Thursday, April 30, 2015

Simple Thinking about Blood Type 3

Tema: BDDO
Tema baca bareng bulan ini adalah buku yang dulunya pernah diterbitkan secara online.

Sebenarnya bakal calon buku BDDO ada banyak sih, tapi karena lagi malas bikin review, aku pilih buku yang ringan dan lucu sajalah untuk dikomentari, yaitu:



Karena sebelum diterbitkan dalam bentuk buku komik golongan darah Park Dong Sun ini sudah ditayangkan secara online lebih dulu sebagai Web-Toon, jadi buku ini kuanggap sah deh sebagai BDDO.

Buku yang kuterima dari toko buku online tanggal 19 April kemarin (dan langsung dibaca saat itu juga) ini adalah buku ketiga dari serial Simple Thinking about Blood Type. Meskipun suka, buku pertama dan keduanya belum pernah kureview sampai saat ini. Langsung loncat ke sini saja ya, lagi pula aku merasa nyambung banget dengan buku terakhir ini, karena sebagian isinya yang sudah menyenggol dunia kerja.

Ada beberapa hal menarik yang dibahas di awal buku ini, seperti:

Pygmalion effect: teori tentang orang yang bereaksi terhadap lawan bicaranya dengan bertingkah seperti yang diharapkan.

Labelling effect: teori tentang orang yang bertingkah seperti yang dilabelkan pada dirinya oleh lawan bicaranya, misalnya berperilaku negatif karena dicap negatif.

Barnum effect: kecenderungan untuk mengakui secara psikologis bahwa sifat yang dimiliki orang-orang secara umum adalah ciri khusus dirinya sendiri.


Terasa tidak sih, kalau kita baca buku model begini, lalu kebetulan karakter kita sedikit banyak cocok dengan label di sini? Tentu kita langsung mengangguk-angguk setuju sambil komentar, "Oh, pantas saja... memang pada dasarnya begitu?"

Misalnya, karakter Golongan Darah A karakternya diberi label seperti ini: Baik, Lembut, Sopan.

Dia bekerja keras untuk menyesuaikan diri dengan aturan yang dibuatnya sendiri. Dia menjaga orang lain dengan baik, tetapi tidak bisa bertahan dalam sebuah konflik hubungan antarsesama manusia atau dalam perubahan lingkungan yang cepat. Dia sangat berhati-hati ketika memulai pekerjaan baru. Banyak di antara mereka adalah perfeksionis yang selalu mempersiapkan masa depan sedini mungkin. Dia bisa mengendalikan diri dengan baik dan sangat sabar.

Sebagian besar pemilik golongan darah A, termasuk aku, mungkin akan mengakui bahwa sifat-sifat umum itu benar. Tapi... mungkin tidak sih, kita mencoba melakukan hal yang berlawanan dengan label itu?

Sebagai tipe perencana, aku mencoba berbuat spontan. Misalnya, tidak membeli tiket mudik jauh-jauh hari (tapi, khusus untuk lebaran, tetap kudu beli H-90 sih). Akibatnya memang nyebelin sih, kalau niat dan belinya mendadak, bisa jadi malah tidak jadi mudik karena tidak kebagian tiket :( Repot juga ya, jadi orang spontan.

Tapi sayangnya, sifat perencana dan penuh perhitungan ini tidak berlaku kalau sudah berurusan dengan belanja buku :P

Selain itu, yang juga menarik untuk didiskusikan adalah: belum tentu golongan darah membuat sifat dan kelakuan kita jadi tipikal dan sama rata sama rasa dengan mereka yang bergolongan darah sama. Contohnya saja, keluargaku semuanya memiliki golongan darah A, tapi toh sifatnya berbeda-beda, dan bisa jadi bukan sifat yang konon khas golongan darah A.

Harus kuakui ada beberapa sifat tipikal golongan darah A yang memang gue banget, tapi untuk beberapa hal, aku cenderung mirip dengan tipe golongan darah AB. Misalnya dalam hal-hal di bawah ini, sifat A iya, sifat AB juga iya.




Atau kalau di tempat kerja:




Dan kadang-kadang, aku juga kerap melakukan hal-hal yang di buku ini pada umumnya dilakukan mereka yang bergolongan darah B dan O.

Nah, piye toh iki?

P.S.
Ada yang agak aneh di halaman copyright buku ini. Katanya cetakan pertama buku terjemahan ini terbit bulan Mei 2015, padahal aku sudah membeli dan membaca buku ini pada pertengahan April 2015. Padahal bukan pre-order pula. Ini salah cetak atau memang kecepetan mendistribusikan buku?

Oh, never mind. Just my unimportant musings.

Wednesday, April 29, 2015

Hubungan dengan Pembaca [Sebuah Opini]

Tema: Hubungan dengan Pembaca
Terus terang, waktu membaca tema untuk OpBar bulan April ini di kalender BBI, aku rada nge-blank sampai perlu bertanya di grup wa BBI tentang maksud dan tujuan tema ini. Yaaa, daripada sesat di jalan.

Tentu saja tuduhan pertamaku atas bahan obrolan kali ini adalah tentang buku yang membuat pembacanya merasa gue banget gitu loh.

Tuduhan kedua, apakah ini tentang Hubungan antara Penulis dengan Pembaca? Berdasarkan teori biologi, hubungan ini jatuhnya seharusnya simbiosis mutualisme, bukan simbiosis komensalisme, simbiosis amensalisme, atau malah simbiosis kompetisi, di mana kedua pihak malah saling merugikan. Tapi kayaknya bukan itu yang dimaksud, sih ya...

Tuduhan ketigaku jauh lebih mantap: apakah kita akan membahas Hubungan antara Pembaca dengan Pembaca lain? Teori ini cukup masuk akal, mengingat belakangan ini event sepik-sepikan plus comblang-comblangan kembali ramai di grup wa BBI...

Okelah, daripada salah kaprah, seharusnya memang aku membaca dulu panduan dari Divisi Event tentang tema ini sih:

Pernahkah kamu merasa sangat nyambung dengan sebuah cerita atau buku? Seolah kamu bisa relate dengan kisah si tokoh. Atau kamu membaca sebuah buku, tapi temanya bertentangan dengan moral pribadimu? Bagaimana jika sebuah buku begitu kontroversial, kamu nggak tahu bagaimana harus membuat review bukunya? Bagaimana kamu menyikapinya?

