Friday, September 16, 2016

The Life-Changing Magic of Tidying Up



Judul : The Life-Changing Magic of Tidying Up 
(Seni Beres-Beres dan Metode Merapikan ala Jepang)

Penulis : Marie Kondo

Penerbit : Bentang

Tebal : xviii + 206 halaman

ISBN : 9786022912446

Dibeli di : Gramedia.com

Harga beli : Rp. 45.900,- (disc. 15%)

Diterima pada tanggal : 26 Agustus 2016

Dibaca pada tanggal : 29 Agustus 2016

Review Curcol :

Singkatnya, sebagai pengumpul buku, pakaian, sepatu, kartu pos, perangko, mug, koin... eh, intinya segala macam barang (tapi terutama buku), aku merasa guidance dari Marie Kondo ini sangat penting!

Titik.

Eh, nggak juga ding, masih koma, karena review curcolnya bakal cukup panjang nih!

Mulai dari mana ya...

Bagiku buku ini sangat menohok, karena sebagai orang (merasa) cukup apik, rapi, dan rajin berbenah setiap hari (terutama di kantor), ternyata banyak kebiasaanku dalam berbenah yang rupanya salah kaprah.

Menurut Marie Kondo, mendingan kita merapikan sekaligus daripada sedikit-sedikit, karena berbenah sedikit-sedikit berarti berbenah tanpa henti. Aku sependapat dalam hal ini, karena sudah kupraktekkan di kantor. Setelah berbenah dengan membuang barang-barang tak dibutuhkan, aku selalu menjaga kondisi ruang kerja dalam kondisi rapi-kinclong-hampir tidak ada barang di atas meja setiap kali kutinggal pulang di akhir hari. Tapi... ada tapinya, ini hanya bisa dilakukan karena aku tidak menyimpan barang-barang pribadi di kantor, termasuk buku!

Cerita jadi lain kalau sudah menyangkut barang-barang pribadi. Sebagai manusia tipe pengumpul (kadang-kadang tipe pemburu juga sih, khususnya barang diskonan), barang-barang pribadiku selalu bertambah setiap hari. Meskipun aku pecinta buku kelas kakap yang anggaran belanja buku setiap bulannya jauh lebih besar daripada anggaran sandang/pangan/papan, ternyata koleksi pakaian dan sepatuku baik di kamar kos maupun di rumah orang tua juga memakan banyak tempat penyimpanan! Pertambahan baju/sepatu memang tidak seperti pertambahan buku yang eksponensial, cuma beberapa bulan sekali atau sampai setahun sekali, tapi tetap bertambah karena barang yang sudah bertahun-tahun tidak dipakai pun masih disimpan.

Tidak tega membuang barang memang penyakit turunan khas tipe pengumpul. Sudah susah-susah dikumpulkan, mahal-mahal dibeli, masa dibuang begitu saja. Sayang kan, masih bisa dipakai lagi kapan-kapan, apalagi ukuran baju/sepatu tetap sama dari zaman SMP. Sayang kan, siapa tahu buku yang itu mau dibaca lagi kapan-kapan.

Menurut Marie Kondo, "kapan-kapan" berarti "takkan pernah", jadi semua barang yang statusnya tidak jelas seperti itu harus dibuang! Ia juga menyarankan agar kita memulai dengan membuang semuanya sekaligus, tanpa ampun, dan sampai tuntas! Caranya adalah, kita mengumpulkan barang yang akan dibereskan di satu tempat, lalu memilih mana yang akan disimpan dan yang akan dibuang, dengan mengambil dan memegangi setiap barang dan bertanya "Apakah ini membangkitkan kegembiraan?" Jika ya, simpanlah. Jika tidak, buang saja. Dan urutan terbaik untuk berbenah per kategori barang adalah: pakaian, buku, kertas, pernak-pernik, dan terakhir kenang-kenangan. Tapi karena koleksiku yang paling banyak adalah buku, untukku pribadi sepertinya koleksi buku yang harus dibereskan duluan.

Pertama-tama, sepertinya aku merasa kurang sreg dengan prinsip Marie Kondo bahwa "kapan-kapan" berarti "takkan pernah", khususnya terkait dengan timbunan buku tak terbaca. Aku pernah menelantarkan buku selama puluhan tahun (Tinker, Tailor, Soldier, Spy), belasan tahun (War and Peace, The Stand, The Dark Tower Series), atau beberapa tahun (ah, ini mah tidak bisa disebut satu persatu), tapi buku-buku itu tidak kubuang karena aku meyakini kualitasnya, dan toh akhirnya benar-benar kubaca. Tapi, itu bukan berarti aku tidak pernah membuang buku yang belum kubaca sama sekali. Aku juga pernah kok menyortir timbunan buku belum terbaca dan menyumbangkan sebagian di antaranya. Pertimbangannya simpel saja, aku mungkin tidak akan terlalu suka membacanya dan toh buku itu kubeli dengan harga obral.

