Sunday, December 28, 2014

In The Tall Grass

In the Tall Grass (Kindle Single)In the Tall Grass by Stephen King
My rating: 4 of 5 stars

Synopsis:
Could there be any better place to set a horror story than an abandoned rest stop? In the Tall Grass begins with a sister and brother who pull off to the side of the road after hearing a young boy crying for help from beyond the tall grass. Within minutes they are disoriented, in deeper than seems possible, and they lost one another. The boy's cries are more and more desperate. What follows is a terrifying, entertaining, and masterfully told tale, as only Stephen King can deliver.

It's a classic!

What can I say? Novella hasil kolaborasi ayah-anak Stephen King dan Joe Hill ini, meskipun menggunakan tema cerita horor yang klasik (baca: klise), tetap gregetable (bahasa apa pula ini :P, pokoknya bikin gregetan) dan bikin merinding kayak digerumuti kepinding.

Cerita diambil dari sudut pandang kakak beradik Cal dan Becky DeMuth yang melewati Kansas dalam perjalanan ke California. Di tengah jalan, karena radio dimatikan dan kaca jendela dibuka, mereka bisa mendengar seorang anak laki-laki berteriak meminta pertolongan karena tersesat dari padang rumput yang tingginya lebih jangkung daripada tinggi manusia dewasa.

Seperti bocoran sinopsisnya, mereka pun menepikan mobil dan memasuki kerimbunan rerumputan demi memberikan pertolongan, lantas keduanya pun ikut tersesat di dalamnya...

Sumpah. Ini asli predictable banget. Horor klasik yang bahkan formulanya sudah sering dipakai Stephen King di cerpen-cerpennya yang terdahulu. Tapi yang membedakan memang bagaimana cara menyajikannya...

Premis cerita sudah bisa diraba ketika Cal dan Becky mendengar suara lain selain suara sang anak, yaitu suara ibunya. Sementara sang anak menjerit-jerit minta tolong, sang ibu malah berusaha mencegahnya...

Setelah berputar-putar tak karuan, Cal dan Becky sendiri akhirnya menyadari ada yang tidak beres setelah meloncat ke ketinggian untuk melihat posisi mereka. Meskipun baru masuk beberapa puluh langkah, mereka mendapati telah berada jauh di tengah padang rumput, bagai terhanyut gelombang ke tengah-tengah samudra luas. Dan setiap usaha kembali ke tepian malah membuat mereka terhanyut lebih jauh...

Silakan masuk ke sarangku, kata laba-laba kepada lalat

Asli, meskipun ini cuma novella, aku menghabiskan waktu cukup lama untuk membacanya karena... takut. Saking klasiknya cerita model begini, aku sampai takut melanjutkan cerita karena khawatir atas apa yang akan terjadi pada kakak-beradik DeMuth. I know something bad will happen to them!

Bisa-bisanya aku mau saja ditakut-takuti oleh ayah-anak ini! XD

Tapi tentu saja aku akhirnya nekad melanjutkan baca. Kagok sih, dan penasaran juga.

Dan... ugh! Ugh! Ugh! Tentu saja prediksiku menjadi kenyataan in the worst worst worst way! Dan endingnya... membuatku malah jadi berpikir... the importance of being ignorance and not helping the other people!

Bagiku, ayah-anak ini memang The Kings of Horror, sesuai nama mereka!

View all my reviews

Aruna & Lidahnya

Aruna & LidahnyaAruna & Lidahnya by Laksmi Pamuntjak
My rating: 3 of 5 stars

Sinopsis:
Aruna Rai, 35 tahun, belum menikah. Pekerjaan: Epidemiologist (Ahli Wabah), Spesialisasi: Flu Unggas. Obsesi: Makanan.

Bono, 30 tahun, terlalu sibuk untuk menikah. Pekerjaan: Chef. Spesialisasi: Nouvelle Cuisine. Obsesi: Makanan.

Nadezhda Azhari: 33 tahun, emoh menikah. Pekerjaan: Penulis. Spesialisasi: Perjalanan dan Makanan. Obsesi: Makanan.

