Friday, October 31, 2014

Curtain: Poirot's Last Case

Curtain: Poirot's Last Case (Tirai)Curtain: Poirot's Last Case by Agatha Christie
My rating: 4 of 5 stars

And now, the end is here
And so I face the final curtain
My friend, I'll say it clear
I'll state my case, of which I'm certain
I've lived a life that's full
I traveled each and ev'ry high way
And more, much more than this, I did it my way

Sungguh, lirik lagu Frank Sinatra di atas terus terngiang ketika aku membaca ulang novel terakhir seri Poirot dalam rangka mengikuti event ini:
Tema 1st Published on the Year You Are Born
Dan, sungguh, ada masanya aku tidak menyukai novel ini, sehingga boleh dibilang novel ini termasuk yang amat sangat jarang kubaca ulang. Simply karena di sini Poirot... mati. Dan terutama karena Poirot melakukan dosa yang tak semestinya dilakukan seorang detektif yang biasanya mengungkap misteri pembunuhan: melakukan pembunuhan itu sendiri.



SPOILER ALERT! SPOILER ALERT! SPOILER ALERT!

Ups. Telat ya? Dan masih mau baca review ini?

Oke, sekalian saja kutekankan, dengan alasan for the greater good, Poirot melakukan pembunuhan tingkat pertama: pembunuhan terencana. Sebagai detektif vigilante, ia tidak mengambil jalur Batman, tapi jalur Punisher. Tanpa senapan mesin, tentu saja.

Mengapa seorang Poirot harus berbuat sejauh itu? Oke, simak sinopsis di sampul belakang novel ini:

Lima pembunuhan di tempat berbeda, dengan motif berbeda. Hanya satu kesamaannya: X. X terlibat dalam kelima pembunuhan itu dan berada di sekitar lima tempat itu ketika pembunuhan terjadi. X-lah otak kelima pembunuhan itu. Tapi dengan licik dia berhasil menghindar dari kecurigaan orang. Kelima pembunuhan itu begitu sempurna. Sekarang X berada di Styles. Berarti tak lama lagi akan ada pembunuhan di sana.

Baru kali ini Poirot menemukan lawan yang seimbang. Sayangnya Poirot sudah tua. Jantungnya sudah lemah. Memang otaknya masih tetap tajam. Tapi fisiknya sudah uzur dan jantungnya bisa berhenti berdenyut setiap saat. Tinggal menunggu waktu. Dan waktunya yang singkat itu mungkin takkan cukup untuk bisa menyeret X ke pengadilan.

Sebagaimana tercantum dalam sinopsis, kasus terakhir Poirot adalah perfect crimes. Mengapa? Karena lawannya adalah seorang puppetmaster piawai yang menggunakan keahlian berbicaranya untuk mempengaruhi orang lain untuk membunuh. Dan ia melakukan semua itu tanpa motivasi pembunuhan pada umumnya: harta, tahta dan wanita, melainkan hanya demi kesenangan pribadi. Perfect serial killer!

Hanya dengan deduksi tanpa bukti kuat, Poirot harus mencegah orang itu membunuh lagi. Tapi bagaimana caranya, sementara waktunya sudah kian dekat? Okelah, sebagai vigilante yang baik ia pun memanggil sidekick-nya yang setia, Kapten Arthur Hastings, ke Styles (Oh, sengaja betul Dame Agatha Christie menggunakan lokasi di Styles sebagai bookend petualangan Poirot!).

Dan berdasarkan deskripsi Hastings pulalah, kita melihat bagaimana kondisi Porot di penghujung kejayaannya:

Sahabatku yang malang. Aku sudah sering bercerita tentangnya, kukira. Sekarang dia sudah hampir lumpuh diserang penyakit artritis, jadi kalau hendak bergerak ke mana-mana, dia harus menggunakan kursi rodanya. Perawakannya yang dulu gemuk sekarang sudah tidak kelihatan lagi. Sekarang dia sudah menjadi lelaki kecil yang kurus. Wajahnya dihiasi garis-garis ketuaan dan penuh kerut-merut di sana-sini.


Intinya, karena meskipun otaknya masih cemerlang, Poirot sudah susah bergerak sehingga ia meminta sobatnya Hastings untuk membantu di bagian yang lebih aktif dalam rencananya menghentikan aksi si X.

Tapi, seperti biasa, karena Hastings tidak punya poker face, meskipun Poirot sudah tahu siapa si X ini, Hastings tidak diberi tahu, dan akibatnya Hastings (dan pembaca) dibiarkan berada dalam kegelapan dan berusaha menebak-nebak sendiri siapa di X dari sekian banyak tamu di hotel Styles.

Tragedi apa saja yang terjadi di Styles gara-gara lidah berbisa X?

Seorang pria hampir membunuh istrinya dengan alasan yang nggak banget: "salah tembak kukira kelinci liar".

Arthur Hastings sendiri hampir meracuni lelaki buaya darat yang dicurigainya mendekati putrinya, Judith.

Seorang wanita tewas keracunan.

Seorang pria mati tertembak tepat di tengah dahinya.

Benar-benar produktif, apalagi ditutup dengan matinya Poirot karena serangan jantung,


Pada awal novel, dengan nada berat dan sedih Hercule Poirot berkata kepada Hastings: "Akan ada pembunuhan di sini--di tempat ini." Dan itu bukan merujuk pada pembunuhan yang akan dilakukan si misterius X, namun lebih pada pembunuhan yang akan dilakukan Poirot terhadap si X!

Tanpa perlu berpanjang lebar menjelaskan plotnya, salah satu hal yang perlu diperhatikan pembaca (atau calon pembaca) adalah: Poirot sudah biasa menipu Hastings yang jujur, polos dan gampang percaya seumur persahabatan mereka, dan ia tetap melakukannya sampai akhir. Tapi seperti biasa juga, Poirot melempar banyak petunjuk ke hadapan Hastings, dan kalau saja Hastings (dan pembaca) cukup jeli dan sigap menangkap semua sinyal Poirot, sebenarnya tidak sulit untuk menebak identitas X, dan trik yang dilakukan Poirot dalam melaksanakan aksi kriminalnya.

Dalam penjelasan tertulis pada sahabatnya, Poirot tidak menyampaikan justifikasi atas pembunuhan yang dilakukannya.

Aku tak tahu, Hastings, apakah yang kulakukan ini bisa dibenarkan atau tidak. Tidak--aku tidak tahu. Aku tidak percaya bahwa orang boleh main hakim sendiri, boleh menetapkan hukum bagi dirinya sendiri.

Pada akhirnya, boleh dikatakan Poirot mati karena bunuh diri. Serangan jantungnya bisa diatasi andai saja ia meminum obat amyl nitrite-nya. Namun Poirot sengaja menyingkirkan obatnya agar kematian segera datang menjemputnya. Apakah ia melakukannya demi menebus dosa karena telah mengambil nyawa orang lain?

Regrets, I've had a few
But then again, too few too mention
I did what I had to do and saw it through without exemption
I planned each charted course, each careful step along the byway
And more, much more than this, I did it my way

So true. In the end, Hercule Poirot did it his way.




View all my reviews

Thursday, October 30, 2014

Sengsara Membawa Nikmat


Awal bulan ini, aku mudik ke Cirebon. Pada kesempatan itu, aku mengobok-obok perpustakaan pribadi guna mencari buku terbitan Balai Pustaka yang bisa dibaca ulang untuk bahan event :
Tema Balai Pustaka
Hasilnya? Kalau dibilang ada memang ada sih... tapi... penampakannya berupa koleksi Sejarah Nasional Indonesia Jilid I sampai VI susunan Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto:

Gambar dari stalinebooks.com
Terima kasih, deh. Pass.