Dulu, aku pernah berencana kapan-kapan membuka perpustakaan umum atau rumah baca gratis di kampungku, demi meningkatkan minat baca anak-anak di lingkungan sekitar rumah yang saat ini kelihatannya sangat kurang, yang mungkin disebabkan tidak adanya akses yang mudah dan murah ke buku bacaan. Jadi, aku sering memanfaatkan pameran atau sale buku sebagai ajang berinvestasi sejak dini, dengan membeli buku-buku yang kuanggap sepertinya menarik, termasuk buku anak-anak, dalam jumlah yang lumayan banyak. Tapi aku mulai berpikir ulang sejak insiden menyedihkan beberapa tahun yang lalu, waktu nyaris 3/4 koleksi bukuku dilego ke tukang loak (KILOAN!!!) oleh orang yang seharusnya menjaganya.

Lantas, aku pun mengubah prinsip dalam mengoleksi buku, dari semula mengoleksi sebanyak-banyaknya menjadi hanya mengoleksi buku yang kusukai saja. Waktu aku membeli ulang buku-buku yang raib, aku pastikan buku-buku itu adalah favoritku, yang dengan memiliki dan membacanya saja dapat membuatku bahagia. Nah, sudah cocok dengan prinsip Marie Kondo, kan?

Lalu, bagaimana dengan buku koleksi yang sekarang kalau kupegang satu per satu tidak ada getar terasa? Padahal dulu mungkin waktu membelinya aku senang banget kayak nemu harta karun, yang bisa jadi gara-gara kudapat dengan gratis atau harga murah meriah.

Ya... Persis seperti anjuran Marie Kondo juga: buang saja. Tapi tentunya bukan buang sembarangan ke kali atau dikilo ke tukang loak. Selalu ada tempat untuk buku. Kalau rencanaku membuka rumah baca sendiri di kampungku baru bisa terlaksana di masa yang akan datang karena aku belum bisa menemukan orang lain yang bisa kupercaya untuk merawat koleksiku, mungkin lebih baik apabila buku-bukuku bermanfaat dan berguna saat ini, baik di tangan para pecinta buku lain ataupun di perpustakaan di kampung lain yang lebih membutuhkan.

Jadi, mungkin acara beres-beres perpustakaan (dan giveaway di blog ini) sepertinya akan selalu menjadi kegiatan rutinku. Aku tidak bisa mengikuti anjuran Marie Kondo untuk berbenah secara sekaligus, selain karena waktu yang terbatas, aku juga masih belum bisa (baca: belum mau) menghentikan belanja buku, baik yang rutin maupun nonrutin. Iya, aku masih menggunakan prinsip berbenah versi lama: kalau ada barang yang masuk, harus ada barang yang keluar. Tapi itu pun hasilnya sudah cukup lumayan, kok. Tumpukan buku tanpa tempat di lemari perpustakaanku yang ruangnya terbatas semakin berkurang, dan hati pun terasa lebih ringan.

Kepada buku-buku yang kulepas, terima kasih atas kebahagiaan yang telah kalian berikan saat aku memperoleh dan memiliki kalian selama ini. Mudah-mudahan kalian dapat memberikan kebahagiaan di tempat yang baru.

Kepada teman-teman yang mengadopsi buku-bukuku, terima kasih atas kesediaannya untuk menampung buku-bukuku dan mensukseskan kegiatan beres-beres dan merapikan perpustakaan pribadiku.

P.S. Kutipan buku yang kucuplik di sini cuma sedikit, jadi kalau tertarik untuk belajar teknik Marie Kondo lebih lanjut, silakan baca sendiri ya. Very recommended buat hoarder kambuhan.

P.P.S. Meskipun aku belum bisa mempraktekkan isinya, buku ini sudah menjadi salah satu buku favoritku saat ini. Jadi tidak, aku tidak akan membuangnya. Di Goodreads, aku merating buku ini:
P.P.P.S. Dengan membaca buku ini, atau mempraktekkan seni Marie Kondo, minimal kita akan menyadari apa saja yang sebenarnya kita butuhkan untuk menjalani hidup sehari-hari dengan gembira, dan apa saja yang lebih baik kita singkirkan supaya kita dapat merasa lebih bahagia. Buku ini dilengkapi dengan testimoni dari klien-klien yang dibantu Marie Kondo untuk berbenah, meskipun kadang-kadang terlalu ekstrim seperti ini:

Kursus Anda mengajarkan kepada saya untuk melihat apa saja yang sungguh saya butuhkan dan apa saja yang tidak saya perlukan. Jadi, saya lantas minta cerai. Sekarang saya merasa jauh lebih bahagia.