Ketika Aruna ditugasi menyelidiki kasus flu unggas yang terjadi secara serentak di delapan kota seputar Indonesia, ia memakai kesempatan itu untuk mencicipi kekayaan kuliner lokal bersama kedua karibnya. Dalam perjalanan mereka, makanan, politik, agama, sejarah lokal, dan realita sosial tak hanya bertautan dengan korupsi, kolusi, konspirasi, dan misinformasi seputar politik kesehatan masyarakat, namun juga dengan cinta, pertemanan, dan kisah-kisah mengharukan yang mempersatukan sekaligus merayakan perbedaan antarmanusia.


Review (atau sekedar komentar?):

Ini buku wisata kuliner yang menyaru sebagai novel.

Penyelidikan kasus flu burung dengan berkeliling Indonesia boleh jadi sekedar plot driver yang memungkinkan karakternya untuk berburu dan mencicipi makanan/jajanan/apasajayangbisadimakan lokal yang sudah kondang ke mana-mana dan tercantum (atau tidak tercantum sama sekali) dalam Daftar Sakti yang jadi primbon Bono.

Misalnya, pas ke Surabaya, tim yang lebih terobsesi pada makanan daripada wabah flu burung itu mencicipi  botok pakis dan rujak soto. Menyeberang sedikit ke pulau Madura, yang dicari-cari adalah bebek goreng Bangkalan:
yang konon sama lezatnya dengan duck confit yang sempurna. Dan dari buku ini juga aku sama kecewanya dengan Aruna ketika tahu kalau yang namanya Sate Lalat yang tersohor itu cuma sate ayam seukuran lalat:
Iya... aku benar-benar berharap begitu esktrimnya makanan di Indonesia sehingga lalat sekalipun bisa menjadi sumber bahan makanan yang melimpah, menyaingi belalang, capung, dan teman-temannya yang memang lazim dikonsumsi oleh lidah sebagian (kecil? besar?) orang Indonesia.

Menyeberang ke pulau Andalas, tentu saja pempek di Palembang tak boleh dilewatkan. Atau penganan khas Medan yang konon cuma beredar setiap hari Jumat di seputaran Masjid Agung: gulo puan. Atau naniura. Atau rujak Aceh. Atau ayam tangkap.

Dan kalau menyeberang lagi ke pulau Borneo, setelah menginjakkan kaki di Pontianak, yang dipikirkan para karakter pertama kali adalah pengkang:
Dan tidak cukup itu, wisata kuliner di Kalimantan Barat tidaklah lengkap kalau tidak sekalian melipir ke Singkawang untuk mencari mi/kwetiauw, tak peduli harus menempuh jalan darat 150 km dari Pontianak. Namanya juga di Singkawang, bisa dipastikan hidangannya mengandung vitamin B, alias babi.

Intinya, wabah flu burung yang disinggung sekali-sekali tidaklah begitu penting dibandingkan obsesi para karakternya terhadap makanan, yang bahkan ketika bermimpi pun temanya tidak jauh-jauh dari makanan.

Namun, sikap terhadap makanan dalam buku ini kadang terasa kontradiktif. Salah satu karakter berusaha sebisa mungkin menghindari makanan yang mengandung daging/minyak babi karena diharamkan oleh agama. Tapi, ia tidak menghindari zina, atau seks di luar nikah. Apakah dosa memakan makanan haram lebih berat dibandingkan melakukan perbuatan haram? Ataukah ini memang sekedar potret sebagian (kecil? besar?) orang Indonesia yang ingin tampak alim di mata masyarakat agamis tapi ternyata zalim pada diri sendiri sepanjang rasanya enak dan tidak banyak orang yang tahu?

Anyway, bagiku yang makan untuk hidup dan bukan hidup untuk makan, buku ini sukses membuatku kepikiran, mengapa kalau aku sedang dalam perjalanan dinas ke kota/provinsi/pulau lain, aku tidak pernah sengaja/niat banget untuk mencari-cari/mencicipi hidangan kuliner lokal. Kalau kebetulan menemukan dan mencobanya, ya dinikmati. Kalau cuma nemu ayam penyet (yang dibilang Bono sebagai penjajah kuliner negeri ini!), ya tetap disyukuri.Tipe orang ignorance terhadap makanan seperti aku ini memang tipe yang dipandang sebelah mata oleh para karakter di buku ini. Lah, passion, obsession dan prioritas setiap orang memang lain, jeng, tidak bisa dipaksakan.