Ternyata, kalau diingat-ingat, buku-buku sastra Balai Pustaka yang kubaca memang rata-rata kupinjam dari perpustakaan sekolah. Itu pun dibacanya dalam rangka menunaikan tugas dari mata pelajaran Bahasa Indonesia saja, bukan karena memang berminat untuk mempelajari sejarah literatur dan sastra Indonesia.

Demi memenuhi target membuat review dari semua tema posbar BBI tahun ini, aku pun beralih ke dunia maya dan akhirnya memilih untuk membaca ulang buku ini:

Judul : Sengsara Membawa Nikmat

Penulis : Tulis Sutan Sati

Penerbit : Balai Pustaka

Diterbitkan pertama kali : Tahun 1929

Sinopsis:
Kisah Midun, anak petani yang menjalani berbagai cobaan sebelum akhirnya hidup berbahagia bersama istrinya, Halimah.



Mengapa aku memilih novel ini?

Dari judulnya yang menyiratkan menyuratkan bahwa cerita ini happy ending.

Bukannya aku tidak suka membaca novel yang akhirnya sedih, membuat syok, atau menggantung tanpa kejelasan (yang terakhir ini asyik kok untuk dikarang sendiri lanjutannya), tapi aku sadar sesadar-sadarnya bahwa membaca buku angkatan 1920-an bakal bikin sengsara, jadi minimal aku memilih yang endingnya tidak bikin nyesek dan bete.

Lalu? Benarkah kesengsaraan membawa kenikmatan?

Seperti kata peribahasa: berakit-rakit dahulu, berenang-renang ke tepian.

Yang artinya...? Bersakit-sakit dahulu, mati tenggelam kemudian.

Mau gimana lagi... aku kan tidak bisa berenang, mana nggak ada pelampung lagi. Kalau sampai jatuh dari rakit dan kecebur ke sungai, ya wassalam sayonara bye-bye.

Ehm, maksudnya... membaca buku ini di abad 21 benar-benar membuatku pusing dan memaksakan diri untuk ekstra sabar dalam mentransfer gaya bahasa jadul ke dalam gaya bahasa saat ini. Sungguh, kadang-kadang sampai perlu googling demi memahami maksudnya.

Contoh:

1. Permainan sepak raga.

Yang terbayang:
Cantona sepak raga hooligan
Maksud sebenarnya:
Permainan tradisional yang berevolusi menjadi sepak takraw

2. Bertukar pikiran

Yang terbayang:
Berdiskusi
Maksud sebenarnya:
Gila
Dan masih banyak lagi...

Seru sih menemukan banyak kosa kata yang sudah mengalami pergeseran makna. Tapi tetap saja...

Selain gaya bahasa yang jadul habis, kesengsaraan ditambah dengan narasi yang bertele-tele dan melompat-lompat. Kadang cerita tiba-tiba melompat ke masa lalu, demi menjelaskan akibatnya pada masa kini, dengan panjang lebar pula.

Belum lagi tokoh utamanya, Midun, yang benar-benar Gary Stu banget. Segitu perfect-nya! Nggak percaya? Begini deskripsinya:

Midun seorang muda yang sangat digemari orang di kampungnya. Budi pekertinya amat baik dan tertib sopan santun kepada siapa jua pun. Tertawanya manis, sedap didengarl tutur katanya lemah lembut. Ia gagah berani lagi baik hati, penyayang dan pengasih, jarang orang yang sebaik dia hatinya. Sabar dan tak lekas marah, serta tulus ikhlas dalam segala hal. Hati tetap dan kemauannya keras; apa yang dimaksudkannya jika tidak sampai, belum ia bersenang hati. Adalah pula padanya suatu sifat yang baik, yakni barang siapa yang berdekatan atau bercampur dengan dia, tak dapat tiada senang hatinya, hilang sedih olehnya. Karena itu, tua muda, kecil besar di kampung itu kasih dan sayang kepada Midun. Hampir semua orang di kampungnya kenal akan dia. Sebab itu namanya tergantung di bibir banyak orang, dan budi pekertinya diambil orang jadi teladan.

Iya sih, penokohan seperti ini dibuat untuk memberikan teladan kepada pembaca. Tapi justru karakteristik yang too damn perfect membuat sang tokoh jadi terasa membosankan. Segala tindak tanduk dan keputusannya menjadi mudah ditebak. No surprise here!

Tokoh antagonisnya, Kacak, sama membosankannya. Intinya, ia jadi musuh Midun hanya karena iri hati dan dengki, gara-gara Midun yang cuma anak petani miskin ternyata jadi idola kampung, lebih populer dari dirinya yang kemenakan pemimpin desa yang kaya raya.

Permusuhan Kacak-Midun yang dibuat hitam putih menjadi plot driver novel ini. Kacak berbuat apa saja demi menjatuhkan Midun, bahkan sampai menyewa orang untuk mencelakakan bahkan membunuh Midun. Gara-gara percobaan pembunuhan itu, Midun malah dipenjara di Padang, hanya karena berusaha membela diri.

Tapi sesengsara apapun, lihat sisi baiknya. Kalau Midun tidak dipenjara, ia tidak akan bertemu Halimah, bakal calon istrinya. Kalau tidak bertemu Halimah, ia tidak akan menyeberang ke tanah Jawa. Kalau tidak menyeberang ke tanah Jawa, ia tidak bakal jadi polisi (reserse narkoba, pula!) dan belakangan mutasi sekaligus promosi menjadi asisten demang di tanah kelahirannya...

Sementara itu, Kacak yang jadi penghulu kepala di kampung, ketahuan korupsi, dihukum 2 tahun dan dibuang ke Padang.

Happy ending, anyone?

Kesimpulan

Intinya novel ini dapat disamakan dengan dongeng kartun Disney. Siapa yang berbuat baik, akan mendapat pahalanya. Siapa yang berbuat jahat, akan mendapat ganjarannya.

Tapi, meskipun perlu kesabaran ekstra untuk menuntaskannya, membaca novel zaman baheula selalu ada hiburannya sendiri. Selain pergeseran makna yang drastis, ada pula pergeseran budaya yang cukup bikin senyum simpul: adegan Midun menembak Halimah dalam perjalanan kapal ke Jawa. Kukutip di sini saja ya:

"Kenang-kenangan yang akan sampai, mimpi yang boleh terjadi," ujar Midun tiba-tiba. "Susahnya yang sebagai si pungguk merindukan bulan. Badan loyang disangka emas."

Midun menyesal, karena perkataan itu tidak sengaja terhambur saja dari mulutnya. 

Rasakan hendak dijahitnya bibirnya, karena terdorong itu. "Di manakah Midun yang saleh itu? Apakah arti perkataan yang demikian? Senonoh dan layakkah itu? Tidakkah melanggar kesopanan hidup pergaulan? Pantaskah seorang yang telah mengaku kakak kepadanya mendengar perkataan semacam itu?" Berbagai-bagai pertanyaan timbul dalam pikiran Midun. Malu benar ia akan dirinya, apalagi jika Halimah salah tampa pula.

"Apa boleh buat," kata Midun sendirinya. "Kata terlanjur emas padahannya!"

Repot ya, jadi anak muda jaman dulu. Kayaknya nggak mungkin banget langsung ngomong, "Aku suka kamu. Jadian, yuk?" Cuma kelepasan ngomong pakai kiasan saja, malu dan takut tidak sopannya setengah mati. Untungnya, biarpun hanya pakai kiasan, lawan bicaranya mengerti, dan... membalas perasaannya.