Daripada bahasannya ke mana-mana apalagi ngegosipin hubungan antara seorang pembaca dengan pembaca lain terlepas dari apakah hubungan itu hanya gosip atau cuma teori konspirasi, mendingan aku mengikuti panduan saja deh, biar aman :))


1. Pernahkah kamu merasa sangat nyambung dengan sebuah cerita atau buku?

Duh, ya pernah banget dong. Aku bisa merasa nyambung banget apabila sebuah buku bisa membuatku emosi jiwa. Dampaknya bisa bermacam-macam sih, tergantung reaksiku saat jiwaku berpindah secara magis ke dunia yang dibangun penulis. Bisa marah-marah, kesal, menangis, lapar, atau... malah sampai ehm... horny :P . Ini serius, lho, karena tergantung jenis bacaannya juga. Yang terakhir itu memang gawat sih, terutama buat yang tidak punya pasangan yang sah menurut hukum :P



Biasanya buku yang membuatku merasa emosional, misalnya ceurik nepi ka curumbay air mata, kuberi rating tinggi. Habisnya, buat seorang jaded reader sepertiku, makin lama aku makin susah merasa puas, susah menemukan buku yang bisa menggetarkan dawai-dawai jiwa. Jadi, kadang-kadang, bila ada pembaca lain mereview buku dengan laporan bahwa buku itu bisa bikin banjir air mata (TFIOS, misalnya), terus aku tertarik untuk membacanya dan ternyata aku merasa apaan sih kok air mata ga netes setitik pun, ya sudah, sebagus apapun buku ini di mata pembaca lain, aku mungkin menilainya biasa saja. Atau misalnya ada buku genre erotica yang direkomendasikan sejuta umat, tapi bukannya merasa romantis, terpesona atau horny, aku malah merasa sebal dan disgusted, ya sudah, sudah pasti aku tidak terbawa hype dan mainstream, yang ada malah bukunya kuberi rating rendah (you know what book-lah).

Selain buku yang bikin emosi jiwa (sebenarnya buku yang njengkelin dan nyebelin juga bikin emosi jiwa kali ya, tapi reaksi dan penilaiannya bisa berbanding terbalik sih), aku juga bisa nyambung dengan sebuah buku bila tokoh utama di buku itu yang gue banget. Seperti waktu membaca The Abundance of Katherines, misalnya, meskipun tokoh utama di buku itu seorang cowok. 


2. Pernahkah kamu membaca sebuah buku, tapi temanya bertentangan dengan moral pribadimu?

Sudah pasti. Dan ada banyak, tapi aku cenderung mengabaikannya, apalagi kalau buku fiksi. Ya... namanya juga fiksi. Aku selalu berusaha tetap open mind.

Contoh paling gampangnya biasanya kalau membaca buku genre romance, baik itu kontemporer maupun historical romance. Coba deh kalau aku iseng membuat daftar novel romance yang kubaca, terutama yang penulisnya dari luar, mana yang menampilkan sex before marriage (SBM) dan mana yang menampilkan sex after marriage (SAM). Pasti jauh lebih banyak yang SBM. Tak peduli walaupun hasil akhirnya sama, hero dan heroine akhirnya menikah dan live happily for ever after, tetap saja sebenarnya bertentangan dengan prinsip dan keyakinan pribadiku. Tapi yaaa... aku tetap baca sih, dan cuek saja, tidak merasa terganggu sama sekali. Tapi jadinya memang kalau aku menemukan buku roman yang lebih mementingkan SAM, jadi sesuatu banget saking jarangnya.


Tentu saja, novel-novel itu, meskipun mengambil setting di masa lalu, kebanyakan ditulis oleh penulis kontemporer. Mungkin akunya saja yang jarang baca novel roman klasik, yang memang sangat steril. Coba deh baca Pride and Prejudice atau novel-novel Jane Austen lainnya. Jangan harap ada adegan ranjang, adegan pegangan tangan saja jarang. Makanya kalau iseng membaca fanfiction PnP, di mana kita dihadapkan pada Mr. Darcy yang tak kuasa menahan nafsu dan Lizzie Bennett yang gampang diajak indehoy, aku jadi merasa mereka Out of Character banget dan seperti membaca novel yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan PnP, cuma mencatut nama tokoh-tokohnya saja.

Nah, meskipun aku cuek saja kalau membaca novel roman luar, bisa beda kasusnya dengan novel roman Indonesia yang menganut SBM. Iya sih, zaman sudah berubah, dan kita tidak bisa menutup mata bahwa SBM bukan hal yang jarang terjadi di Indonesia. Tapi aku agak susah untuk menyukai buku yang tokoh utamanya melakukan SBM dan menganggapnya sebagai hal yang wajar dan biasa saja di zaman yang modern ini. Kalau sudah seperti itu, aku baru bisa menyukai buku itu apabila jalan ceritanya benar-benar bagus dan memikat.

Di luar prinsip SAM, tentunya masih banyak buku-buku yang mengandung hal-hal yang mungkin tidak sesuai dengan prinsip pribadiku di dunia nyata. Tapi, bisa jadi bukannya menghindari, aku malah sengaja membacanya. Kadang-kadang, membaca sesuatu yang kontroversial malah terasa menarik. Kadang-kadang, tokoh-tokoh yang nyeleneh dengan prinsip hidup yang tidak lazim malah membuat jalan ceritanya jadi semakin menarik. How can we love and support a serial killer?


Yang paling susah memang apabila aku membaca buku nonfiksi yang isinya bertentangan dengan prinsip dan keyakinan pribadi. Meskipun demikian, jarang sih yang membuatku DNF. Setidaknya, aku merasa perlu untuk membaca sebuah buku sampai selesai, sebelum aku memberikan komentar baik ataupun buruk. Dan terkadang, meskipun secara sebuah buku yang kubaca tidak sesuai dengan prinsip pribadiku, bisa jadi aku malah memberikan penilaian yang tinggi, dengan alasan yang bermacam-macam.

Intinya sih, bertentangan dengan prinsip atau moral pribadi sekalipun, kalau menurutku sebuah buku atau cerita benar-benar bagus, aku akan tetap memberi penilaian bagus. 






Sunday, April 19, 2015

The Firm

Biro Hukum (The Firm)Biro Hukum by John Grisham
My rating: 4 of 5 stars

#Program BUBU

The Firm yang terbit untuk pertama kali pada tahun 1991 ini merupakan novel kedua John Grisham. Nasibnya berbeda dengan novel pertama, A Time to Kill, yang ditawarkan pada belasan penerbit namun mengalami penolakan demi penolakan. Menurut pendapatku pribadi, mungkin saja karena tema ceritanya tergolong mainstream, Hollywood-friendly, dan tidak sekontroversial buku pertamanya. Meskipun aku cenderung lebih menyukai A Time to Kill yang terasa lebih personal, tapi jelas karena kesuksesan novel kedua inilah Grisham menjadi novelis best-seller, dan barulah kemudian orang-orang menjadi tertarik untuk membaca karya pertamanya. Dan gara-gara kesuksesan novel ini pula Grisham berhenti menjadi pengacara jalanan layaknya Jake Brigance, dan memfokuskan diri untuk menjadi penulis novel.

Novel ini bertutur tentang petualangan Mitch McDeere, fresh graduate top dari Harvard Law School, yang mendapatkan tawaran too good to be true aka too good to refuse dari biro hukum spesialis pajak Bendini, Lambert & Locke yang berbasis di Memphis.

