, yang penasaran untuk menemukan, dan tentu saja, mengalahkannya. Bukannya Yuu tidak sadar konsekuensinya menghajar preman, malah ia bergidik kalau memikirkan mereka bakal balas dendam. Tapi ia punya berpikir: "Once the bullying starts there is no end. If I don't put a stop to it, I'll be nothing again. In this world, if I don't stay strong, I won't exist anywhere..."

Yuu menganggap keberhasilannya membela diri karena kebetulan ia beruntung saja. Benarkah demikian? Duh. Yang namanya kebetulan dan keberuntungan itu, apa iya bisa terjadi sampai 4-5 kali berturut-turut? Lantas, apa rahasia Yuu sehingga mampu menghajar para preman meskipun dengan ketakutan? Dan kalau sudah tahu bakal ada aksi balas dendam dari para "korban", kenapa juga Yuu tetap ngotot setiap malam sepulang sekolah malah terus berkeliaran di jalanan yang notabene bukan lingkungan yang cocok untuknya? Atau... malah sebenarnya lingkungan jalanan itu satu-satunya tempat yang dapat membuatnya merasa hidup? Sehingga ia lebih suka kelayapan di sana ketimbang buru-buru pulang ke rumah?


Sewaktu SMP, Yuu selalu menjadi korban penindasan sampai memilih untuk tidak masuk sekolah sekalian. Karena punya banyak waktu luang, ia membaca buku tentang tinju di toko buku dan mulai berlatih secara otodidak. Ia melatih straight lima ribu kali sehari, ditambah olahraga untuk menguatkan otot dan badan, selama dua tahun. Tapi namanya juga belajar dari buku (yang cuma dicolong baca di toko buku pula), maka kemampuan bertinjunya sama sekali tidak diiringi footwork yang benar (makanya beli bukunya sekalian, dong!). Baru belakangan, dari pengalaman bertarung dan teman-teman yang diperolehnya, Yuu menyerap ilmu untuk berkelahi dengan lebih baik. 


Lawan yang harus dihadapi Yuu tidak mudah. Masih mending kalau korban yang mau balas dendam hanya datang sendiri, tapi seperti umumnya preman kelas teri, kalau bisa minta bantuan orang lain yang lebih kuat, kenapa tidak? Misalnya, Yuu harus menghadapi jagoan judo dari SMA lain, padahal kenal juga tidak. Dan yang namanya street fighting, judo jelas sangat berbahaya. Beda dengan di tempat latihan atau pertandingan judo yang menggunakan matras atau tatami, alas street judo jelas aspal atau beton. Kebayang kan, kalau bisa sampai kena banting? Dan meskipun Yuu menang, penantang lain yang lebih kuat segera muncul. Benar-benar tidak ada habisnya, tapi Yuu sendiri tetap tidak mau lari dan sembunyi.


Tapi selain lawan yang terus bermunculan satu demi satu, teman Yuu pun terus bermunculan satu demi satu. Pertama teman sekelasnya Kaneda Shinichi, yang mengajaknya berteman dan siap melindunginya sebelum tahu bahwa Yuu tidak selemah yang ia kira, lalu Izawa Mai, teman sekelas yang belakangan menjadi love interest, Izawa Masaki, mantan atlet tinju level interhigh sekaligus preman terkenal di sekolahnya, atau Midorikawa Shougo, mantan lawan berkelahinya. Melalui lingkaran pertemanan yang semakin besar inilah, Yuu terus berkembang. Bukan hanya berkembang dari sisi kemanusiaan, dari kesepian dan kesendirian ke persahabatan, tapi juga berkembang dalam skill dan knowledge. Dari semula hanya menguasai one-two punch tanpa footwork dan balance, menjadi seorang street fighter yang tangguh dan komplet.