Muka Halimah merah padam mendengar perkataan Midun yang amat dalam pengertiannya itu. Ia memalingkan muka kemalu-maluan. Dalam hati Halimah, "Rupanya bertepuk tidak mau sebelah tangan."

Maka ia pun berkata, "Ah, terlampau tinggi benar pikiran Udo itu. Tiap-tiap sesuatu dengan padannya. Biar bagaimana pipit itil akan tinggal pipit jua. Mudah-mudahan yang dicita datang, yang dimaksud sampai."

Dan Midun, langsung bahagia bukan kepalang mendengar jawaban itu! Padahal kalau dengan ukuran sekarang, jawaban kiasan Halimah itu muter-muter nggak jelas. Jawab saja "aku juga suka kamu", napa!

Oh ya, sebagai informasi tambahan, novel roman ini sudah pernah dibuat versi live action-nya, lho:
Tayang di TVRI tahun 1991
dengan Sandy Nayoan sebagai Midun dan Desy Ratnasari sebagai Halimah.


Wednesday, October 29, 2014

Panca Azimat Revolusi Jilid II

Panca Azimat Revolusi Jilid IIPanca Azimat Revolusi Jilid II by Iwan Siswo
My rating: 3 of 5 stars

851 - 2014

Dan engkau, hal pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi, engkau jang tentunja anti imperialisme ekonomi dan menentang imperialisme ekonomi, engkau jang menentang imperialisme politik,--kenapa di kalangan engkau banjak jang tidak menentang imperialisme kebudajaan? Kenapa di kalangan engkau banjak jang masih rock-'n-roll-rock-'n-rollan, dansi-dansian a la cha cha cha, musik-musikan ala ngak-ngik-ngek gila-gilaan, dan lain-lain sebagainja lagi? Kenapa di kalangan engkau banjak jang gemar membatja tulisan-tulisan dari luaran, jang njata itu adalah imperialisme kebudajaan?--Penemuan Kembali Revolusi Kita, Pidato P.J.M. Presiden Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1959 Senin Djam 8.10 pagi di Istana Merdeka Djakarta.

Paduka Jang Mulia, Bapak pernah berkata agar kita djangan melupakan sedjarah... bukankah di masa muda Bapak, Bapak djuga membatja tulisan-tulisan dari luaran? Bapak djuga menikmati musik dan filem dari luaran? Mengapa Bapak boleh sedangkan kami tidak?

Paduka Jang Mulia, kalau kita mau beladjar dari sedjarah, kebudajaan Indonesia djuga merupakan hasil asimilasi dari kebudajaan luaran. Menurut Alif Danja Munsji (mungkin Bapak tahu nama lain beliau, Remy Sylado), 9 dari 10 kata dalam bahasa Indonesia adalah asing. Serius lho, Paduka. Ini bukunja (bukan terbitan luaran, penerbitnja sama dengan penerbit kumpulan tulisan Bapak ini):


Paduka Jang Mulia, saja akui memang, koleksi batjaan saja hampir 90% merupakan tulisan dari luaran, baik dalam bentuk terdjemahan maupun bahasa aselinja. Dan hampir setengah dari buku-buku saja adalah komik yang berasal dari Jepang, sedangkan sisanja novel-novel dari Inggeris dan Amerika. Dan untuk koleksi filem, kebanjakan dari Amerika tentu sadja.

Eh, kalau dipikir-pikir lagi, dari sisi itu memang benar ja, Paduka, dompet dan waktu luang saja memang terdjadjah oleh buku-buku dan filem dari luaran...

Maafkan saja bila tulisan saja ini terkesan membela diri. Padahal memang ija, sih. Maafkan saja ja, Pak, saja memang sudah addicted. Eh, saja pakai bahasa asing djadinja. Tapi, Bapak djuga suka menjelipkan kata-kata bahkan alinea bahasa Belanda pada tulisan-tulisan dan pidato Bapak. No hard feeling, ja, Pak...


View all my reviews

Panca Azimat Revolusi Jilid I

Panca Azimat Revolusi Jilid IPanca Azimat Revolusi Jilid I by Iwan Siswo
My rating: 4 of 5 stars

Indonesia akan bebas. Tentang soal ini, tentang halnja Indonesia akan mendjadi merdeka, tentang halnja Indonesia akan lepas dari negeri Belanda di kelak kemudian hari, tentang soal ini bagi kita tidaklah teka-teki lagi. Tiadalah teka-teki pula akan bebasnja negeri kita itu bagi tiap-tiap manusia jang mau mengerti riwajat, bagi tiap-tiap manusia, baik bangsa Indonesia maupun bangsa Belanda, jang mau bertulus hati. Seluruh riwajat dunia, seluruh riwajat manusia jang berpuluh-puluh abad itu, tidak adalah menundjukkan satu rakjat yang terdjadjah selama-lamanya. Seluruh riwajat manusia itu malahan adalah saban-saban kali menundjukkan mendjadinja mereka rakjat-rakjat dan negeri-negerinja jang tadinya terkungkung.--Indonesia Menggugat: Pledoi Bung Karno di Hadapan Pengadilan Kolonial Belanda, 1930.

Di depan Gedung Pengadilan Bandung.
Ki-ka: Maskoen, Gatot Mangkoepradja, Soekarno,
Mr Sartono, Mr Soejoedi, Mr Sastromoeljono, dan Soepriadinata
Pledoi yang ratusan halaman panjangnya. Daripada membacanya, mungkin lebih menggetarkan hati apabila mendengarkan langsung suara Soekarno, meskipun berjam-jam lamanya, dan meskipun mungkin aku bakal melongo bila mendengar setiap bagian yang menggunakan bahasa Belanda. Yah, penggunaan selipan bahasa Belanda di Indonesia zaman itu sama wajarnya dengan penggunaan selipan bahasa Inggris pada zaman sekarang.

Pada Jilid I buku Panca Azimat Revolusi, naskah pledoi Indonesia menggugat ini hanya salah satu dari empat tulisan, risalah, pembelaan dan pidato Soekarno yang ada. Sisanya adalah Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme (Suluh Muda Indonesia, 1926), Mentjapai Indonesia Merdeka (1933), dan Lahirnya Pantja Sila (1945).

Khusus ilustrasi sampul buku ini, rupanya diambil dari foto yang satu ini:

Yang versi gambarnya juga pernah digunakan untuk cover majalah Time:


Memang kamiorang berdiri di hadapan mahkamat Tuan-tuan ini bukanlah sebagai Soekarno, bukanlah sebagai Gatot Mangkoepradja, bukanlah sebagai Maskoen atau Soepriadinata,--kamiorang berdiri di sini sebagai bagian-bagian daripada rakjat Indonesia jang berkeluh kesah itu, sebagai putera-putera Ibu-Indonesia jang setia dan bakti ke_padanja. Suara jang kami keluarkan di dalam gedung mahkamat sekarang ini, tidaklah tinggal di antara tembok dan dinding-dindingnya sahadja,--suara kami ini adalah didengar-dengarkan pula oleh rakjat jang kami abdii, mengumandang ke mana-mana, meintas-lintasi tanah datar dan gunung dan samodra, ke Kota-Radja sampai ke Fak-Fak, ke Oeloesiaoe-dekat-Manado sampai ke Timor. Rakjat Indonesia jang mendengarkan suara kami itu, adalah merasa mendengarkan suaranja sendiri.

Putusan Tuan-tuan Hakim atas usaha kamiorang, adalah putusan atas usaha rakjat Indonesia sendiri, atas usaha Ibu-Indonesia sendiri. Putusan bebas, rakjat Indonesia akan bersukur, putusan tidak bebas, rakjat Indonesia akan tafakur.