Tapi, itu baru di awal cerita, bukan di akhir dongeng di mana Mitch dan istrinya, Abby, live happily for ever after. Meskipun semula memang terasa demikian.

Belum lama bekerja, Mitch menemukan beberapa kematian/kecelakaan misterius yang menimpa pengacara-pengacara di biro hukumnya. Masih jadi anak bawang, ia sudah didekati oleh agen FBI, yang berusaha merekrutnya dengan menjelaskan bahwa kematian-kematian para pengacara itu ada sebabnya: biro hukumnya merupakan biro milik mafia yang spesialisasinya mengurus cuci uang hasil kejahatan terorganisasi secara "legal".

Pilihan bagi Mitch tidak banyak: bekerja sama dengan FBI, mencari bukti bagi mereka dan menjadi saksi kunci, mencoba keluar dari biro hukum dan kemungkinan besar bakal mati misterius, atau tetap bekerja tanpa mengindahkan tawaran FBI dan pada suatu hari nanti kemungkinan bakal didakwa terlibat dalam kegiatan ilegal bersama semua pengacara di Bendini, Lambert & Locke, sekiranya FBI bisa mengumpulkan bukti dan saksi dengan cara lain.

Sebagai fresh graduate yang masih idealis, mendapati biro hukum impiannya ternyata tidak sebersih yang dibayangkan menjadi masalah besar buat Mitch. Tetap bekerja di sana sambil tutup mata sama sekali bukan pilihan, Tapi, pilihan lain yang ada sama sekali tidak menarik. Keluar dari biro begitu saja apalagi bekerja sama dengan FBI sama-sama memiliki risiko tinggi.

High risk, high return. Begitu hukum investasinya, bukan? Kalau memang memilih yang berisiko tinggi, kenapa tidak sekalian mendapatkan hasil yang tinggi pula? Mitch harus mencari pilihan yang sesuai dengan hati nurani, dan meskipun berisiko tinggi, ia dapat tetap hidup tanpa memikirkan konsekuensi yang harus ditanggungnya dari mafia ataupun terpaksa mengikuti program perlindungan saksi FBI.

Jujur saja, ini bukan novel drama pengadilan. Dan plotnya yang Hollywood banget membuatnya cocok untuk diadaptasi. Tak lama setelah terbit, novel ini dibuat adaptasi filmnya yang rilis pada tahun 1993, dengan sutradara Sidney Pollack dan casting terdiri dari nama-nama seperti Tom Cruise, Gene Hackman atau Ed Harris. Pada tahun 2012, novel ini juga diadaptasi ulang menjadi serial televisi.


Terus terang, karena aku bukan penggemar Tom Cruise, sepertinya aku cuma menonton versi adaptasi filmnya sebanyak satu kali, dan tidak terlalu kepingin untuk menonton ulang. Ternyata efek aktor di film juga kadang berimbas pada keinginan untuk membaca versi novelnya. Novel ini termasuk novel Grisham yang paling jarang kubaca ulang, kemungkinan besar karena covernya yang memajang foto pemeran utamanya besar-besar. Bias? Tidak objektif? Tentu saja. Mungkin aku harus membeli edisi lain yang memiliki gambar cover yang berbeda. 


View all my reviews

A Time to Kill

Saat Untuk Membunuh - A Time to KillSaat Untuk Membunuh - A Time to Kill by John Grisham
My rating: 4 of 5 stars

#Program BUBU

Beberapa hari lalu aku membaca novel John Grisham yang berjudul Sycamore Row. Seperti lazimnya sebagian besar novel Grisham, ceritanya seputar drama pengadilan. Namun, untuk novel ini kita dipertemukan lagi dengan tokoh pengacara dari novel pertamanya, Jake Brigance. Mau tak mau, setelah menamatkan novel itu, aku jadi teringat pada tumpukan novel John Grisham dari Program Beli Ulang Baca Ulang yang mendekam dalam kontener di sudut kamar kost.

Meskipun terlantarnya koleksi BUBU John Grisham itu jelas disebabkan aku lebih memprioritaskan timbunan novel lain yang jelas-jelas belum pernah kubaca, tapi dipikir-pikir lagi sudah saatnya aku membaca ulang karya-karya John Grisham. Apalagi, dia termasuk salah satu penulis favoritku, terutama dari subgenre legal-thriller.

A Time to Kill ini merupakan novel pertama Grisham, yang dituliskannya di sela-sela pekerjaannya sebagai pengacara. Kalau kita ingin mengetahui seperti apa Grisham sebagai pengacara saat masih berpraktek, kita tidak usah mencari tahu jauh-jauh, cukup dengan membaca karakter utama di novel ini: Jake Brigance, sebagaimana yang diakui Grisham pada kata pengantar.

Novel ini sangat kuat dalam detil proses sidang pengadilan, dan juga sangat membangkitkan emosi. Pembaca akan dihadapkan pada dilema yang sama dengan yang dihadapi juri pada kasus pidana yang disidangkan di sini: pembunuhan tingkat pertama, pembunuhan terencana dari seorang ayah terhadap dua laki-laki yang telah memperkosa dan menganiaya putrinya yang baru berusia sepuluh tahun.

Pantaskah seseorang yang telah melakukan pembunuhan secara terencana dibebaskan? Pantaskah suatu pembunuhan dilihat dari siapa korbannya dan apa motivasi di balik pembunuhan? 

Beberapa novel misteri Agatha Christie, khususnya dengan Hercule Poirot sebagai detektifnya, menunjukkan sang detektif kadang menutup mata dan berpaling ke arah lain, membiarkan sang pembunuh bebas apabila ia menganggap sang korban memang pantas dibunuh. Seperti halnya kalau kita membaca cerita silat, di mana pembaca mendukung misi sang tokoh utama untuk membalas dendam dan membunuh musuh bebuyutannya, tanpa ada konsekuensi si tokoh utama ditangkap pihak yang berwenang dan diadili atas perbuatannya.

Hal ini akan berbeda apabila dibawa ke ranah serial komik Detektif Conan misalnya, di mana pembunuh tetap harus ditangkap, apapun motivasinya dan tak peduli betapapun jahatnya sang korban. Namun demikian, kita takkan pernah tahu bagaimana nasib mereka setelah dibawa ke pengadilan. 

Dalam A Time to Kill, pembaca tidak hanya dihadapkan pada konflik utama yang telah disebut di atas. Konflik makin panas karena masalah ras pihak yang terlibat. Pelaku pembunuhan berkulit hitam, sementara dua orang korbannya berkulit putih. Dan semua ini terjadi di Ford County di Negara Bagian Mississippi, di mana sebagian besar penduduknya berkulit putih. Apabila seluruh juri yang terpilih berkulit putih, apakah sang terdakwa bisa memiliki kesempatan untuk mendapatkan sidang yang adil? Dan apa yang akan terjadi apabila sang pengacara yang berkulit putih menjadi incaran para rasis Ku Klux Klan yang menganggap ia telah mengkhianati rasnya sendiri dengan membela pembunuh berkulit hitam. Hanya dengan melakukan pembelaan di sidang pengadilan saja, Jake Brigance telah diteror habis-habisan. Bagaimana apabila ia bisa, sekecil apapun peluangnya, membebaskan klien-nya dari segala dakwaan?