Sebagai tambahan, bagi para calon pembaca buku ini, diusahakan agar makan kenyang dulu sebelum mulai membaca. Pecinta kuliner ataupun bukan, deskripsi penulis atas berbagai makanan nusantara di buku ini sedikit banyak akan membuat pembaca ngiler dan lapar.


View all my reviews

Sunday, December 21, 2014

Horns

HornsHorns by Joe Hill
My rating: 4 of 5 stars

Bagaimana bila kau tiba-tiba memiliki sepasang tanduk, dan kau tiba-tiba memiliki kekuatan ajaib yang membuat semua orang ingin mencurahkan isi hatinya padamu? Bukan hal yang baik-baik, tapi keinginan jahat, niat buruk, rahasia tergelap, yang selama ini disimpan jauh-jauh di laci ingatan yang paling bawah?

Ig Parrish telah menjadi pariah di kotanya. Ketika kekasih yang amat dicintainya, Merrin, diperkosa dan dibunuh, ia menjadi satu-satunya tersangka. Ia tidak pernah ditangkap dan diadili, tapi semua orang, bahkan orang tuanya, telah mendakwanya bersalah.

Tapi Ig kemudian memiliki sepasang tanduk dan kekuatan supranatural yang dapat mengetahui masa lalu orang yang disentuhnya. Setiap orang yang ditemuinya tanpa dipaksa mengaku dosa padanya, menceritakan rahasia dan niat jelek mereka, bahkan malah seperti meminta atau menunggu persetujuan Ig supaya mereka bisa menjalankan niatnya dengan senang hati dan tanpa rasa bersalah. Apapun tanduk itu, Ig pada akhirnya menerimanya sebagai blessing-in-disguise, dan menggunakannya untuk menemukan pembunuh kekasihnya. Dan membalaskan dendamnya.

Oke, sebelum aku membeli dan membaca buku ini, aku sudah terlanjur menonton filmnya duluan.
Itu pun bukan karena sudah pernah melihat trailernya atau tahu ceritanya seperti apa, tapi semata-mata hanya karena ada foto Daniel Radcliffe bertanduk di sampul DVD-nya. Biasalah, ingin tahu perkembangan kemampuan aktingnya demi membebaskan diri dari imej Harry Potter.

Dan alasan aku membeli buku ini juga bukan karena aku suka banget filmnya. Tapi lebih karena penulisnya adalah Joe Hill. Iya, dia memang anak salah satu penulis favoritku, Stephen King, dan kurasa jalur yang ditempuhnya dengan menulis cerita horor plus absurd sedikit banyak gara-gara pengaruh ayahnya. Tapi menurut pendapatku bukan berarti ia hanya numpang beken. Sebagai penulis, ia punya gaya tersendiri.

Meskipun jalan cerita buku ini sepertinya tampak suram-kelam-gulita, dari gaya penuturannya, terutama di bagian-bagian awal saat Ig mulai menyadari efek tanduknya pada orang-orang di sekelilingnya malah menjurus kocak dan komedi. Black comedy, memang. Tapi itu yang membuatku tetap tertarik untuk terus membaca, meskipun gara-gara menonton filmnya sudah spoiled dan tidak ada kejutan lagi.

Aku juga suka novel pertama Joe Hill, Heart-Shaped Box, dan akan mencoba membaca novel atau karya-karyanya yang lain. I'm looking forward to read In the Tall Grass.

View all my reviews

Friday, December 19, 2014

Schlegelmilch 50 Years of Formula 1 Photography

Schlegelmilch 50 Years of Formula 1 PhotographySchlegelmilch 50 Years of Formula 1 Photography by Rainer W. Schlegelmilch
My rating: 5 of 5 stars

Buku ini buku terberat yang pernah kubeli dan kubaca... secara harfiah. Beratnya 5,17 kg. Jelas bukan tipe buku yang bisa ditenteng ke mana-mana.