Kami memudjikan Tuan-tuan mempertimbangkan segala hal-hal ini. Dan sekarang, di dalam bersatu-hati dengan rakjat Indonesia itu, di dalam bakti dan bersudjud kepada Ibu-Indonesia jang kami tjintai itu,--di dalam kepertjajaan bahwa rakjat Indonesia dan Ibu Indonesia
akan terus nanti mendjadi mulia, nasib jang bagaimanapun djuga mengenai kami, maka kami siap-bersedia mendengarkan putusan Tuan-tuan Hakim!

View all my reviews

Einstein: Kehidupan dan Pengaruhnya bagi Dunia

Einstein: Kehidupan dan Pengaruhnya bagi DuniaEinstein: Kehidupan dan Pengaruhnya bagi Dunia by Walter Isaacson
My rating: 5 of 5 stars

Tidak, di sini aku tidak akan menulis review panjang lebar.

Yang pasti, buku ini sangat kurekomendasikan bagi mereka yang tertarik pada Einstein, baik kehidupan pribadi, pencapaian, maupun pemikirannya.

Dan yang pasti, ketika aku melihat foto-foto Einstein muda yang disertakan dalam buku ini, kurasa saat ini ada aktor muda yang cocok untuk memerankan sang Einstein muda:

Eeerie. Just eerie...

View all my reviews

Tuesday, October 28, 2014

Pena Beracun

Pena Beracun - The Moving FingerPena Beracun - The Moving Finger by Agatha Christie
My rating: 4 of 5 stars

Program BUBU (Beli Ulang Baca Ulang) Agatha Christie yang kulakoni ini tantangannya lumayan berat. Masalahnya, buku-buku Agatha Christie itu banyak banget! Kalau dulu bacanya dicicil sejak jaman SD, sekarang... ya tetap dicicil juga sih. Tapi... masalahnya masih banyak timbunan buku TBR lain yang terus memanggil-manggil minta dijamah duluan... (ah, keluhan klise banget ini!)

Tapi... setelah dipikir-pikir buku-buku Agatha Christie itu tipis-tipis kok, bila dibandingkan buku-buku TBR lainnya. Jadilah belakangan ini aku cukup rajin membaca Agatha Christie lagi.

Buku Pena Beracun alias The Moving Finger ini termasuk salah satu buku Agatha Christie favoritku. Namun setelah membacanya kembali saat ini, sepertinya terdapat beberapa hal yang rasanya ingin kukomentari sedikit:

1. Buku ini mengingatkanku pada buku-buku Enid Blyton.

Sebagai pembaca setia karya Enid Blyton, aku merasa cukup banyak cerita misteri dan petualangan yang dimulai karena para tokoh utamanya baru sembuh dari sakit, dan harus melakukan tetirah alias memulihkan kesehatan dengan pergi beristirahat di tempat lain (umumnya daerah pedesaan). Lantas, mau tak mau, sengaja tak sengaja, terlibat misteri atau petualangan.

Buku ini dimulai dengan gaya yang persis sama. Naratornya, Jerry Burton, yang baru sembuh dari kecelakaan pesawat, melakukan tetirah ditemani oleh adiknya ke sebuah desa terpencil. Dan terlibat misteri? Ya iyalah.

2. Buku ini mengingatkanku pada salah satu buku Pasukan Mau Tahu

Sebenarnya, ditilik dari ceritanya (di luar kasus pembunuhannya), judul buku ini mungkin lebih pas bila diterjemahkan menjadi Misteri Surat Kaleng seperti buku The Mystery of the Spiteful Letters-nya Pasukan Mau Tahu. Isi surat-surat tanpa nama pengirim itu sama-sama spiteful dan sok tahu, bagai tulisan wartawan tabloid gosip yang malas melakukan check and re-check terhadap sumber beritanya. Dan suratnya tidak ditulis dengan pena, beracun maupun tidak.

Konon, judul asli buku ini diambil dari salah satu ayat dari terjemahan Rubaiyat Omar Khayam yang dialihbahasakan oleh Edward Fitzgerald:

The Moving Finger writes; and, having writ,
Moves on: nor all thy Piety nor Wit
Shall lure it back to cancel half a Line,
Nor all thy Tears wash out a Word of it

3. Kisah si Itik Buruk Rupa

Sepertinya yang dulu membuatku suka pada buku ini adalah cerita dongengnya. Tentang seorang gadis desa yang berpenampilan jelek dan sederhana, dan merasa "tidak diinginkan siapapun", namun setelah didandani sebentar di kota langsung berubah cantik, dan membuat si narator jadi merasa sebenarnya ia telah jatuh cinta pada si gadis.

Hm... My Fair Lady hanya dalam satu hari.

4. Miss Marple cuma tampil sebentar di penghujung buku.

Mungkin ini juga yang membuatku suka pada buku ini? Entah mengapa buku-buku Miss Marple bagiku lebih menarik kalau fokus utamanya bukan si detektifnya. Berbeda halnya dengan buku-buku Hercule Poirot, aku merasa keberatan kalau Poirot cuma muncul sebentar :))


View all my reviews

Sunday, October 26, 2014

Death on the Nile

Pembunuhan Di Sungai Nil Pembunuhan Di Sungai Nil by Agatha Christie
My rating: 3 of 5 stars

Kalau dipikir-pikir, cerita Agatha Christie sering dimulai dari sebuah kebetulan.

Seringkali kebetulan itu dimulai dengan Hercule Poirot yang duduk di sebuah restoran atau lobby hotel sambil iseng mengobservasi apa dan siapa saja. Bukan hanya itu, telinganya juga telinga neraka, yang mampu menangkap (menguping?) pembicaraan orang lain meskipun tidak kepingin. Belum lagi ditambah betapa perseptifnya Poirot dalam psikologi, terutama dalam urusan cinta dari sepasang insan.

Une qui aime et un qui se laisse aimer--seseorang yang mencinta dan seorang yang menjauhi cinta.

Di atas semuanya, semua observasi iseng Poirot pastinya disimpan di salah satu loci di sel-sel kelabu otaknya, dan dapat ditarik keluar kapan saja ia mau.

Karena itu, tak heran apabila kebetulan beberapa bulan kemudian Poirot bertemu dengan orang-orang yang sempat jadi bahan observasinya, ia bisa ingat lagi kapan dan di mana pernah melihat atau mendengar mereka.

Kasus yang dihadapi Poirot di buku ini murni disebabkan oleh motivasi pembunuhan paling umum sepanjang sejarah manusia: harta dan cinta.

Demi harta, seseorang dapat melakukan apa saja, termasuk membunuh orang lain.
Demi harta, seseorang bisa lupa akan bahaya dan mencoba memeras seorang pembunuh.
Demi cinta, seseorang bisa membiarkan  orang yang dicintainya membunuh orang lain demi harta, dan bisa membunuh orang yang dicintainya supaya tidak menderita saat segalanya terungkap.

And know I'm falling apart, it's killing my heart
Again and again and again
Love made me stupid, love made me do it
Love made me mess up everything in my life

Omong-omong, sejauh ini aku nggak menebar spoiler, kan? Menebar plot ceritanya saja nggak... :)



Deadly Heat

Deadly Heat (Nikki Heat 5)Deadly Heat by Richard Castle
My rating: 4 of 5 stars

May the dance never end and the music never stop.

Saat Castle menulis buku ini, hidupnya telah berubah drastis, karena semua khayalan dan dambaan yang selama ini dituangkan dalam kisah cinta Nikki Heat dan Jameson Rook telah menjelma menjadi kenyataan.

Yap, saat menulis buku ini, Castle dan Beckett telah menjadi Caskett.