Selesai membaca ulang novel ini, aku juga jadi mendadak ingin menonton ulang versi adaptasi filmnya, yang rilis pada tahun 1996, yang disutradarai Joel Schumacher dan melibatkan cast ensamble yang kuat, antara lain Matthew McConaughey, Samuel L. Jackson, Kevin Spacey, Sandra Bullock, dan Donald Sutherland. 


View all my reviews

Friday, April 17, 2015

Around the Genres in 30 Days Wrap Up


Selamat Jumat malam menjelang Sabtu pagi!!!

Ehm, maaf hampir telat bikin posting wrap up, karena jujur saja aku tidak ngeh kalau event ultah ini harus ditutup dengan resmi pada tanggal 17 April 2015. Sewaktu memajang posting pengumuman pemenang Giveaways Kelompok SFF dan Blog pribadi, kukira itu adalah posting terakhir, meskipun sempat kepikiran waktu melihat rentang waktu pada banner ATG di atas... m(_._)m

Anyway... seperti yang mungkin pernah kuungkapkan pada posting lain, pada ulang tahun BBI tahun-tahun sebelumnya aku tidak pernah aktif berpartisipasi dalam event-event BBI selain posting bareng review. Selama ini aku memang sengaja mengkhususkan blog ini sebagai blog murni review buku (atau curcol, opini, review film dll yang mengaku sebagai review buku). Jadi, boleh dibilang, di ultah ke-4 BBI inilah aku mulai melibatkan diri untuk ikut meramaikannya.

Berbeda dengan format event Ultah BBI sebelumnya, pada event Ultah BBI tahun ini yang bertajuk Around the Genres in 30 Days ini, para peserta dibagi menjadi tiga faksi genre, Children Literature & Young Adult, Romance dan Science Fiction & Fantasy. Terus terang saja, sebagai omnireader yang tidak memiliki fanatisme dan kecenderungan pada genre tertentu (can we say Divergent?), aku harus memilih untuk masuk ke faksi yang mana. Karena kebetulan aku sedang tidak mood untuk membaca buku anak-anak atau romance, apalagi yang ditujukan untuk Young Adult, akhirnya aku memilih faksi SFF. Aku sebenarnya mengusulkan kelompok buku nonfiksi juga sih sebagai cadangan, tapi ternyata tidak ada kelompok yang terbentuk.

Setelah Kelompok 16 SFF terbentuk dan rembukan tentang apa yang akan ditampilkan pada blog peserta, untuk posting awal masing-masing peserta mendapat kesempatan untuk membuat artikel tentang genre/subgenre SFF. Berdasarkan hasil undian, aku mendapatkan genre Science-Fiction.

Well, meskipun aku hobi menonton film atau serial teve yang berbau scifi, kalau melihat daftar bacaanku, buku scifi termasuk minoritas (kita bicara novel, bukan manga/komik). Dan waktu melakukan riset kecil-kecilan tentang novel-novel genre scifi di sebuah site khusus scifi, harus kuakui bahwa dari daftar 25 buku scifi yang konon terbaik di dunia baru 3 buku yang sudah kubaca.

Okesip, ini tantangan yang menarik! 

Karenanya, aku bertekad agar selain membahas genre-nya, aku juga harus membaca minimal beberapa buku scifi. Ish, kebetulan pula posbar BBI bulan Maret bertema novel yang diadaptasi menjadi film (atau sebaliknya). Daftar novel scifi klasik yang sudah diadaptasi menjadi film yang kuniatkan untuk dibaca sebenarnya cukup banyak, dari I, Robot-nya Isaac Asimov, Do Android Dreams of Electric Sheep-nya Philip K. Dick (adaptasi filmnya berjudul Blade Runner, yang dibintangi Harrison Ford), Starship Troopers-nya Robert A. Heinlein, sampai Dune-nya Frank Herbert. Ternyata aku cuma sempat membaca dua buku terakhir (yang wajib kubaca karena konon termasuk tiga besar dunia novel scifi selain Ender's Game), dan buku yang kureview untuk posbar BBI bulan Maret malah novel adaptasi dari naskah film Back To The Future. Tapi nggak terlalu melenceng dari rencana awal sih, toh film BTF juga termasuk film scifi klasik :D


Di event ultah BBI kali ini juga aku pertama kali mengadakan Giveaway di blog. Dan ikutan Giveaway Hop. Sebelumnya, kalau ada kesempatan berbagi buku, Giveaway-ku sangat harfiah: melalui tawaran untuk kalangan terbatas di grup BBI, tanpa syarat apa-apa, siapa cepat dia dapat. Sekarang, aku harus bikin dan ikutan Giveaway yang pakai aturan main segala. Yah, setiap hari memang selalu ada hal baru untuk dicoba.

Untuk Giveaway pribadi, awalnya cukup bingung juga sih menentukan tantangannya, namanya juga baru pertama kali, tapi akhirnya memutuskan yang kuis yang kuanggap mudah: tebak gambar dari buku-buku genre SFF yang pernah kureview di blog ini. 

Untuk Giveaway Hop faksi SFF, malah ada cerita tersendiri. Pada awalnya, karena aku berniat mereview dan membaca novel I, Robot, tadinya novel itu yang mau kujadikan sebagai petunjuk. Tapi nasib berkata lain dan aku diminta untuk menjadikan novel dengan huruf awal O sebagai petunjuknya. Oke deh, dalam rangka konsistensi dengan tema pribadi (padahal tidak wajib sih), aku ingin novel penggantinya tetap novel scifi yang akan kubaca dalam rangka event ATG. Akhirnya aku melihat-lihat daftar buku scifi terbaik, siapa tahu ada yang berawalan depan O. Dan ternyata... ada!

Dan buku yang tak sengaja terpaksa kubaca tersebut, Old Man's War, ternyata memang pantas berada dalam daftar novel scifi terbaik. Bahkan, karena story dan storytelling-nya asyik, aku merasa harus memasukkan penulisnya, John Scalzi, ke dalam daftar penulis favoritku! Membaca novel ini malah terasa lebih asyik dibandingkan ketika membaca novel scifi klasik yang juga kubaca dalam waktu berdekatan, seperti Dune dan Starship Troopers! Ini benar-benar blessing in disguise! Coba kalau aku tidak ikut meramaikan event Ultah BBI seperti tahun-tahun sebelumnya, belum tentu aku kepentok novel-novel John Scalzi dalam waktu dekat. Psst, sebagai catatan, novel Scalzi berikutnya yang kubaca, Redshirts, malah lebih asyik dan menghibur dari novel pertamanya ini. Kalau sempat, akan kureview juga kapan-kapan deh :))

Kesimpulannya, terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada Divisi Event yang telah menyelenggarakan event ATG untuk Ultah BBI yang ke-4 ini.  Dan tentu saja kepada teman-teman anggota faksi SFF yang sangat aktif, kreatif, dan seru (yang juga sering kuganggu dengan pertanyaan-pertanyaan khas pemula yang kudet dan gaptek :P). Aku juga berterima kasih kepada teman-teman yang telah turut berpartisipasi pada GA Hop SFF dan GA blog Threez's Stacks. 