Bagiku, yang menarik dari manga ini bukan sekedar street fighting satu lawan satu atau tawuran antar geng/sekolah seperti serial Crows dan Shonan Junai Gumi, yang teknik berantemnya boleh dibilang tidak jelas apa. Dalam hal teknis, manga ini mungkin lebih setipe dengan Kotaro Makaritoru, yang mengupas dan menjelaskan dengan detil teknik beladiri yang digunakan para karakternya, baik itu tinju, karate, judo, capoeira sampai MMA. Tapi beda dengan Tatsuya Hiruta-sensei yang menuturkan penjelasan teknis secara sambil lalu melalui dialog para karakternya, di manga ini kelebihan khusus penjelasan teknis bela diri nyaris terpeleset jadi nilai minus sih. Ini gara-gara Kouji Mori-sensei suka kebablasan, karena ketimbang penjelasan via dialog, ia lebih sering memberi penjelasan via narasi, jadi kelihatan banget seperti sengaja menguliahi pembacanya :P Terlepas dari itu, serial ini wajib dibaca kalau kita mau belajar tentang teknik street fighting, at least in theory.

Oh, ya, manga ini sudah ada versi teve live action-nya. Bukan J-dorama sih, melainkan K-Drama, yang terdiri dari 4 episode dan tayang tahun 2012, dengan tokoh Kang-Yoo diperankan oleh Dong-Ho. Hm, dari fotonya memang kelihatan mirip dengan karakter Kamishiro Yuu.

  

Friday, July 11, 2014

James Patterson's Honeymoon

Honeymoon - Bulan MaduHoneymoon - Bulan Madu by James Patterson
My rating: 4 of 5 stars

Sinopsis:
Bagaimana rasanya menjadi pujaan setiap pria dan dicemburui setiap wanita? Kehidupan seperti itulah yang diimpikan Nora Sinclair sejak dulu, dan sekarang tidak akan dilepaskannya begitu saja.

Ketika agen FBI John O`Hara pertama kali melihatnya, dia tampak sempurna. Cantik. Sukses dalam karier. Cerdas. Elegan. Menggairahkan. Dia bukan hanya menarik perhatian pria. Dia membuat mereka tersihir.

Lalu mengapa FBI begitu berminat pada Nora Sinclair? Sebab banyak hal misterius terjadi pada pria-pria di sekitarnya. Ada sesuatu yang berbahaya dalam diri Nora, sesuatu yang kelam dan tersembunyi di dalam celah-celah masa lalunya yang tidak bisa dijelaskan. Dan semakin lama O`Hara menghabiskan waktu bersamanya, semakin dia terpikat sekaligus takut.

Honeymoon adalah kisah yang seksi, menegangkan, tentang wanita dengan nafsu mematikan serta pria-pria yang berani jatuh cinta kepadanya.


Review:
Waktu aku memungut buku ini sebagai teman makan sahur (iya... aku bukan tipe yang makan sahur sambil menyetel teve sih) dari timbunan, sama sekali tidak ada harapan apa-apa, selain karena buku ini lumayan tipis, cuma 398 halaman, dan bisa dibaca dalam satu-dua jam. Cukuplah waktunya sampai imsak tiba. Kenapa tidak berharap banyak? Ya tentu saja gara-gara sudah terlalu banyak novel James Patterson yang kubeli dan kubaca, dengan kesan akhir yang bervariasi dari yang asyik sampai membosankan... dan belakangan ini kebanyakan bikin aku bosan sih.

Pertama membaca judulnya, kukira buku ini akan bercerita tentang pembunuhan yang terjadi pada saat bulan madu. Tidak meleset sih sebenarnya, tapi plot ceritanya ternyata lebih baik dari itu. Ini  drama antara seorang pembunuh serial dengan agen FBI yang mengincarnya, dengan plot twist dan bumbu olahranjang di antara keduanya :)

Cerita dituturkan dengan menggunakan dua POV. 