Perbandingan dimensi dengan novel mass market paperback
99,99% dari 664 halaman buku ini berisi foto-foto sang fotografer spesialis F1, dan meskipun ada tulisannya itu hanya berupa pengantar dari Bernie Ecclestone, Sebastian Vettel, dan Rainer W. Schlegelmilch sendiri. Namun, pengantar tersebut disajikan dalam delapan bahasa: Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Italia, Portugis dan Swedia.

Bagi penggemar F1, menemukan buku kumpulan foto dengan harga miring mendekati curam ini seperti menemukan harta karun yang amat sangat berharga.

Kita bisa melihat perkembangan F1 dari masa ke masa, dari profil para pembalapnya, para juara dunia, desain mobil, desain helm, sampai desain setir...

Starting line in black and white
Desain mobil jadul mirip selongsong peluru beroda, ya?
Bruce McLaren
James Hunt
Niki Lauda
Ayrton Senna
Desain setir dari masa ke masa
 Sampai ada pula foto penonton balapan yang nekat naik tiang model gini:


Salah satu ciri khas Schlegelmilch adalah foto yang berfokus pada pembalap atau mobil balap, sehingga area di luar fokus menjadi mirip sapuan cat pada lukisan.


Buat yang penasaran, beginilah sosok Schlegelmilch yang telah 50 tahun berkarya di arena F1, dengan ciri khas kumisnya yang tetap lebat sampai tua:

Before and after

View all my reviews

Sunday, December 14, 2014

Pendekar Pemanah Rajawali

Pendekar Pemanah Rajawali, Jilid 1Pendekar Pemanah Rajawali, Jilid 1 by Jin Yong
My rating: 4 of 5 stars

Ini baca ulang entah yang kesekian puluh kalinya, barangkali.

Tapi ini pertama kali aku membaca Sia Tiauw Eng Hiong dengan ejaan Mandarin, yang terus terang saja, tidak familiar di mata dan tidak sinkron di otak. Mau bagaimana lagi, seumur-umur tahunya cuma Sia Tiauw Eng Hiong versi ejaan Hokkian (di teks terjemahan serial TVB sekalipun, meskipun pengucapan para aktor dan aktrisnya memang beda) XD

Bukan itu saja, semua nama julukan dan jurus yang biasanya pada cerita silat (saduran maupun bukan) dipertahankan menggunakan bahasa asli (ejaan Hokkian, tentunya) juga diterjemahkan jadi bahasa Indonesia. Mengurangi ketidaksinkronan? Mungkin saja. Tapi bila biasa dengan istilah Kiu-im Cin-keng atau Hang-liong Sip-pat-ciang, siap-siap saja, jangan berharap menemukannya dalam bentuk teks.

Terlepas dari ejaannya (risiko yang sudah kusadari benar saat membeli edisi ini), rupa-rupanya buku ini adalah terjemahan ini dari Edisi Revisi Baru (kalau menurut halaman pendahuluan dari Jin Yong, ini revisi ketiga). Jadi, jelas, ada beberapa perbaikan dari sang master untuk cerita yang mungkin dianggap kurang pas atau kurang nyambung.

Di awal cerita, yang biasanya dimulai dengan pertemuan pertama Kwee Siauw Thian (Guo Xiaotian) dan Yo Tiat Sim (Yang Tiexin) dengan imam Coan-cin-kauw (aliran Quanzhen) Khu Ci Kee (Qiu Chuji), direvisi dengan menampilkan tetangga mereka yang rajin mencuri harta dan benda berharga lainnya dari istana. Tentunya revisi ini, meskipun hanya terasa bagai tempelan, bertujuan untuk memberikan koneksi dengan jalan cerita di masa yang akan datang, yang bakal mengungkapkan bahwa tetangga mereka itu ternyata mantan murid Oey Yok Su (Huang Yaoshi), yang mencuri harta karun demi merebut kembali hati sang guru.