Kisahnya sendiri boleh dibilang masih kelanjutan dari buku keempat, Frozen Heat. Nikki Heat masih mencoba melacak mereka yang terlibat pembunuhan ibunya tapi lolos dari tangan hukum, tapi sekaligus diramu dengan inspirasi dari cerita lama dari tahun kedua Castle bersama Beckett cs: pembunuh serial yang menantang "Nikki Heat": Scott Dunn.

Dan namanya pembunuh serial, korban pun dipilih secara acak. Pertama Roy Conklin, health inspector yang ditemukan terpanggang di oven pizza (yup, Slice of Death reference!). Selanjutnya, Maxine Berkowitz, reporter TV yang ditemukan mati dicekik dengan kabel TV. Lalu Douglas Earl Sandman alis Bedbug Doug, yang mati disekap dengan matras. Poetic.

Seolah plotnya belum cukup ramai, masih ditambah teror bom biologis (yap, that reference!), yang masih berkaitan dengan kasus di Frozen Heat!

Btw, Castle memasukkan nama Slaughter sebagai salah satu petugas polisi berseragam di novel ini, hanya saja untuk nama seseram itu, karakternya tidak sesangar polisi yang dipinjam namanya!

"I mean, if your name was Slaughter, wouldn't you at least hit the gym?" komentar Rook. Hah, apa ini balas dendam Castle pada Slaughter? Mudah-mudahan Slaughter tidak suka baca novel.

Omong-omong, pelajaran grammar hari ini adalah:

Pernah terpikirkan bila feature Nikki Heat yang dibuat Jameson Rook diangkat jadi film? Siapa yang bakal dicasting jadi Jameson Rook?

"Nathan would be perfect casting, if he's available."
-page 216

Well, it's way too meta!

View all my reviews

Kucing di Tengah Burung Dara

Kucing di Tengah Burung DaraKucing di Tengah Burung Dara by Agatha Christie
My rating: 3 of 5 stars

Waktu mencari arti kiasan cat among the pidgeons di internet, yang kudapat adalah ini:

to put/set cat among the pidgeons:
to do or say something that causes trouble and make a lot of people angry or worried.

Yah, sebenarnya sih yang terbayang di kepala benar-benar harfiah, seperti ini:
Olahraga, Cuy!
Persis seperti yang ditampilkan oleh cover edisi baru ini, kehadiran seekor kucing dan tiga ekor burung dara yang terbantai menjadi bangkai.

Ceritanya sendiri tidak seharfiah itu, sih, dan tidak ada detektif yang berusaha mencari kucing garong mana yang telah membunuh tiga ekor burung dara dengan kejamnya.

Kisahnya sendiri dimulai dengan semester baru di sekolah asrama putri Meadowbank, yang merupakan salah satu sekolah paling berhasil di Inggris. Dengan setting Inggris tahun 1950-an, jelas yang terbayang adalah sekolah asrama versi Enid Blyton, semisal Malory Towers atau St. Clare, bukannya Sekolah Sihir Hogwarts.

Tapi yang jelas, selain di Sekolah Sihir Hogwarts, sepertinya di Inggris jarang terdapat kisah pembunuhan yang terjadi di sekolah, beda banget dengan manga Jepang, yang sepertinya sering terjadi di sekolah Kindaichi.

Nah, di novel ini, ada pembunuhan di sekolah. Dan tidak cukup satu, tapi sampai tiga orang yang jadi korban!

Apakah ini pembunuhan serial? Seram banget kalau iya, mending pindah sekolah saja!

Siapakah pelakunya? Satu atau sekelompok orang? Apa motivasinya?

Sebenarnya, di awal novel diceritakan pula apa yang kira-kira menjadi penyebab dari kekacauan di sekolah bergengsi ini. Dari kancah revolusi di Timur Tengah, Pangeran Ali Yusuf berusaha menyelundupkan harta karun berupa permata keluarga ke luar negeri lewat pilotnya, Bob Rawlinson. Belakangan mereka berdua tewas ketika pesawat yang mereka naiki disabotase. Koleksi permata sang pangeran tidak pernah ditemukan.

Lalu apa hubungannya dengan sekolah asrama yang jadi TKP?

Konon ada yang melihat Bob Rawlinson menyembunyikan sesuatu di antara barang bawaan adik perempuannya dan keponakan perempuannya yang sedang berkunjung ke negara si pangeran. Karena itu, pihak intelejen Inggris memusatkan pencarian permata di sekolah keponakan Rawlinson, Jennifer Sutcliffe. Apalagi, keponakan Pangeran Ali, Shaista juga bersekolah di sana.

Lalu di bawah hidung pihak intelejen, pembunuhan-pembunuhan mulai terjadi. Dimulai dari guru olahraga, Miss Springer (namanya cocok sekali dengan profesi, ya!), lalu Miss Vansittart, dan akhirnya Miss Blanche. Belum cukup kasus pembunuhan, Shaista juga diculik!

Sayang sekali, Poirot baru terlibat di akhir buku. Itu pun setelah seorang murid, Julia Upjohn, kabur dari asrama untuk meminta bantuannya karena pernah mendengar cerita tentang kehebatan Poirot. Terutama karena Julia... menemukan permatanya!



View all my reviews

Academ's Fury

Academ's Fury (Codex Alera, #2)Academ's Fury by Jim Butcher
My rating: 4 of 5 stars

OK.

Ternyata harapanku terkabul. Kisah Tavi si shepherd apprentice dari Lembah Calderon ternyata berkembang menjadi lebih baik pada buku kedua.

This second book is better than the first. Trust me. 

Berkat jasanya pada Perang Calderon Kedua, di mana ia berhasil mencegah usaha kudeta salah seorang High Lord Alera, Tavi dapat masuk ke akademi di ibukota dengan jaminan dari Gaius Sextus, First Lord Alera, yang menjadi patronnya. Padahal, akademi di Alera Imperia itu seharusnya hanya bisa dimasuki oleh kalangan elit yang disebut Citizen. Iyaaa... sistem kasta di Alera sedikit banyak memang mirip dengan Imperium Romawi. Kasta tertinggi memang Citizen, yang berada di atas rakyat merdeka, sementara yang terendah adalah kalangan budak. Dan Citizen adalah kasta warrior dengan bakat furycraft yang tinggi.

Tavi yang tidak bisa furycraft sama sekali jelas salah tempat di akademi, kalau di dunia Harry Potter ibarat seorang squib yang entah kenapa bisa masuk Sekolah Sihir Hogwarts. Jelasnya, seperti waktu di kampungnya, Tavi pun di-bully habis-habisan di akademi. Warga Alera yang tidak bisa furycraft? Freak! Bisa masuk akademi paling-paling karena KKN, mentang-mentang page-nya First Lord Alera!

Untungnya, Tavi mendapat beberapa sahabat karib, seperti Ehren dan Maximus. Dan untungnya lagi, Tavi tidak semata-mata belajar di akademi, ia juga menjalani pendidikan sebagai Cursor, alias agen rahasia Alera. Ini agak luar biasa sebenarnya, karena pada umumnya seorang Cursor juga mestinya memiliki furycraft yang luar biasa.

Ujian bagi Tavi di sini adalah ketika Gaius Sextus roboh dan koma karena terlalu banyak menggunakan kemampuannya untuk melindungi Alera. Bisa berbahaya kalau sampai kondisi kesehatan Gaius diketahui umum, karena bisa menciptakan instabilitas dan memberi peluang bagi para pengkhianat yang ingin menggulingkannya dari kedudukan First Lord.