POV orang ketiga digunakan kala bercerita tentang Nora Sinclair, seorang black widow berprofesi desainer interior yang punya hobi sampingan mengencani (atau menikahi) cowok-cowok ganteng dan kaya, membunuh mereka dengan kombinasi obat-obatan yang bisa menimbulkan serangan jantung, lantas menguras rekening bank mereka dan mentransfernya ke rekeningnya sendiri di luar negeri. POV orang ketiga ini juga sesekali mengikuti seorang agen rahasia (seperti biasa cukup disebut dengan codename si Turis) yang mengamankan data-data rahasia pada sebuah koper misterius, lengkap dengan adegan aksi senjata api yang berdarah-darah layaknya kisah James Bond.

POV orang pertama digunakan untuk mengikuti petualangan agen FBI O'Hara dalam menyelidiki Nora Sinclair. Dalam usaha pendekatannya pada target, ia menyamar sebagai Craig Reynolds, agen asuransi biasa yang tinggal di apartemen butut karena gajinya lebih ditekankan untuk mengurusi penampilan: pakaian dan mobil keren.

Cowok ganteng tapi bokek sama sekali bukan tipe yang ada dalam wishlist Nora, namun entah kenapa ia merasa Craig bukan petugas asuransi biasa dan tertarik kepadanya. Dan setelah penyelidikannya atas diri Craig membuatnya yakin bahwa cowok itu tidak berbahaya, ia pun menjeratnya ke dalam pelukannya, murni karena nafsu (adakah cinta di sini?), bukan demi menambah saldo tabungan di luar negeri.

Kalau James Bond saja bisa mencampur bisnis dengan kesenangan, nggak apa-apa dong kalau O'Hara juga mengikuti jejaknya? Karena otak mau berpikir logis pun susah bila libido laki-laki biasa yang sehat perkasa sudah mengambil alih. Masalahnya, bagaimana urusan ranjang dengan target jangan sampai mengganggu urusan pekerjaan, tetap fokus dan objektif. Itu susah, bung!

Cerita makin rumit ketika Nora yang kepo dengan latar belakang Craig mulai membuntutinya, dan mendapati sang kekasih baru ternyata sudah punya anak-istri. Penipu mana yang tidak merasa terhina kalau sudah kena tipu?

Apakah agen O'Hara akan bernasib sama dengan para lelaki di sekitar Nora Sinclair?

Hahaha, suka deh jalan cerita kucing-kucingan di sini. Apalagi dari POV kedua tokoh utamanya kita bisa mengikuti jalan pikiran mereka masing-masing, sehingga lebih asyik saat mereka mengambil keputusan atau tidak mengambil keputusan yang salah dan bagaimana dampaknya terhadap jalan cerita selanjutnya...

Tunggu saja adegan Nora mencoba membunuh O'Hara dengan teknik beracun andalannya!

View all my reviews

Wednesday, July 9, 2014

Deadly Angels: The Origin

Kiss of Pride (Deadly Angels, #1)Kiss of Pride by Sandra Hill
My rating: 3 of 5 stars

Karena aku membaca serial Deadly Angels-nya Sandra Hill tidak sesuai urutan (habis, mau bagaimana lagi, buku pertamanya tidak ada di keranjang bargain books Periplus sih!), jelas aku agak tersesat dan bertanya-tanya bagaimana sejarahnya 7 orang anak laki-laki Sigurd dari Norseland bisa dijatuhi hukuman sebagai Vangel (Viking Vampire Angel).

Gara-gara penasaran, jadilah aku terpaksa membaca ebook buku pertamanya (padahal timbunan buku fisik masih banyak, woy!). Baru juga buka Prolog, Sandra Hill sudah langsung membeberkan latar belakangnya secara to the point. Yap, mari kita cuplik saja asbabunujulnya:

Konon, Bandung diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum. Nah, ungkapan itu juga mungkin bisa dipakai untuk menggambarkan bangsa Viking, ras yang diciptakan menyerupai dewa-dewa.

Jangkung, gagah perkasa dengan wajah dan tubuh yang menawan. Kekuatan yang sanggup mengatasi iklim yang kejam. Senyum penuh pesona yang menggoda kaum hawa. Bakat dalam bercinta yang disempurnakan pada malam-malam musim dingin yang panjang. Kemampuan tempur guna mempertahankan tanah air. Ada yang bilang, Laki-laki dari Utara bagaikana Malaikat di Bumi (bikin jengkel malaikat asli di Atas Sana saja...).