Di akhir cerita, revisi yang mencolok adalah asal usul Yo Ko (Yang Guo). Di versi awal, Yo Ko adalah anak dari gadis pencari ular yang diperkosa oleh Yo Kang (Yang Kang). Berbeda dengan versi sinetron, eh, video silat, di mana Yo Ko adalah anak Bok Liam Cu (Mu Nianci). Mungkin demi kemaslahatan umat perlu dilakukan sinkronisasi antara kedua versi yang berbeda, atau mungkin juga untuk mengurangi kadar kebejatan Yo Kang, yang kalau di versi lama mengaku cinta pada Bok Liam Cu tapi tetap tega memperkosa gadis lain yang diculik dan dipersembahkan oleh Tiat-ciang-pang. Ini murni opini nuduh dariku sih :)

Pada penutup kisah pertama dari Trilogi Rajawali Jin Yong ini, timbul pemikiran filosofis tentang eksistensialisme, yang dirasakan oleh dua orang yang masing-masing telah mencapai puncak kejayaan yang berbeda: Auwyang Hong (Ouyang Feng) yang menjadi nomor satu di dunia persilatan, dan Jenghis Khan yang menjadi penguasa nomor satu di kolong langit.

Sebenarnya siapa aku?
Dalam hidup ini siapa aku?
Sesudah meninggal bagaimana?
Siapa yang berhasil, siapa yang gagal, akhirnya apa bedanya?

View all my reviews

Friday, December 12, 2014

An Abundance of Katherines

An Abundance of Katherine - Tentang KatherineAn Abundance of Katherine - Tentang Katherine by John Green
My rating: 5 of 5 stars

Setelah membaca beberapa buku John Green, baru buku ini yang membuatku merasa "ini gue banget".

Bagi Colin Singleton, tokoh utama buku ini, banyak hal yang menarik untuk dipelajari (seremeh temeh dan setidakpenting apapun) dan disharingkan kepada orang lain, meskipun sebenarnya mereka tidak tertarik pada apa yang ia bicarakan.

Aku bisa mengidentifikasikan diri pada tokoh utamanya, simply karena aku juga punya penyakit yang sama dengan si Colin yang satu ini (bukan CSL alias Colin Satu Lagi, salah satu tokoh bernama sama yang akan kautemukan dalam buku ini). Memang aku bukan anak ajaib dengan ingatan luar biasa dan jago otak-atik anagram seperti Colin, tapi aku gemar membaca apa saja yang menurutku menarik, dan suka menyampaikan apa yang menurutku menarik (dari bahan bacaanku yang segitu banyak dan randomnya) pada orang lain. Padahal mungkin saja mereka yang mendengarkanku dengan sopan sebenarnya tidak tertarik, atau tidak mau tahu. Hm, harus ada orang seperti Hassan (satu-satunya sahabat Colin) yang bisa secara tegas bicara terus terang padaku "Tidak tertarik" atau "Tidak menarik" pada omonganku yang kadang random abis.

Tapi hanya sampai di sana persamaannya. Colin yang susah move on dari mantan-mantannya yang bernama sama, Katherine I sampai dengan Katherine XIX (yang ternyata Katherine I juga), yang sampai pundung berhari-hari sampai harus melakukan perjalanan untuk menghibur hati yang luka, bukan gayaku sama sekali. Untuk yang satu ini, aku bersyukur menjadi orang pelupa, sehingga untuk urusan mantan, aku mudah melupakan dan malah kalau ada mengungkit cuma bisa bilang "X yang mana ya?" #kejam \(^.^)/

Overall, aku jauh lebih menyukai buku ini dari buku-buku (terjemahan) John Green lainnya yang sudah pernah kubaca. Penyebabnya mungkin bukan hanya jalan cerita dan penuturannya yang lebih menarik, tapi juga faktor terjemahan dan editorialnya. Percuma saja kalau buku aslinya bagus tapi terjemahannya bikin bete. Begitu melihat ke halaman copyright buku ini, aku cuma bisa bilang, pantas saja... :)

View all my reviews

Tuesday, December 2, 2014

SS-GB

SS-GBSS-GB by Len Deighton
My rating: 4 of 5 stars

Aku suka berandai-andai.