Friday, September 9, 2016

2016 Fox's Library Weeding Programme #5 Winners Announcement

Thank God It's Friday! Menjelang long weekend pula!

Alhamdulillah meski masa pendaftaran giveaway yang kubuka cukup singkat karena waktunya sudah mepet banget dengan mudik lebaran haji, cukup banyak teman-teman yang bersedia untuk menjadi adopter bagi buku-buku malang yang kusiangi dari perpustakaan pribadiku. Terima kasih ya, temans...


Karena pilihan bukunya lumayan banyak dan teman-teman juga banyak yang memilih lebih dari satu pilihan, tumben-tumbennya waktu kuundi pakai aplikasi Randomizers ada beberapa drama yang belum pernah terjadi di giveaway-giveaway sebelumnya. Beberapa nama muncul sebagai pemenang lebih dari satu paket, bahkan ada yang sampai lima kali! Ada yang cuma memilih dua paket tapi memenangkan kedua-duanya. Ada pula paket buku yang diundi sampai lima kali gara-gara yang muncul nama-nama pemenang paket yang sudah diundi duluan.

Namun sayang disayang, meskipun rupanya ada beberapa teman sedang kuat keberuntungannya, yang namanya peraturan tetap peraturan. Apabila ada undian paket buku yang pemenangnya ternyata sudah pernah menang di undian paket sebelumnya, terpaksa harus diundi ulang. Yah, namanya juga bagi-bagi buku. Jadi untuk 13 paket buku di Giveaway #5 Tahun 2016 ini harus ada 13 orang pemenang.

Oke, langsung saja, untuk para pemenang giveaway kali ini, pertama-tama kuucapkan:


Dan langsung saja, teman-teman yang beruntung adalah...

Noviana Ika
noviana.ika.s@gmail.com

Mia Mariana
mia_putranto@yahoo.com

Yulia Yunararizky
yulia.yunararizky@yahoo.com

Ipeh Alena
ipehalena@gmail.com

Eni Lestari
shinra2588@yahoo.com

Asrina Maharani
asrina.maharani@gmail.com

Rinita
rinivir90@gmail.com

Arsha Mustika
arshamustika@gmail.com

Rico Martha
ricko.mr@gmail.com

Selvia Sari Rahmawati v2ituaza@yahoo.com

Aura Syifa Azzahra
aerashikenjiro@gmail.com

Cindy
cyn0514@gmail.com

Nurina Widiani
nurinawidiani84@gmail.com

Fiuh. Panjang. Tapi belum beres sih, hari ini aku belum mudik ke kampung untuk ngebungkusin paketnya.

Aku akan mengirimkan email pemberitahuan kepada para pemenang di atas. Sempat tidak sempat harap dibalas dalam 3x24 jam, atau aku akan memilih pemenang lainnya :))

Thanks for your participation!!

2016 Fox's Library Weeding Programme #4 Winners Announcement

Thank God It's Friday! Menjelang long weekend pula!

Dan Thank You buat teman-teman semua yang telah bersedia untuk menjadi adopter buku-buku malang yang kusiangi dari perpustakaan.

Dengan berakhirnya masa pendaftaran Giveaway 2016 #4 kemarin, sudah saatnya kushare siapa saja dari para calon adopter yang beruntung terpilih menjadi adopter sebagian koleksi komik yang sudah kusiangi.

Langsung saja, tanpa berpanjang-panjang, kuucapkan:


kepada para pemenang giveaway paket komik Lovely Complex dan Min-Min di bawah ini:

Yulia Yunararizky
yulia.yunararizky@yahoo.com

Muhajjah Saratini
m.saratini@gmail.com

serta 5 orang pemenang untuk 5 paket komik Serial Cantik @10 jilid di bawah ini :

1) Laras P. Astuti
flying_saucer02@yahoo.com
2) Chorina
chorina.ginting@gmail.com
3) Rinita
rinivir90@gmail.com
4) Elfira
elfira@elfira.org
5) Della Salsabila
Dellasalsabila01@gmail.com


Aku akan mengirim email pemberitahuan pada para pemenang di atas. Sempat tidak sempat mohon dibalas dalam 3x24 jam, atau aku akan memilih pemenang lainnya :))