Berhubung jam di sudut kanan bawah layar monitor laptopku sudah menunjukkan pukul 11.40 PM, curcol ini kututup di sini saja, sebelum malah nantinya melampaui tanggal 17 April 2015.


Wednesday, April 15, 2015

Enter the Magical Realm: Giveaway Winners Announcement


Dan... tibalah kita pada saat yang berbahagia di penghujung event BBI 4th Anniversary: Around the Genres in 30 Days, yaitu... pengumuman pemenang dari Giveaway Hop Grup SFF dan Giveaway Threez's Stacks !!!

Pertama-tama, kusampaikan terima kasih pada teman-teman yang sudah berpartisipasi dan meramaikan Giveaway Hop Grup SFF dan Giveaway Threez's Stacks. 

Kedua, bagi para pemenang yang tercantum di bawah ini, langsung saja kuucapkan:


Ketiga, tanpa berpanjang lebar, dengan ini langsung saja kuumumkan para pemenang Giveaway Hop SFF. 



Juara 1  Ariansyah
 ariansyahabo@gmail.com, @ariansyahABO


Juara 2  Dwi Setianto

Juara 3 Amanda Sheila

Juara 4 Priskila Indah Sekar indahsekarmustika@gmail.com, @prizkaindah



Para pemenang akan segera dihubungi oleh Koordinator Grup SFF yang keren ini :D

Keempat, pengumuman selanjutnya untuk Giveaway Threez's Stacks ini. Total ada 18 entry yang masuk dan ternyata 15 di antaranya menjawab dengan benar 9 judul buku dan penulis. Karenanya, pemenang buku 1984 telah diundi secara random.


Asy-Syifaa Halimatu Sadiah
asysyifaahs@yahoo.com

Aku akan mengemail pemenangnya, dan harap dibalas dalam 3 x 24 jam, atau aku akan memilih pemenang lainnya :)

Sekali lagi, terima kasih untuk semua teman yang telah turut meramaikan event ulang tahun BBI yang ke-4 ini \(^.^)/



Monday, April 13, 2015

Selamat Ulang tahun ke-4, BBI!!!


Hari ini, hari yang kautunggu,
Bertambah satu tahun, usiamu,
Bahagialah slalu

Smoga Tuhan, melindungi kamu
Serta tercapai semua angan dan cita-citamu
Mudah-mudahan diberi umur panjang
Sehat selama-lamanya...

(edited lyric of Jamrud's Selamat Ulang Tahun)

Empat tahun yang lalu, tepatnya tanggal 13 April 2011, dibuat Daftar Blog Buku Indonesia sebagai thread di media sosial Goodreads Indonesia. Itulah cikal bakal BBI yang menaungi kita sampai saat ini.

Terus terang saja, meskipun menemukan thread ini saat berselancar di Goodreads Indonesia, aku baru berkenalan dengan BBI pada acara Festival Pembaca Indonesia di penghujung tahun 2011. Meskipun sebagian anggotanya ternyata sudah jadi teman (maya) di Goodreads, tapi BBI sebagai wadah berkumpulnya para blogger buku Indonesia baru kuketahui di sana.

Mulanya biasa saja, pas sedang melihat-lihat berbagai stand di festival, aku menemukan stand sampul buku gratis. Selidik punya selidik, ternyata itu stand BBI yang memang menyediakan jasa sampul gratis buat para pengunjung festival. Secara salah satu hobiku memang menyampul buku, aku akhirnya ikutan nongkrong di situ buat menyalurkan hobi :P

Secara resmi aku bergabung dengan BBI pada bulan Januari 2012. Maklumlah, meskipun sudah punya blog, isinya boleh dibilang gado-gado. Ada ripyu buku, ada ripyu film, ada cerpen mini, atau sekedar curcol. Karena syarat bergabung di BBI harus punya blog yang khusus membahas buku, jadilah aku membuat blog Threez's Stacks ini khusus supaya bisa diakui sebagai blogger buku oleh BBI :P

Sampai dengan tahun 2013 kemarin, blog ini murni dikhususkan untuk review buku (atau ocehan/ curcol nggak jelas yang menyamar sebagai review buku). Tapi seiring dengan bertambahnya event posting bareng BBI yang tidak hanya berupa review, mulai tahun ini aku mulai membuka diri untuk mencoba memposting hal-hal lain. Seperti Opini misalnya. Atau Giveaway. Atau posting testimoni seperti ini.

Apa efeknya bagiku setelah bergabung dengan BBI?

Pertama, teman sesama pecinta buku menjadi lebih banyak, tentu saja. Apalagi ketemu dengan teman-teman BBI tidak cuma secara online, tapi sering juga secara offline. Menemukan bahwa sebenarnya ada banyak buku-otaku di Indonesia yang bisa diajak ngobrol ngalor-ngidul tentang buku benar-benar sesuatu banget, karena di lingkungan keluarga, sekolah, apalagi tempat kerja, biasanya aku benar-benar stand alone.

Dan aku juga takkan bisa melupakan bantuan teman-teman BBI saat kasus maling koleksi bukuku sedang diproses oleh pihak kepolisian. Aku diberi waktu hanya satu malam untuk memberikan daftar buku yang hilang berikut harganya untuk estimasi kerugian yang kualami, padahal koleksi buku yang hilang ada ribuan! Bantuan teman-teman BBI untuk melengkapi harga secara online dari daftar buku yang kushare di FB merupakan kontribusi yang sangat berharga untuk penyelesaian kasusnya #terus ingat waktu polisinya minta bukti kuitansi pembelian buku #halah 

Kedua, selain review buku dari teman-teman di Goodreads, review dan rekomendasi buku dari teman-teman BBI juga menimbulkan dampak finansial yang cukup signifikan terhadap realisasi anggaran belanja buku bulanan (iyaaa, ini bahasa kerjaan XD). Pada zaman dahulu kala, aku biasa membeli buku yang "sepertinya menarik" yang kulihat di display toko buku atau lapak obralan. Sekarang, aku juga membeli buku-buku yang "sepertinya menarik" setelah membaca review teman-teman...  Tidak heran kalau setelah bergabung dengan BBI acara timbun-menimbun buku jadi lebih agresif T.T

Ketiga, tentu saja aku jadi terpaksa lebih disiplin dalam menulis review... Sebelumnya, hampir semua waktu luangku yang tidak banyak itu dialokasikan untuk membaca buku. Karena BBI, aku tidak lagi hanya membaca buku, tapi juga membagikan pendapat atau pengalamanku tentang buku yang kubaca kepada pembaca lainnya. Karena BBI, aku diingatkan lagi pada salah satu hobiku yang lain yang selama ini tersingkirkan karena pilihan prioritas: menulis,




Selamat ulang tahun ke-4, Bebi... Mudah-mudahan diberi umur panjang, sehat selama-lamanya...