Karena itu, aku termasuk yang menyukai cerita dengan setting What-If, atau alternate history.

Serial TV Sliders (1995-2000) yang bercerita tentang parallel universes, di mana sejarah di dunia-dunia lain berjalan ke arah yang berbeda-beda dengan dunia kita, juga salah satu serial TV favoritku. Untuk komik, serial Elseworlds-nya DC atau manga Zipang juga jadi bacaan favoritku.

Bagaimana dengan novel?

Sejauh ini Fatherland-nya Robert Harris, yang bersetting di Jerman setelah usai Perang Dunia II di mana Jerman menjadi pemenangnya, masih berada di urutan teratas novel kesukaanku. Tapi, ternyata konon Robert Harris sendiri mendapatkan inspirasi dari novel Len Deighton yang satu ini.

SS-GB bersetting di Inggris pada bulan November 1941, sembilan bulan setelah invasi Jerman yang kemudian menaklukkan dan menduduki Inggris.

Tokoh utamanya adalah Detective Superintendent Douglas Archer, detektif pembunuhan Scotland Yard yang terkenal dengan julukan Archer of the Yard, atau Sherlock Holmes tahun 1940an. Sebagai polisi, ia tetap bersikap profesional, tanpa mempedulikan siapapun yang berkuasa di Inggris.

Ceritanya sendiri dimulai dari penyelidikan pembunuhan di sebuah toko barang antik, yang entah kenapa menimbulkan perhatian pemerintah pusat di Jerman. SS Standartenfuhrer Huth diutus untuk memimpin penyelidikan, dan mengusik ketenangan Gruppenfuhrer Kellerman, yang menjabat sebagai kepala kepolisian di Inggris.

Penyelidikan pembunuhan itu membawa Archer pada kelompok bawah tanah Inggris yang ingin membebaskan sang Raja yang ditahan di Menara London serta penelitian bom atom yang dilakukan secara diam-diam oleh militer Jerman di Inggris. Bukan hanya itu, Archer juga terjebak di tengah-tegah perebutan kekuasaan antara militer Jerman dengan SS, bahkan dalam tubuh SS sendiri, karena Kellerman ingin menyingkirkan Huth yang berpotensi mengambil alih "kerajaan"-nya, sedangkan Huth ingin membersihkan kepolisian Inggris dari pejabat yang korup sekaligus berusaha mencegah militer Jerman mengambil alih kekuasaan di Inggris dari tangan sipil.

Archer yang semula hanya berprinsip menunaikan tugas sebagai detektif dengan sebaik-baiknya pun harus memilih untuk berada di pihak yang mana untuk tetap survive tanpa mengorbankan integritasnya. Membantu kelompok bawah tanah yang pernah berusaha membunuhnya karena profesinya sebagai polisi membuatnya dianggap anjing pemburu Jerman? Membantu Huth membersihkan kepolisian Inggris yang korup? Atau cukup jadi polisi yang lurus dan jujur tanpa peduli apapun yang terjadi di sekitarnya?

Dalam novel ini, karakter yang paling kusukai bukan tokoh utamanya, melainkan Standartenfuhrer Huth. Meskipun ia memilih masuk SS karena prinsip memilih pihak yang menang, dan termasuk jenis atasan yang mementingkan hasil tanpa mau tahu prosesnya, ia adalah gambaran polisi yang efektif, efisien, dan yang paling penting: bersih. Kemampuannya memahami karakter manusia dengan sangat baik membuatnya sanggup membaca strategi dan arah permainan lawan. Pada akhir novel, Huth-lah, dan bukan Archer, yang mengungkap dan menguraikan apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang akan terjadi, dalam kaitannya dengan benang kusut konspirasi dan tragedi yang melibatkan Archer.

Omong-omong, kalau membaca tentang Raja Inggris di kurun waktu ini, mau tak mau yang kubayangkan adalah Colin Firth, sebagaimana penampilannya di film The King's Speech. Sayangnya, nasib Raja Inggris di kisah sejarah alternatif ini kurang menguntungkan. Sudah kalah perang, invalid, ditawan di Menara London, lalu masih juga harus... *spoiler alert*


View all my reviews