Dan seperti halnya di buku pertama, novel ini tidak hanya berpusat pada Tavi, melainkan juga pada tokoh-tokoh lain seperti kisah paman Tavi, Bernard, dan Cursor Amara, yang bekerja sama dengan klan Marat untuk menumpas serbuan musuh yang sama sekali baru dan berbahaya, kaum Vord, yang mirip koloni belalang. Tidak lupa bercerita juga tentang bibi Tavi, Isana, yang malah menyeberang ke pihak musuh demi melindungi Tavi.

Seperti halnya Dresden Files, Jim Butcher gemar membuka latar belakang tokoh utamanya sedikit demi sedikit, meskipun dari judul-judul serial ini, yang ternyata spoiler habis, kita akan bisa menebak jalur karir Tavi dari buku ke buku, termasuk latar belakangnya!

Ah, well, meskipun predictable, yang penting dari sebuah cerita adalah bagaimana cara menceritakan sebuah kisah, dan Jim Butcher memang jago banget di situ. Kita bisa membayangkan setting Alera Imperia yang bak Kota Roma di zaman Julius Caesar, bisa membayangkan sistem kastanya yang dibagi berdasarkan kemampuan untuk mengendalikan kekuatan alam, sampai dapat membayangkan jalan pertempuran yang merupakan kombinasi antara permainan pedang dan furycraft!

Setting serial ini yang Romawi banget dan furycraft-nya, entah kenapa malah mengingatkanku pada manga Full Metal Alchemist yang Jerman banget dengan alchemy-nya. Namun yang paling penting adalah tokoh utama buku ini, yang karena sejak kecil tidak punya kemampuan furycraft seperti orang lain, jadi lebih mengandalkan kecerdikannya untuk mengalahkan musuh.


View all my reviews

Frozen Heat

Frozen HeatFrozen Heat by Richard Castle
My rating: 4 of 5 stars

Sejak mengetahui bahwa Castle memasukkan latar belakang dan alasan Beckett menjadi polisi sebagai latar belakang dan alasan Nikki Heat, tentunya yang ditunggu-tunggu pembaca adalah, kapan dan bagaimana misteri pembunuhan ibu Nikki Heat dituangkan dalam novel. Dan apakah Castle akan setia pada kisah asli, atau alur ceritanya akan benar-benar berbeda?

Ternyata... ramuan Castle amat sangat berbeda.

Berawal dengan ditemukannya sesosok mayat beku dalam koper. Bukan mayat dalam koper biasa, karena Nikki Heat mengenali koper itu adalah koper milik ibunya, yang hilang di saat pembunuhan ibunya. Dengan demikian ada dua cold case (iya, ini pun) yang dapat dipecahkan secara bersamaan.

Kali ini pun Jameson Rook ikut campur dalam penyelidikan. Berdasarkan insting dan insight jurnalisnya, penyelidikan tidak hanya dilakukan di sekitar New York. Tapi juga di Boston, dan... Paris!

Dan ternyata oh ternyata... ibu Nikki adalah seorang... SPOILER ALERT ...spy CIA.

Nah, waktu menyusun buku ini, jelas Castle belum pernah bertemu dengan ayahnya yang juga seorang spy CIA. Jadi referensi yang digunakan jelas bukan kisah pribadinya, tapi ya... karena jelas ia sudah terbiasa menulis cerita mata-mata dengan serial Derrick Storm-nya.

Dan apakah selain berhasil mengungkap rahasia masa lalu ibunya, Nikki juga berhasil menemukan pembunuh ibunya?

Ya. Namun sang puppetmaster, meskipun identitasnya berhasil diketahui, berhasil lolos dari jangkauan hukum. Persis seperti kondisi dan kenyataan yang harus ditelan Detektif Kate Beckett. Yang jelas, akhir yang menggantung seperti ini dapat menjadi petunjuk bahwa tokoh tersebut masih akan muncul pada kisah hidup Nikki Heat selanjutnya.

Sebagai informasi tambahan, Precinct 20 kali ini dipimpin oleh kapten baru, Wallace Irons, dengan julukan Iron Man. Iya, seharusnya karakter ini counterpart buat Kapten Victoria Gates yang berjulukan Iron Gates, tapi selain jenis kelaminnya berbeda, sifatnya juga. Hanya nama julukan yang mirip.

Oke, pelajaran grammar Castle kali ini adalah :



Oh ya, btw, Detektif Malcolm dan Detektif Reynolds bukan sekedar numpang lewat rupanya. They are here to stay.

View all my reviews

The Naked Traveler 1 Year Round-The-World Trip

Wow.

Or wtf?

Menghabiskan waktu satu tahun untuk bertualang keliling dunia? 

Kisah perjalanan Trinity yang disajikan dalam dua jilid buku ini dapat menimbulkan reaksi yang berbeda-beda pada setiap pembaca.

Iri? Pasti. Terutama buat office bee sepertiku, yang meskipun punya 15 hari cuti setahun (sekarang sudah tidak potong cuti bersama lagi, FYI) plus cuti besar 90 hari setiap enam tahun, tetap saja jatah hari cuti selalu bersisa tiap tahunnya. H.u.h.

Bermimpi? Sudah tentu. Setelah iri, tentunya jadi bermimpi bisa seperti Trinity dan Yasmin, bisa melepaskan semua kekang rutinitas sehari-hari untuk bertualang ke negeri antah berantah.


Mengerutkan kening? Sangat mungkin ada yang berpendapat bahwa traveling keliling dunia cuma buang-buang waktu dan duit. Kayak nggak ada kegiatan dan kebutuhan lain aja. Mendingan juga duitnya dipakai buat down payment rumah. Realistis aja deh, bro.

Dalam salah satu bab di buku pertama, Trinity menyimpulkan kenapa orang Indonesia jarang traveling.

Pertama, karena traveling bukanlah prioritas bagi sebagian besar orang Indonesia. Boro-boro traveling, mikirin biaya makan sehari-hari saja susah.

Kedua, traveling masih termasuk mahal. Mending dipake nyicil motor, mobil dan rumah.

Ketiga, cuti yang terbatas. Rata-rata 12 hari/tahun, seringnya dipakai urusan keluarga, seperti pernikahan, sunatan, kematian, dan sebagainya. Dan di Indonesia sangat kecil kemungkinan untuk mendapat "sabbatical leave" atau cuti tanpa dibayar selama 2 bulan sampai 1 tahun.

Hm... aku jadi ingin memberi tambahan untuk teori ini deh...

Sebenarnya, bagi sebagian besar orang Indonesia, ada yang namanya traveling wajib, meskipun dengan embel-embel bila mampu, yaitu Pilgrimage to Mecca. Alias pergi naik haji.

Ini traveling impian kebanyakan orang Indonesia, dan berbeda dengan traveling biasa yang hanya . Makanya ada yang bela-belain menabung bertahun-tahun, atau menjual harta benda, atau jualan bubur... demi masuk waiting list, dan kalau beruntung bisa berangkat dalam sepuluh tahun.

Tapi seringkali, bagi mereka yang sebenarnya situasi finansial dan fisiknya memenuhi syarat, istilah bila mampu itu suka dipersepsikan berbeda, demi menunda keberangkatan. 

Biasanya, alasan utama menunda keberangkatan adalah: masih muda.
Meskipun dalam setahun bisa gonta-ganti gadget, gonta-ganti mobil, atau jalan-jalan ke luar negeri dengan ongkos lebih mahal dibandingkan ONH reguler, berangkat haji di kala muda tidak terpikirkan sama sekali. 

Masa muda itu masanya bersenang-senang, dan memuaskan hobi dan hasrat dulu, mumpung mampu. Nah, di masa tua, sudah lebih bijak dan lebih dalam ilmu agamanya, dan kondisi finansialnya lebih baik, baru pantas naik haji.