Tuesday, April 7, 2015

Enter the Magical Realm: Underrated Top 3 Best SF Books [+Giveaway Hop]



Judul yang paradoks? Kontradiktif?

Mau bagaimana lagi... buku-buku genre science fiction memang tergolong criminally underrated di Indonesia. Alasannya jelas karena kurang peminat dan pembaca (apalagi kalau dibandingkan dengan peminat dan pembaca genre romance), sehingga ujung-ujungnya penerbit lokal malas menerbitkan buku bergenre scifi. Beberapa scifi klasik, khususnya karya Jules Verne dan H.G. Wells kadang-kadang terlihat penampakannya di rak toko buku (atau lapak obralan), tapi bagaimana dengan nasib buku-buku yang digadang-gadang sebagai best of the best nya scifi?

Oke, sebelum masuk ke pokok bahasan, pertanyaan pertama adalah: Apa parameter the best yang pas untuk genre science fiction?

Berdasarkan situs yang ini, idealnya cerita SF terbaik mampu menggabungkan storystelling yang baik dengan berbagai macam pertanyaan fundamental tentang segala hal: masyarakat, agama, politik, hubungan antar ras, ruang, waktu, takdir manusia, tempat kita di alam semesta ini, dll. Dan akan jauh lebih baik lagi apabila ceritanya disertai plot dan karakter yang kuat. Sayangnya, hal itu jarang kita temukan dalam satu buku.

Dari 25 buku SF terbaik di dunia versi situs yang sama, aku mencomot tiga buku teratas saja untuk sharing kali ini. Selain karena pembahasan 25 buku bisa panjang bukan kepalang, sebagai pembaca level cemen untuk genre ini, aku baru membaca 6 dari 25 buku yang ada dalam daftar. Itu pun setengahnya baru kubaca beberapa hari belakangan ini :P

Yuk kita mulai saja!

#1 Dune

First edition cover
Novel yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1965 ini memenangkan Hugo Award dan Nebula Award untuk kategori Best Novel pada tahun 1966, yang merupakan penghargaan tahunan untuk karya science fiction/fantasy terbaik.

Novel ini bersetting di masa depan yang jauh, dengan sistem pemerintahan antarbintang berbentuk kekaisaran. Tokoh utama buku ini adalah Paul Atreides, yang masih berusia lima belas tahun saat pertama kali muncul di awal novel. Ia adalah putra tunggal Duke Leto Atreides, yang ditugaskan untuk mengelola planet Arrakis, yang disebut juga Dune, karena planetnya berupa gurun pasir. Tapi jangan melihat penampilannya, planet itu merupakan satu-satunya sumber "spice" melange, yang sangat diperlukan dalam perjalanan antar planet / antar ruang, menjadikannya sumber daya alam yang paling berharga di alam semesta. Siapa yang menguasainya, berarti menguasai alam semesta.

Yang membuat Dune dinilai best of the best untuk novel genre scifi adalah cakupan pembahasannya yang berlapis-lapis, dari politik, agama, ekologi, imperialisme, teknologi, emosi manusia, saat semua pihak berkonfrontasi dalam perebutan kekuasaan atas planet Arrakis dan sumber daya alamnya.

Versi filmnya dirilis pada tahun 1984, yang disutradarai oleh David Lynch dengan cast antara lain Kyle McLachlan, Patrick Stewart dan Sting. 


Tapi konon film Star Wars yang sudah rilis lebih dulu terinspirasi dari novel Dune, meskipun sejauh yang bisa kulihat persamaannya hanya dari sisi sistem kekaisaran antargalaksi dan tokoh utama remaja yang berasal dari planet gurun pasir. Pada tahun 1970-an sebenarnya sudah ada usaha mentransfer novel ini ke seluloid, dengan sutradara Alejandro Jodorowsky, tapi gagal. Dokumentasi pembuatan film itu malah diangkat menjadi film tersendiri yang rilis pada tahun 2013, dengan judul Jodorowsky's Dune.

Pendapat pribadi (sekaligus review colongan):
Setting novel bisa diparalelkan dengan lokasi khusus di bumi: gurun pasir di semenanjung Arabia. Sumber daya alam yang menjadi sumber konflik, well, apalagi kalau bukan minyak. Siapa yang menguasai minyak, berarti menguasai dunia.

Siapapun yang membaca buku ini pasti akan menyadari bahwa Frank Herbert banyak meminjam referensi Arab, bukan hanya setting gurun pasirnya, tapi juga bahasanya. Kita akan menemukan kamus mini di bagian belakang novel,yang menjelaskan istilah-istilah yang digunakan dalam novel. Banyak istilah arab yang akan kita kenali, seperti adab, alam, aql, ayat, baraka, fiqh, hajj, hajra, ilm, jihad, karama, kitab, lisan al-gaib, mahdi, sampai shaitan.

Paul Atreides bukan penduduk asli Dune, kaum Fremen, tapi pada akhirnya ia merupakan perwujudan dari Mahdi (messiah/nabi) yang ditunggu-tunggu kaum Fremen dalam kepercayaan agama mereka, dan memimpin mereka dalam perang militer melawan para penjajah: dalam hal ini musuh keluarga Atreides, keluarga Harkonnen, yang menguasai planet Arrakis.

Frank Herbert menuliskan perwujudan Paul sebagai nabi/panglima militer yang sukses meruntuhkan kekuasaan kekaisaran atas Arrakis ini sebagai "When religion and politics ride in the same cart and that cart is driven by a living Holy man, nothing can stand in the path of such a people."

Oh, well. Kita tahu maksud dan referensinya.

