Sunday, October 26, 2014

The Naked Traveler 1 Year Round-The-World Trip

Wow.

Or wtf?

Menghabiskan waktu satu tahun untuk bertualang keliling dunia? 

Kisah perjalanan Trinity yang disajikan dalam dua jilid buku ini dapat menimbulkan reaksi yang berbeda-beda pada setiap pembaca.

Iri? Pasti. Terutama buat office bee sepertiku, yang meskipun punya 15 hari cuti setahun (sekarang sudah tidak potong cuti bersama lagi, FYI) plus cuti besar 90 hari setiap enam tahun, tetap saja jatah hari cuti selalu bersisa tiap tahunnya. H.u.h.

Bermimpi? Sudah tentu. Setelah iri, tentunya jadi bermimpi bisa seperti Trinity dan Yasmin, bisa melepaskan semua kekang rutinitas sehari-hari untuk bertualang ke negeri antah berantah.


Mengerutkan kening? Sangat mungkin ada yang berpendapat bahwa traveling keliling dunia cuma buang-buang waktu dan duit. Kayak nggak ada kegiatan dan kebutuhan lain aja. Mendingan juga duitnya dipakai buat down payment rumah. Realistis aja deh, bro.

Dalam salah satu bab di buku pertama, Trinity menyimpulkan kenapa orang Indonesia jarang traveling.

Pertama, karena traveling bukanlah prioritas bagi sebagian besar orang Indonesia. Boro-boro traveling, mikirin biaya makan sehari-hari saja susah.

Kedua, traveling masih termasuk mahal. Mending dipake nyicil motor, mobil dan rumah.

Ketiga, cuti yang terbatas. Rata-rata 12 hari/tahun, seringnya dipakai urusan keluarga, seperti pernikahan, sunatan, kematian, dan sebagainya. Dan di Indonesia sangat kecil kemungkinan untuk mendapat "sabbatical leave" atau cuti tanpa dibayar selama 2 bulan sampai 1 tahun.

Hm... aku jadi ingin memberi tambahan untuk teori ini deh...

Sebenarnya, bagi sebagian besar orang Indonesia, ada yang namanya traveling wajib, meskipun dengan embel-embel bila mampu, yaitu Pilgrimage to Mecca. Alias pergi naik haji.

Ini traveling impian kebanyakan orang Indonesia, dan berbeda dengan traveling biasa yang hanya . Makanya ada yang bela-belain menabung bertahun-tahun, atau menjual harta benda, atau jualan bubur... demi masuk waiting list, dan kalau beruntung bisa berangkat dalam sepuluh tahun.

Tapi seringkali, bagi mereka yang sebenarnya situasi finansial dan fisiknya memenuhi syarat, istilah bila mampu itu suka dipersepsikan berbeda, demi menunda keberangkatan. 

Biasanya, alasan utama menunda keberangkatan adalah: masih muda.
Meskipun dalam setahun bisa gonta-ganti gadget, gonta-ganti mobil, atau jalan-jalan ke luar negeri dengan ongkos lebih mahal dibandingkan ONH reguler, berangkat haji di kala muda tidak terpikirkan sama sekali. 

Masa muda itu masanya bersenang-senang, dan memuaskan hobi dan hasrat dulu, mumpung mampu. Nah, di masa tua, sudah lebih bijak dan lebih dalam ilmu agamanya, dan kondisi finansialnya lebih baik, baru pantas naik haji.

Prinsip yang dianut jelas: muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga.

Ih, siapa juga yang nggak mau? :P

Tapi siapa yang bisa menjamin kalau kita tidak bakal mati muda? Dan siapa yang bisa menjamin kalau sudah lebih tua, seseorang akan lebih bijak, lebih dalam ilmu agamanya, dan lebih baik finansialnya? Yang ada malah alasan yang dicari-cari untuk tidak berangkat mungkin lebih banyak daripada sewaktu muda.

Yah, intinya sih, jangan menunggu tua untuk traveling, baik traveling ibadah (bagi mereka yang diwajibkan) maupun traveling ala Trinity. Kondisi kesehatan itu penting untuk perjalanan yang jauh dan memerlukan aktivitas fisik. Tidak banyak orang yang bisa menjaga kondisi fisik prima sampai usia tua.  

Oke, ceramah "Berangkatlah selagi muda" selesai :)

Kembali ke buku Trinity, seperti biasa cara Trinity menceritakan perjalanannya membuat kita seolah ikut jalan-jalan ke negara-negara yang dikunjunginya. Apalagi bukunya disajikan dengan penuh warna dan foto, meskipun terus terang saja, foto cowok-cowok Latin yang cakep kurang banyak!!!

Omong-omong, masalah penampilan fisik ini relatif ya. Kita sebagai turis di negeri orang, mungkin merasa orang-orang di sana ganteng dan cantik semua dibandingkan orang-orang di negeri kita. Padahal, siapa tahu terjadi juga kebalikannya. Mereka yang jadi turis di negeri kita juga menganggap orang-orang Indonesia tuh semuanya ganteng-cantik-eksotis.

Bagaimanapun, sejauh apapun kita pergi baik mencari peruntungan maupun sekedar mencari pengalaman di negeri orang, home is where the heart is. Di manapun kita berada, sepanjang kita merasa nyaman berada di sana, kita sudah berada di rumah.

No comments:

Post a Comment