Prinsip yang dianut jelas: muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga.

Ih, siapa juga yang nggak mau? :P

Tapi siapa yang bisa menjamin kalau kita tidak bakal mati muda? Dan siapa yang bisa menjamin kalau sudah lebih tua, seseorang akan lebih bijak, lebih dalam ilmu agamanya, dan lebih baik finansialnya? Yang ada malah alasan yang dicari-cari untuk tidak berangkat mungkin lebih banyak daripada sewaktu muda.

Yah, intinya sih, jangan menunggu tua untuk traveling, baik traveling ibadah (bagi mereka yang diwajibkan) maupun traveling ala Trinity. Kondisi kesehatan itu penting untuk perjalanan yang jauh dan memerlukan aktivitas fisik. Tidak banyak orang yang bisa menjaga kondisi fisik prima sampai usia tua.  

Oke, ceramah "Berangkatlah selagi muda" selesai :)

Kembali ke buku Trinity, seperti biasa cara Trinity menceritakan perjalanannya membuat kita seolah ikut jalan-jalan ke negara-negara yang dikunjunginya. Apalagi bukunya disajikan dengan penuh warna dan foto, meskipun terus terang saja, foto cowok-cowok Latin yang cakep kurang banyak!!!

Omong-omong, masalah penampilan fisik ini relatif ya. Kita sebagai turis di negeri orang, mungkin merasa orang-orang di sana ganteng dan cantik semua dibandingkan orang-orang di negeri kita. Padahal, siapa tahu terjadi juga kebalikannya. Mereka yang jadi turis di negeri kita juga menganggap orang-orang Indonesia tuh semuanya ganteng-cantik-eksotis.

Bagaimanapun, sejauh apapun kita pergi baik mencari peruntungan maupun sekedar mencari pengalaman di negeri orang, home is where the heart is. Di manapun kita berada, sepanjang kita merasa nyaman berada di sana, kita sudah berada di rumah.

Sunday, October 19, 2014

Heat Rises

Heat Rises (Nikki Heat, #3)Heat Rises by Richard Castle
My rating: 4 of 5 stars

Richard Castle punya alasan kuat mengapa ia memilih nama Nikki Heat sebagai counterpart Kate Beckett di serial novelnya, meskipun awalnya Beckett keberatan karena nama Nikki Heat terdengar murahan, lebih mirip nama panggilan seorang penari telanjang ketimbang seorang detektif polisi. Castle sudah membayangkan ia takkan hanya menulis sebuah novel lepas, tapi serangkaian novel berseri yang semua judulnya menggunakan kata Heat, sebagaimana ia membuat semua judul serial Derrick Storm menggunakan kata Storm. Terbukti dengan terbitnya Heat Wave, Naked Heat, dan kali ini Heat Rises.

Novel ketiga ini tetap terinspirasi berbagai peristiwa yang dialami Castle sebagai konsultan gratisan di Precinct 12 NYPD. Meskipun cukup mengherankan bagaimana novel ini masih bisa terbit sesuai deadline, mengingat tragedi yang menimpa Precinct 12, dengan gugurnya Kapten Montgomery dan percobaan pembunuhan atas Detektif Beckett. Tapi karena itu pula, tidak mengherankan apabila Castle mempersembahkan halaman dedikasi yang berbeda dari dua buku terdahulu: To Captain Roy Montgomery, NYPD. He made a stand and taught me all I need to know about bravery and character

Very nice, Castle.

Galeri easter eggs di novel ini mencakup:

Bondage Club
Male Strip Club


Quantum of Solace
The Fallen Commander
Bullet diving 
Dalam novel ini, Rook yang menerima peluru yang seharusnya mengenai Heat, mencerminkan harapan Castle yang terlambat melakukan hal yang sama di "dunia nyata". What if...

Sentuhan akhir dari Castle di akhir novel adalah saat Heat membacakan novel historical romance karya Victoria St. Clair pada Jameson Rook yang masih terbaring koma di ICU. Judulnya Castle of Her Endless Longing, dengan heroine bernama Lady Kate Sackett.

Very nice, Castle.

Dan kembali, bagian Acknowledgements tetap menjadi favoritku.

Oh, btw, pelajaran grammar Richard Castle kali ini adalah:


View all my reviews

Endless Night

Malam Tanpa Akhir -  Endless NightMalam Tanpa Akhir - Endless Night by Agatha Christie
My rating: 4 of 5 stars

Sebagai salah satu novel misteri tanpa detektif dari Agatha Christie, buku ini boleh dibilang termasuk yang dapat membuat seorang pembaca yang polos, lugu dan mudah ditipu, akan berteriak "UAPAAA?" sambil melempar bukunya, ketika masuk ke bab terakhir alias bab penjelasan whodunnit-nya.

Misterinya cukup klasik sebenarnya, dimulai dengan cerita tentang estat terkutuk yang telah membuat pemiliknya tak henti dirundung malang. Begini sinopsis bukunya:

Penduduk Kingston Bishop berkata siapapun yang memiliki Gypsy's Acre akan mengalami nasib malang dan kejadian-kejadian berbahaya... dan akhirnya akan mati.

Tapi Mike dan Ellie sedang dilanda cinta. Mereka akan mendirikan rumah mereka di Gypsy's Acre, dan kebahagiaan mereka akan menghapuskan segala masa lalu yang jahat itu untuk selama-lamanya.

Kemudian ancaman-ancaman itu mulai datang. Kecelakaan-kecelakaan, juga teror. Tiba-tiba cita-cita mereka yang indah menjadi mimpi buruk yang penuh dengan ketakutan, pengkhianatan... dan pembunuhan!

Kisah drama tragedi ini dinarasikan oleh Michael Rogers, atau Mike, seorang pemuda biasa yang bertemu dan jatuh cinta dengan Fenella Goodman, atau Ellie, seorang pewaris kaya raya dari Amerika. Singkat cerita, cinta pada pandangan pertama itu berlanjut ke pelaminan.

Pasangan muda itu membeli Gypsy's Acre dan membangun rumah di sana, tanpa mempedulikan gosip lokal tentang legenda Gypsy's Acre, yang konon dikutuk oleh kaum gipsi yang diusir keluar dari daerah itu.

"Dengarkan aku, Cantik," kata Mrs. Lee kepada Ellie, jauh sebelum Ellie membeli Gyspsy's Acre. "Nasib sial akan menimpa siapa pun yang membelinya. Tanah ini sudah dikutuk, bertahun-tahun lamanya. Kau jangan datang kemari. Jangan berurusan dengan Gypsy's Acre. Kematian akan menimpamu, juga bahaya. Pulanglah ke seberang laut, dan jangan kembali ke Gypsy's Acre. Kuperingatkan kau."

Tentu saja, peringatan itu tak diindahkan. Lalu, terbuktikah bahaya dan kematian yang akan menimpa Ellie sebagai pemilik baru Gypsy's Acre?

Ellie mengalami  kecelakaan saat berkuda, dan Mike pun mendadak duda. Tapi yang aneh, Ellie tidak mengalami luka parah, seperti patah tulang leher atau luka-luka yang biasanya terjadi jika seseorang jatuh dari kuda--pokoknya tidak ada luka-luka yang cukup serius yang dapat menyebabkan kematiannya. Dokter tak bisa memberikan penjelasan lain mengenai kematian Ellie selain karena serangan jantung yang mungkin disebabkan oleh shock. Shock gara-gara apa? Apakah ditakut-takuti sesuatu atau seseorang? Apakah gara-gara sihir atau jampi-jampi?

Ataukah Ellie dibunuh? Siapa yang tega membunuhnya?