Waduw, deskripsi makhluk Viking yang fana ini benar-benar ngajak ngakak guling-guling deh :P

Tapi..., tentu saja ada tapinya...

Setelah tiga ratus tahun mereka berjaya di dunia, Tuhan akhirnya menyadari bahwa ciptaannya yang menawan ini menjadi begitu sombong dan haus darah, belum lagi malah memuja dewa-dewa macam Thor dan Odin. Dan ada satu keluarga khusus yang membuat-Nya tidak senang: Keluarga Sigurdsson. Sigurd si Keji bukan hanya berpartisipasi pada serangan terkenal ke Lindisfarne, sebuah biara Saxon, tapi juga ketujuh putranya membuat-Nya murka karena masing-masing melakukan salah satu dari tujuh dosa utama dengan cara yang paling buruk.

Lust. Gluttony. Greed. Sloth. Wrath. Envy. Pride.

Tuhan yang kecewa pun bertekad menjadikan kaum Viking sebagai contoh untuk yang lain. Lantas Ia menganggil Michael, yang segera tahu apa yang membuat junjungannya murka, dan hanya bisa berdecak melihat polah mereka yang berada di bawah sana.

Tuhan pun bersabda, "Mulai saat ini, ras Viking, laki-laki dan perempuan, akan punah dari muka bumi. Selanjutnya, karena kejahatan mereka, ketujuh pendosa ini dihukum di Neraka selamanya. Tolong diurus, ya."

Meskipun ia juga tidak suka pada kelakuan bangsa Norse, tapi sebagai pembela kaum ksatria, Michael pun turut campur pada putusan Tuhan. Yah, mungkin mumpung SK-nya belum ditandatangan.

"Hamba setuju kalau keluarga Sigurdsson sudah keterlaluan, tapi mereka mungkin bisa berubah kalau diberi kesempatan kedua." Sigurd adalah anak ketujuh dari anak ketujuh, dan punya tujuh anak laki-laki: Ivak, Trond, Vikar, Harek, Sigurd, Cnut dan Mordr. Tujuh adalah angka yang suci, sakral dan magis di lingkaran suci.

Mulanya Tuhan keberatan, karena Adam saja dihukum berat untuk kesalahan yang jauh lebih kecil. Tapi akhirnya diputuskan bangsa Viking tetap dibuat tidak eksis lagi, tapi bukan karena kematian, melainkan bercampur dengan kebudayaan lain dan kehilangan identitasnya. Sekalian memastikan tidak ada lagi yang memuja dewa-dewa Norse. Ketujuh pendosa dari keluarga Sigurdsson juga diberikan ujian untuk membuktikan bahwa mereka mampu membawa kebaikan bagi umat manusia. Bukan sebagai misionaris atau pendeta, yang terlalu enteng buat mereka. Berdasarkan usulan Michael, mereka bakal dijadikan tandingan dari pasukan Jasper, utusan Setan yang menyebarkan vampir pemakan jiwa manusia di muka bumi, Lucipire.

Sial buat Michael, gara-gara usulannya, ia ditunjuk menjadi pengawas bagi para Viking Vampire Angel. Keputusan ini nggak bisa diganggu gugat lagi. Nyesel, dah :))

Dan pada tahun 850, lahirlah pasukan vampir Viking, sekitar 200-an tahun dari masa ketika bangsa Viking lenyap dari muka bumi. Kaum vampir ini dikenal sebagai VIK, berbeda dari jenis vampir lainnya, karena diciptakan oleh Tuhan.

Ada yang bilang, mereka malaikat yang jatuh ke bumi.
Ada yang bilang, mereka simbol Tuhan untuk harapan bagi semua manusia.
Kakak beradik Sigurdsson, yang kelak dijuluki The Seven, atau VIK, beranggapan mereka lelucon Tuhan di dunia.
Mereka semua benar.

