Sunday, April 19, 2015

A Time to Kill

Saat Untuk Membunuh - A Time to KillSaat Untuk Membunuh - A Time to Kill by John Grisham
My rating: 4 of 5 stars

#Program BUBU

Beberapa hari lalu aku membaca novel John Grisham yang berjudul Sycamore Row. Seperti lazimnya sebagian besar novel Grisham, ceritanya seputar drama pengadilan. Namun, untuk novel ini kita dipertemukan lagi dengan tokoh pengacara dari novel pertamanya, Jake Brigance. Mau tak mau, setelah menamatkan novel itu, aku jadi teringat pada tumpukan novel John Grisham dari Program Beli Ulang Baca Ulang yang mendekam dalam kontener di sudut kamar kost.

Meskipun terlantarnya koleksi BUBU John Grisham itu jelas disebabkan aku lebih memprioritaskan timbunan novel lain yang jelas-jelas belum pernah kubaca, tapi dipikir-pikir lagi sudah saatnya aku membaca ulang karya-karya John Grisham. Apalagi, dia termasuk salah satu penulis favoritku, terutama dari subgenre legal-thriller.

A Time to Kill ini merupakan novel pertama Grisham, yang dituliskannya di sela-sela pekerjaannya sebagai pengacara. Kalau kita ingin mengetahui seperti apa Grisham sebagai pengacara saat masih berpraktek, kita tidak usah mencari tahu jauh-jauh, cukup dengan membaca karakter utama di novel ini: Jake Brigance, sebagaimana yang diakui Grisham pada kata pengantar.

Novel ini sangat kuat dalam detil proses sidang pengadilan, dan juga sangat membangkitkan emosi. Pembaca akan dihadapkan pada dilema yang sama dengan yang dihadapi juri pada kasus pidana yang disidangkan di sini: pembunuhan tingkat pertama, pembunuhan terencana dari seorang ayah terhadap dua laki-laki yang telah memperkosa dan menganiaya putrinya yang baru berusia sepuluh tahun.

Pantaskah seseorang yang telah melakukan pembunuhan secara terencana dibebaskan? Pantaskah suatu pembunuhan dilihat dari siapa korbannya dan apa motivasi di balik pembunuhan? 

Beberapa novel misteri Agatha Christie, khususnya dengan Hercule Poirot sebagai detektifnya, menunjukkan sang detektif kadang menutup mata dan berpaling ke arah lain, membiarkan sang pembunuh bebas apabila ia menganggap sang korban memang pantas dibunuh. Seperti halnya kalau kita membaca cerita silat, di mana pembaca mendukung misi sang tokoh utama untuk membalas dendam dan membunuh musuh bebuyutannya, tanpa ada konsekuensi si tokoh utama ditangkap pihak yang berwenang dan diadili atas perbuatannya.

Hal ini akan berbeda apabila dibawa ke ranah serial komik Detektif Conan misalnya, di mana pembunuh tetap harus ditangkap, apapun motivasinya dan tak peduli betapapun jahatnya sang korban. Namun demikian, kita takkan pernah tahu bagaimana nasib mereka setelah dibawa ke pengadilan. 

Dalam A Time to Kill, pembaca tidak hanya dihadapkan pada konflik utama yang telah disebut di atas. Konflik makin panas karena masalah ras pihak yang terlibat. Pelaku pembunuhan berkulit hitam, sementara dua orang korbannya berkulit putih. Dan semua ini terjadi di Ford County di Negara Bagian Mississippi, di mana sebagian besar penduduknya berkulit putih. Apabila seluruh juri yang terpilih berkulit putih, apakah sang terdakwa bisa memiliki kesempatan untuk mendapatkan sidang yang adil? Dan apa yang akan terjadi apabila sang pengacara yang berkulit putih menjadi incaran para rasis Ku Klux Klan yang menganggap ia telah mengkhianati rasnya sendiri dengan membela pembunuh berkulit hitam. Hanya dengan melakukan pembelaan di sidang pengadilan saja, Jake Brigance telah diteror habis-habisan. Bagaimana apabila ia bisa, sekecil apapun peluangnya, membebaskan klien-nya dari segala dakwaan?

Selesai membaca ulang novel ini, aku juga jadi mendadak ingin menonton ulang versi adaptasi filmnya, yang rilis pada tahun 1996, yang disutradarai Joel Schumacher dan melibatkan cast ensamble yang kuat, antara lain Matthew McConaughey, Samuel L. Jackson, Kevin Spacey, Sandra Bullock, dan Donald Sutherland. 


View all my reviews

No comments:

Post a Comment