Every night and every morn
Some to misery are born
Every morn and every night
Some are born to sweet delight
Some are born to sweet delight
Some are born to endless night



View all my reviews

The Body In The Library

Mayat Dalam PerpustakaanMayat Dalam Perpustakaan by Agatha Christie
My rating: 3 of 5 stars

"Aduh, Nyonya, aduh, Nyonya, ada mayat dalam perpustakaan."

Menurut Agatha Christie, untuk cerita-cerita detektif, plot yang umum dan terkenal adalah mayat yang ditemukan dalam perpustakaan. Dan ia ingin membuat salah satu variasinya, dan mencurahkan keinginan itu dengan menuliskan novel dengan judul yang sangat harfiah ini.

Oke, pertanyaannya: kenapa harus di perpustakaan???

Apakah tidak ada tempat lain yang lebih cocok untuk membunuh orang atau membuang mayat? Perpustakaan sudah cukup membuat alergi kebanyakan orang tanpa harus ditambah embel-embel ada mayat di situ sehingga hanya para pemburu hantu saja yang berkenan masuk ke dalamnya.

Dalam novel ini, ternyata perpustakaan bukanlah tempat pembunuhan yang sebenarnya. Bahkan, bukan si pelaku kejahatan yang menitipkan mayat di situ (Oke, ini spoiler sebenarnya!).

Jadi, si pemilik rumah yang perpustakaannya mendadak jadi crime scene tidak tahu apa-apa. Tapi, meskipun ia tidak bersalah, yang namanya gosip, semakin digosok semakin sip. Apalagi mayat yang ditemukan seorang gadis muda belia yang cantik.

Misi Miss Marple membantu penyelesaian kasus ini sederhana saja. Selain menangkap pelakunya dan mencegah adanya pembunuhan lain, yang paling penting adalah menjernihkan gosip yang dapat selamanya mencoreng nama baik si pemilik rumah, yang juga kenalan baiknya.

Seperti layaknya cerita misteri, ada beberapa red herring di sini. Selain ada pemindahan mayat, ada juga penukaran mayat (iya, iya, ini juga spoiler!). Jika dan hanya jika pembaca mau repot-repot membaca secara detail, ia bisa mendahului Miss Marple menebak alur cerita dan pelakunya...



View all my reviews

Naked Heat

Naked HeatNaked Heat by Richard Castle
My rating: 4 of 5 stars

Apabila review atas buku pertama serial Nikki Heat -- Heat Wave -- kubuat sebagai love letter seorang penggemar fanatik yang rada psycho terhadap penulisnya, kali ini review atas buku lanjutannya kutulis sebagai pembaca buku biasa.

Di luar bias sebagai penggemar serial TV Castle, harus kuakui bahwa buku kedua ini jauh lebih baik dan menarik dibandingkan buku pertamanya. Minimal, lebih mencerminkan bahwa buku ini memang ditulis oleh seorang penulis misteri bestseller. Mungkinkah ada pergantian ghostwriter? Well, kita tak akan pernah tahu.

Kisah dibuka dengan pembunuhan seorang kolumnis gosip yang terkenal sadis, Cassidy Towne. Kasus itu mempertemukan kembali Nikki Heat cs dengan Jameson Rook yang sudah putus komunikasi selama beberapa bulan setelah penerbitan cover-story spesial tentang Nikki di majalah. Kebetulan, Rook sedang membayangi kegiatan Towne sehari-hari untuk artikel berikutnya. Dan kisah pun bergulir dengan pertama-tama menyelidiki siapa saja yang memiliki motivasi untuk membunuh sang dewi gosip. Hah! Tentu saja... banyak sekali. Tapi di situlah asyiknya, kisah whodunnit yang melibatkan para selebriti. Dari mantan anggota kongres, penyanyi rock, sampai atlet bisbol. Dan seperti biasa, korban pembunuhan tidak cukup hanya satu!

Sebagai pembaca yang juga memantau sisi lain aktivitas Richard Castle sebagai konsultan NYPD, menjadi keasyikan tersendiri untuk menebak-nebak episode mana saja yang menjadi "inspirasi" dalam penulisan cerita kali ini. Misalnya waktu jenazah korban dirampok oleh tiga orang bertopeng langsung dari meat wagon Medical ExaminerAtau waktu tokoh utama dibelenggu ke kursi dengan lakban, yang membuat kita otomatis teringat bagaimana Castle melakukan riset pribadi tentang cara meloloskan diri dari kondisi yang sama. Banyak sekali easter eggs di sini!

Sisi lain Jameson Rook juga terungkap di sini. Dalam rangka menambah pundi-pundi uangnya, ia bukan cuma seorang jurnalis, tapi juga seorang penulis novel. Bukan novel misteri, melainkan novel... historical romance! Pakai nama samaran perempuan pula! Well, mengingat Richard Castle cuma merilis novel Nikki Heat setahun sekali, mungkinkah ia juga menulis novel roman dengan nama samaran? Siapa tahu? Tapi tentu saja kita harus memperhitungkan kesibukan Castle sebagai konsultan tim detektif pembunuhan di NYPD, yang seringkali dijadikannya alasan untuk menunda-nunda penulisan bukunya.

Sebagai tambahan, novel ini juga menunjukkan sisi geek Richard Castle sebagai penggemar serial TV Firefly-nya Joss Whedon, dengan menyelipkan nama karakter yang diperankan oleh Nathan Fillion (yeah, right!) sebagai nama karakter dua orang detektif yang jadi cameo di Bab Sembilan: Detektif Malcolm dan Detektif Reynolds.

Terakhir, sama seperti di buku Nikki Heat sebelumnya, membaca bagian Acknowledgements di akhir buku bisa menjadi hiburan tersendiri. Richard Castle berterima kasih pada para polisi di Precinct 12 NYPD, dari Kate Beckett, Javier Esposito, Kevin Ryan, dan Captain Montgomery, serta Lanie Parish dan stafnya di NY Chief of Medical Examiner. Tapi selain itu, ia juga berterima kasih pada Nathan, Stana, Seamus, Jon, Ruben, Molly, Susan dan Tamala, yang meskipun tidak menyebutkan siapa sebenarnya mereka, tapi tentu saja kita tahu! Richard Castle juga berterima kasih pada penerbit/mantan istrinya, Gina Cowell, yang kukutip di sini "staying on top of me through the final stages of writing", yang kita juga tahu bahwa kutipan itu bukan sekedar kiasan...

Oke, sebagai penutup, kupasang tips grammar bagian kedua dari Richard Castle:




View all my reviews

Sunday, October 12, 2014

Furies of Calderon

Furies of Calderon (Codex Alera, #1)Furies of Calderon by Jim Butcher
My rating: 3 of 5 stars

Aku membeli buku ini hanya karena nama pengarangnya, Jim Butcher. I love his Dresden Files Books.

Premisnya sebenarnya menjanjikan. Realm dunia fantasi Alera mengambil setting yang menyerupai zaman Romawi / Celtic kuno, dengan tambahan tokoh-tokohnya bisa memanggil makhluk yg disebut fury, yg bisa dibilang element based.

Unsur fantasy yg klise? Yap. Ditambah ada akademi buat para pemilik kekuatan. It's so... common.

Tapi ini baru buku pertama. Well, even Dresden Files menggunakan tema yang cukup sering digunakan, tapi setelah buku pertama, progres storytellingnya luar biasa.

Kuharap di buku-buku selanjutnya, kisah Tavi si penggembala kambing ini bisa berkembang dengan progres yang sama mengejutkannya dengan kisah Harry Dresden.

Habisnya, aku sudah terlanjur beli buku-buku sekuelnya juga...

View all my reviews