Hahaha, asbabunujulnya kepanjangan ya. Ah, sudahlah, kalau begitu review bukunya kubuat singkat saja deh:))

Sebagai yang pertama dari serial Deadly Angels (or Deadly Sinners?), buku ini bercerita tentang tokoh pertama, Top of the Pop dari VIK, yaitu si putra sulung, Vikar, terdakwa utama dari:
Narsis itu dosa, katanya.
Meskipun demikian, karena ini buku perkenalan, asal-usul Vangel dibongkar sejak halaman pertama di sini. Dan VIK yang diperkenalkan bukan hanya Vikar, tapi dengan semua adiknya. Kenapa? Karena settingnya dibuat menjelang Hari Perhitungan, di mana ratusan anggota Vangeldom berkumpul untuk menghadapi appraisal seratus tahunan dari Mike (panggilan sayang para VIK buat Malaikat Michael), yang dibantu oleh Rafe dan Gabe (iya... Raphael dan Gabriel). Hukuman Vikar dan adik-adiknya sebagai Vangel sebenarnya cuma 700 tahun, tapi berkat dosa sengaja dan tidak sengaja yang dihitung oleh Mike cs, hukuman mereka terus bertambah.

Acara seratus tahunan itu akan diadakan di kastil yang dibeli Vikar di Transylvannia. Rumania? Bukan. Pensylvannia. Iya, yang seperti di film kartun Hotel Transylvannia itu, lengkap dengan kota wisata yang suasananya dibuat Vampiredom. Di mana kita menyembunyikan sebatang pohon? Di hutan. Di mana kita menyembunyikan markas Viking Vampire Angel...?

Di saat Vikar lagi sibuk-sibuknya merenovasi kastil untuk menyambut acara besar itulah Alex Kelly datang untuk mewawancarainya. Yang pasti, meskipun tadinya Vikar menolak kedatangan tamu tak diundang itu, berikutnya ia memaksa Alex masuk dan berniat menahannya di kastil, setidaknya sampai infeksi dari Lucipire yang diderita Alex sembuh. Dan plot pun bergulir dari sana.

Vikar sama sekali tidak menutup-nutupi kondisinya dan kawanannya. Alex saja yang mulanya tidak percaya dan mengira sedang berada di set film dengan para bintang film yang georgeous habis. Tapi culture shock itu yang terus digali oleh Sandra Hill untuk menghasilkan komedi situasi. Misalnya, Vikar yang baru saja mendapatkan ilmu dari Trond tentang "near-sex" mencoba mempraktekkannya pada Alex. Ya, sebagai utusan Michael di bumi, Vangel tidak boleh melakukan dosa, yang bisa menambah panjang hukuman. Termasuk melakukan seks di luar nikah. Bagusnya, ketimbang Trond, Vikar di sini tidak melakukan seks sungguhan sampai setelah menikah dengan Alex (ini bukan spoiler kok, namanya juga novel roman!).

Sejujurnya, premis utama tentang Vangel ini menarik, tapi seperti halnya Kiss of Surrender, kurasa ceritanya so-so saja. Rasanya dosa mahaberat si Vikar ini juga biasa saja... well, untuk dunia kita sekarang di mana dosa narsis dan have a thing for grandeur malah dianggap keren (hello, Tony Stark!). Jalan ceritanya juga berputar-putar di sekitar Vikar dan Alex saja. Ada sih sedikit pertempuran dengan Jasper dan kawanan Lucipire-nya, tapi not worth to mention.

I need action!!!

Yah, mungkin aku kurang cocok dengan genre Paranormal Romance, yang lebih menekankan romance daripada paranormal atau supernaturalnya. Untuk cerita supernatural dengan aksi yang seru, lebih baik aku kembali membaca genre Urban Fantasy macam Buffy the Vampire Slayer atau Dresden Files.

Tapi... masih ada Kiss of Temptation yang dibintangi Ivak si Lust Sinner di timbunan bukuku... pastinya kapan-kapan bakal kubaca juga sih...