Hidup Di Luar Tempurung



Judul : Hidup di Luar Tempurung

Penulis : Benedict Anderson

Penerjemah : Ronny Agustinus

Penerbit : Marjin Kiri

Tebal : 205 halaman

Dibeli di : Post Santa Blok M

Dibeli tanggal : 27 Agustus 2016

Dibaca tanggal : 3 September 2016

Komentar singkat:

Waktu pertama kali sengaja main ke Post Santa Blok M (pakai acara hujan-hujanan pula!) demi membeli satu buah buku yang susah dicari di toko buku offline dan online biasa, aku malah tergiur (baca: kalap) melihat display buku-buku terbitan Marjin Kiri (aku suka pilihan buku yang diterbitkan Marjin Kiri) yang nota bene juga rada susah dicari di toko buku offline dan online biasa, dan pada akhirnya pulang dengan beberapa di antaranya. Nah, buku ini salah satunya.

Seperti biasa, selain faktor penerbitnya, aku membeli buku ini karena (setelah membaca sinopsis di cover belakangnya) merasa buku ini sepertinya menarik. Untunglah, kali ini feeling-ku tidak meleset. IMHO, buku ini sangat, sangat, sangat menarik! Dan alhasil di Goodreads buku ini kurating:

Aku sudah cukup banyak membaca buku biografi yang cukup bervariasi, dari perwira militer, politisi, pengusaha, komika, bintang film, pelatih sepakbola, novelis, editor dan lain sebagainya, tapi otobiografi seorang akademisi? Rasanya cukup jarang. Apalagi akademisi yang satu ini pernah kerja lapangan di Indonesia, tetap cinta Indonesia meski dicekal puluhan tahun oleh rezim Orde Baru, lantas setelah meninggal dunia abunya disebar di Selat Madura.

Awalnya, buku ini hanya diterbitkan dalam bahasa Jepang dengan pasar sasaran mahasiswa-mahasiswi Jepang, untuk membantu mereka yang tak punya banyak bayangan akan konteks sosial, politik, budaya, dan zaman tempat para ilmuwan Anglo-Saxon lahir, mengenyam pendidikan, dan menjadi matang secara keilmuan. Namun menjelang akhir hayatnya buku ini diterbitkan juga dalam bahasa Inggris, dan pada akhirnya tentu saja dalam bahasa Indonesia.

Dalam buku tipis ini, Benedict Anderson menceritakan masa kecilnya, masa pendidikan di Irlandia dan Inggris, pengalaman akademisi di AS, kerja lapangan di Indonesia, Siam dan Filipina, disertai renungan perihal universitas di Barat, perbandingan-perbandingan antardisiplin ilmu, sampai menceritakan aktivitas di masa pensiun, sesekali ditambahi membahas buku atau film kesukaannya. Membaca buku ini seperti mendengarkan kakek kita bercerita tentang masa lalunya, kadang-kadang serius, kadang-kadang bergurau, dan kadang-kadang melantur suka-suka. Pokoknya, tidak membosankan! Penuturannya asyik untuk diikuti dan pengalaman hidupnya bikin sirik. Rasanya seperti membaca kisah petualangan Tintin di dunia nyata (minus karakter-karakter heboh macam Kapten Haddock atau Profesor Calculus), kalau Tintin seorang akademisi dan bisa menua.

Seperti biasa, aku juga suka penerjemahan Mas Ronny yang membuat ceritanya mengalir lancar. Hanya ada satu hal yang membuat kening sempat berkerut, yaitu pemilihan kata "bokap-nyokap" saat Om Ben (panggilan sayang teman-teman muda Indonesia) bercerita tentang ayah-ibunya. Kata-kata prokem yang saat ini rasanya sudah jarang terdengar ini terasa agak aneh di antara bahasa buku yang nyaris formal secara keseluruhan. Tapi belakangan, setelah dipikir-pikir lagi, pasti ada alasan khusus di balik pemilihan kata dari bahasa prokem itu. Mungkin karena itulah bahasa gaul anak muda yang dipelajari Om Ben sewaktu masih kerja lapangan di Indonesia dan terus melekat sampai sekarang. Bahkan, kalau melihat catatan Mas Ronny di akhir buku, dalam komunikasi tertulisnya dengan teman-teman Indonesianya, Om Ben masih demen menggunakan ejaan Suwandi ketimbang EYD.

Sebelum membaca buku ini, aku sudah membeli dan membaca buku Di Bawah Tiga Bendera karya Benedict Anderson yang juga terbitan Marjin Kiri. Setelah membaca buku ini aku jadi ingin mencari dan membaca karya-karya beliau yang lain, terutama bukunya yang paling terkenal, Immagined Communities, yang rupa-rupanya jadi buku pegangan mahasiswa yang mempelajari dan mendalami nasionalisme.