Tapi sudahlah, bagi yang tidak tertarik pada benang merah yang menurutku tidak cukup subtle ini, masih banyak yang bisa dieksplorasi dari novel ini. Setelah Butlerian Jihad alias perang antara manusia melawan komputer yang memiliki artificial intelligence (iya, mengingatkan kita pada tema The Matrix), menciptakan mesin yang bisa berpikir seperti manusia adalah dosa besar. Karena itu, yang terus dikembangkan adalah kemampuan otak manusia. Ada kaum yang bisa menggunakan kemampuan otaknya sampai batas maksimal sehingga mirip komputer, ada kaum yang mengembangkan kemampuan psikis, dan ada pula kaum yang berusaha menciptakan manusia super melalui persilangan genetis. Mau cari action? Selain antara pihak Atreides vs Harkonnen vs Fremen, ada pula monster asli Arrakis, cacing pasir yang panjangnya antara seratus sepuluh sampai empat ratus meter dan diameternya minimal dua puluh dua meter. Bayangkan kalau pesawat saja bisa ditelan olehnya, bagaimana dengan manusia. Dan bayangkan, bila kau bisa menaklukkan dan menunggang monster itu ke medan perang... XD


Novel ini agak susah untuk kureview secara singkat, karena kompleksitas dan luas cakupannya. Dan terus terang saja, secara Dune konon Lord of the Ring-nya genre scifi, boleh dibilang secara pribadi pendapatku pribadi saat membaca buku ini sama dengan ketika membaca LotR. Terlepas dari worldbuilding-nya yang luar biasa, gaya bahasa dan penuturannya kurang sreg dan bikin males... >,<

Underrated?
Di negara asalnya sih jelas tidak, bahkan disebut world best-selling science fiction novel (jumlah pastinya sih entah berapa). Rating di GR saat ini juga termasuk tinggi, 4.14. Tapi di Indonesia...? Di luar pembaca dan penggemar scifi, boleh dibilang di kalangan pembaca awam akreditasinya nyaris tidak terdengar. Terjemahannya juga belum ada. Memang sudah ada versi filmnya, lebih dari 30 tahun yang lalu, dan siapa yang ingat coba? Jangan dibandingkan dengan Return of the Jedi (1983, dengan sutradara yang sama) atau Back to the Future (1985), yang saking klasiknya masih banyak orang yang ingat. Waktu mencoba menonton versi filmnya kemarin, aku nyaris nangis melihat efek spesialnya (iya sih 31 tahun lalu, tapi tetep saja...), dan buat penonton yang belum membaca novelnya, bisa jadi susah dimengerti dan bikin tersesat di alam semesta. Oh iya, ada beberapa buku sekuel dari novel. Tapi mengingat buku pertamanya saja belum ada yang menerjemahkan sampai saat ini, apalagi sekuelnya...


#2 Ender's Game

First edition cover
Novel yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1985 ini memenangkan penghargaan sebagai best novel pada Nebula Award 1985 dan Hugo Award 1986.

Novel ini merupakan military science fiction yang bersetting di masa depan, di mana bumi telah mengalami dua kali invasi dari alien mirip serangga (yang disebut "Buggers"). Dalam rangka mencegah serangan berikutnya, maka pasukan bumi merencanakan pre-emptive strike ke home planet musuh, dan melatih sekumpulan anak-anak berbakat, termasuk Ender Wiggin, tokoh utama buku ini, untuk berpartisipasi dalam serangan tersebut. Judulnya berkorelasi erat dengan pelatihan-pelatihan berupa game pada Battle School yang levelnya semakin lama semakin sulit dan kompleks, yang bertujuan untuk mendapatkan pemimpin militer yang memiliki kemampuan berpikir taktis dan strategis yang tinggi.

Membaca novel ini kita akan dibawa mengikuti proses pelatihan Ender di Battle School hingga lulus dan promosi ke level yang lebih tinggi: Command School. Di tempat baru, ia diberikan game dan simulasi pertempuran yang lebih kompleks. Dalam setiap simulasi, ia memegang komando tertinggi armada spaceship dan pesawat tempur pasukan bumi melawan armada alien.

Novel ini diadaptasi menjadi film yang dirilis pada tahun 2013, dengan casting antara lain Harrison Ford, Asa Butterfield dan Ben Kingsley.


Terdapat beberapa penyesuaian yang cukup signifikan, terutama perubahan usia Ender yang dalam versi buku masih anak-anak menjadi remaja.

Pendapat pribadi (bukan review)
Pertama kali aku membaca buku ini dalam bentuk ebook pada tahun 2010. Asbabun nujul-nya tidak jelas, karena tidak ada seorang pun yang berbaik hati merekomendasikan buku ini padaku. Kalau tidak salah awalnya karena aku membaca komik Iron Man yang ditulis oleh Orson Scott Card. Tapi yang jelas, storytelling-nya yang asyik dan twist ending-nya yang epik membuatku langsung memberi rating 5/5 dan memasukkannya ke daftar buku favorit. Baru setelah filmnya rilis, aku membeli buku fisiknya (dengan cover film tentunya).

Tapi sampai dengan saat ini, aku belum tertarik untuk membaca buku sekuelnya. Bagiku, buku ini bisa berdiri sendiri sebagai satu cerita utuh.

Underrated?
Di negara asalnya sudah pasti tidak. Dalam setiap daftar best sci-fi novels, buku ini termasuk selalu masuk papan atas dan best seller, dengan rating di GR saat ini 4.28. Di Indonesia? Nasibnya jauh lebih baik dibandingkan novel Dune, karena sudah diterjemahkan dan diterbitkan. Tapi karena penerbitannya berbarengan dengan peluncuran filmnya sebagai novel movie-tie-in, jangan terlalu berharap sekuelnya (serial ini terdiri dari 7 buku) akan diterbitkan juga, apabila versi filmnya tidak dibuat sekuelnya. Tapi untuk versi terjemahan, cukup lumayanlah pembacanya, setidaknya sampai saat ini di GR ada 297 orang yang memberi rating dengan rata-rata 4.15.


#3 Starship Troopers

First edition cover
Novel yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1959 ini memenangkan Best Novel pada Hugo Award tahun 1960.

Diceritakan dari sudut pandang orang pertama, pemuda bernama Juan "Johnnie" Rico yang bergabung dengan Mobile Infantry. Perkembangan karir Johnnie sejak pertama kali bergabung dengan MI sampai menjadi perwira diceritakan dengan latar belakang perang melawan alien mirip serangga yang disebut "the Bugs", yang berujung pada pre-emptive strike terhadap home planet musuh (jelas tampak pengaruhnya terhadap novel-novel scifi sejenis, termasuk Ender's Game).

Tapi yang jelas, di novel ini perang melawan alien bukan sajian utama. Yang lebih banyak mengambil porsi adalah pemikiran-pemikiran filosofis tentang hidup, sistem sosial, politik, dan militer, yang kadang terselip dalam narasi Johnnie atau dialog antara Johnnie dengan tokoh-tokoh lainnya.

Novel ini telah diadaptasi menjadi film pada tahun 1997, dengan sutradara Paul Verhoeven (Robocop, Total Recall), dan casting antara lain Casper Van Dien, Denise Richards, dan Neil Patrick Harris.


Berbeda dengan versi aslinya, versi film ini lebih mengedepankan adegan aksi dan perang melawan alien-nya.

Pendapat pribadi
Sepertinya sudah panjang lebar kubahas di sini.

Underrated?
Sudahlah, tak usah membahas kepopuleran buku scifi ini di negara asalnya. Di Indonesia, sepertinya sih memang iya. Meskipun filmnya beredar di bioskop dan sering diputar ulang di stasiun TV Indonesia, tetap saja versi bukunya belum diterjemahkan dan diterbitkan di Indonesia. (Tapi CMIIW ya, karena ini buku terbitan tahun 1959, siapa tahu di jaman tahun 1960-70an ada versi terjemahan Indonesia yang tidak kuketahui?). Dan pada tahun 1990-an saat filmnya rilis, masih jarang ada penerbit yang rajin dan mau menerbitkan novel movie-tie-in, meskipun harus kuakui penerbit GPU mau menerbitkan buku Species, Independence Day, atau Mission Impossible (semuanya aku punya), buku Robert A. Heinlein ini tidak termasuk yang seberuntung itu.

Nah, bagaimana, ada yang mau berkampanye agar lebih banyak buku genre scifi yang diterjemahkan dan diterbitkan di Indonesia? Konsekuensinya, konsisten ya, beli bukunya kalau sudah diterjemahkan dan diterbitkan :)

Baiklah, masih dalam meramaikan BBI 4th Anniversary Event yaitu Around the Genres in 30 Days, tibalah kita pada saat yang ditunggu-tunggu:


Peraturannya:

1. Tebak judul buku dari petunjuk yang diberikan masing-masing blog.

2. Ambil hanya huruf pertama dari judul buku tersebut.

3. Judul buku yang digunakan adalah versi aslinya, bukan terjemahan. (Misalkan Inheritance yang meski diterjemahkan GM menjadi Warisan, tapi yang kita gunakan tetaplah huruf I nya)

4. Khusus untuk judul buku yang ternyata berawalan The, harap abaikan huruf T di depan, sehingga yang digunakan adalah kata setelah "The". (Misalkan The Alchemist, maka yang digunakan dalam menyusun kata adalah huruf A bukan T)

5. Setelah menemukan 16 huruf dari masing-masing blog, susunlah huruf-huruf tersebut menjadi banyak kata. Ingat, hanya kata bukan kalimat (seperti permainan scrabble)

6. Jumlah minimal huruf yang digunakan dalam menyusun kata tersebut adalah 4 huruf.

7. Setiap huruf yang merupakan jawaban tidak dapat digunakan berulang dalam satu kata. Kecuali kalau memang ada huruf yang sama dalam 16 judul tersebut.

8. Jawaban dimasukkan ke dalam google docs yang bisa diakses lewat masing-masing blog peserta SF/F. Hanya diperbolehkan mengisi sekali, mohon untuk tidak menjawab berulang-ulang di blog yang berbeda.

9. Setiap kata yang berhasil disusun, bernilai satu poin, peserta yang paling banyak menyusun kata (kata tersebut harus dalam bahasa Indonesia dan tercantum di KBBI), dialah yang menjadi pemenangnya.

10. Peserta yang bisa membuat kata yang berhubungan dengan dunia fantasi (contoh: dewa, dewi, peri, dsb) mendapatkan bonus satu poin.

Dan hadiahnya... (drum rolls sound)

Untuk 4 orang pemenang akan mendapatkan hadiah di bawah ini:

Juara 1: Voucher buku senilai IDR 240k

Juara 2: A Game of Thrones karya G.R.R. Martin edisi terjemahan

Juara 3: Seri 1-3 Scary Tales karya James Preller & Iacopo Bruno

Juara 4: Paranormancy karya Kiersten White & Wings karya Aprilynne Pike

Sekarang clue dari blog ini:

1. Buku asli berbahasa Inggris.

2. Genre scifi, subgenre space opera.

3. Bercerita tentang perang real estate antara manusia bumi dengan alien-alien lain.

4. Gambar cover dari edisi-edisi berbahasa selain Inggris:


Gampang kan ya?

Silakan mengisi jawaban kalian di form Google Docs berikut ini:

Thursday, April 2, 2015

Old Man's War

Judul: Old Man's War

Penulis: John Scalzi

Diterbitkan pertama kali: Januari 2005

Genre: Science Fiction

Subgenre: Space Opera

Dibaca pada tanggal: 28 - 30 Maret 2015

Sinopsis:
John Perry did two things on his 75th birthday. First he visited his wife's grave. Then he joined the army.

The good news is that humanity finally made it into interstellar space. The bad news is that planets fit to live on are scarce-- and alien races willing to fight us for them are common. So: we fight. To defend Earth, and to stake our own claim to planetary real estate. Far from Earth, the war has been going on for decades: brutal, bloody, unyielding.



Earth itself is a backwater. The bulk of humanity's resources are in the hands of the Colonial Defense Force. Everybody knows that when you reach retirement age, you can join the CDF. They don't want young people; they want people who carry the knowledge and skills of decades of living. You'll be taken off Earth and never allowed to return. You'll serve two years at the front. And if you survive, you'll be given a generous homestead stake of your own, on one of our hard-won colony planets.



John Perry is taking that deal. He has only the vaguest idea what to expect. Because the actual fight, light-years from home, is far, far harder than he can imagine--and what he will become is far stranger. 

Review:
Pernah mendengar istilah young man with an old soul?

Pengertian secara umum biasanya adalah orang muda dengan pola pikir dewasa atau matang. Tapi dalam buku ini, istilah ini dapat diartikan secara harfiah. Mengapa?

Sebelum kujelaskan, pertama-tama... jangan membaca judul ini secara harfiah.
Kedua... jangan membaca sinopsis buku ini secara harfiah juga.

Aku termasuk golongan yang membaca judul dan sinopsis buku ini secara harfiah. Terus terang, aku cuma tahu buku ini salah satu buku yang termasuk golongan papan atas genre scifi, khususnya subgenre space opera, tanpa tahu apa-apa tentang penulisnya (iya, ini kumasukkan New Author Reading Challenge 2015 untuk serial baru sekalian dalam rangka meramaikan event BBI 2015 dengan genre Scifi) ataupun isi ceritanya.

Awalnya tentu saja aku bertanya-tanya mengapa buku yang bercerita tentang kakek-kakek yang ikutan berperang dengan alien bisa masuk ke jajaran novel scifi papan atas. Biasanya yang maju berperang begitu kan anak muda. Apa menariknya coba?

Tapi kalau dipikir-pikir, ya... judul dan premis ceritanya memang bikin penasaran sih. Bagaimana caranya kakek-kakek ringkih yang tinggal menunggu maut menjemput bisa berperang melawan alien. Ada beberapa pilihan logis:
1) Serum super soldier ala Captain America
2) Obat yang bisa bikin muda kembali
3) Operasi cangkok organ yang sudah tua

Oke deh, aku harus membaca bukunya untuk membuktikan teori di atas,

Dan ternyata... dalam waktu yang tak terlalu lama, aku langsung terpikat. Memang tidak bisa kutamatkan dalam waktu singkat, karena selain dibaca sembari mengikuti acara outbond kantor, aku juga merasa sayang apabila menamatkan buku ini dengan segera.

Kembali, pertanyaannya adalah: di mana menariknya? Yuk, kita bahas :))