Monday, January 23, 2017

Drupadi: Perempuan Poliandris

Judul : Drupadi: Perempuan Poliandris

Penulis : Seno Gumira Ajidarma

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Tebal : 152 halaman

Dibeli di : Gramedia.com

Harga beli : Rp. 19.500,- (Harbolnas 70% off)

Dipesan tanggal : 12 Desember 2016

Diterima tanggal : 11 Januari 2017

Dibaca tanggal : 18 Januari 2017

Sinopsis :
“Maka hidup di dunia bukan hanya soal kita 
menjadi baik atau menjadi buruk,
tapi soal bagaimana kita bersikap kepada 
kebaikan dan keburukan itu.”
************
Dewi Drupadi tidak menyukai suratan. Kehidupan manusia tidak ada artinya tanpa perjuangan. Jika segalanya telah menjadi suratan, apakah yang masih menarik dalam hidup yang berkepanjangan? Apakah usaha manusia tidak ada artinya? Apakah semuanya memang sudah ditentukan oleh dewa-dewa? Seperti ia yang menjadi istri dari lima ksatria Pandawa?

Drupadi, Perempuan Poliandris, adalah novel terbaru karya Seno Gumira Ajidarma yang berkisah tentang cinta, dendam, hak seorang perempuan, dan kesetiaan menjalani peran dalam kehidupan.


Review :
Ada keuntungan dan kerugian tersendiri menjadi seorang perempuan yang dilahirkan sebagai seorang putri kerajaan. Tapi bukan sisi keuntungannya yang akan kubahas di sini, terutama bila objek pembahasannya adalah putri kerajaan Pancala, Drupadi.

Terlepas dari alasannya (yang bisa berkisar dari penaklukkan naga, penyembuhan wabah penyakit yang melanda seluruh negeri, atau hanya mencari calon menantu idaman), dalam sebuah dongeng atau lakon sudah biasa apabila seorang putri kerajaan dijadikan hadiah sayembara bagi siapapun yang sanggup memenuhi persyaratan. Duh, itu kan gambling banget! Masih mending kalau si pemenang sayembara masih muda, gagah dan ganteng, atau minimal memenuhi persyaratan pribadi sang putri. Kalau sebaliknya? Tidak semua putri bisa kongkalikong dengan naga seperti ini:


Pada sayembara memperebutkan Drupadi di buku ini, pemenangnya adalah yang sanggup memanah seekor burung yang berlompat-lompatan di atas kepala seorang penari yang menari berputar-putar dengan cepat. Karena tujuan sayembara bukan sekadar mencari menantu sakti mandraguna melainkan juga menjalin persekutuan politik dengan kerajaan lain, maka peserta sayembara dipersyaratkan berkasta ksatria dengan posisi yang minimal sejajar dengan Drupadi. Kalau bukan seorang raja, setidaknya seorang pangeran.

Buat para gadis yang bermimpi menikah dengan seorang pangeran atau raja, segeralah bertobat. Mengapa? Realistis sajalah, tidak semua raja dan pangeran masuk ke golongan yang tampan-gagah-perkasa-sakti-bukan-kepalang dan sekaligus baik budi pekertinya. Mungkin ada, tapi persentase Gary Stu macam begini hanya ada dalam dongeng. Drupadi dihadapkan pada kenyataan bahwa hampir semua raja dan pangeran yang berminat menyuntingnya tidak memenuhi standar dan seleranya. Untung saja mereka gagal dalam uji kompetensi.

Lalu, bagaimana bila pemenangnya ternyata seorang Arjuna?

Drupadi boleh saja berseru, "Aku mau menikah dengannya!" di depan semua yang hadir tanpa malu-malu, tapi apakah menikah dengan seorang Pandawa akan membawa kebahagiaan? Suratan takdir tidak berpihak kepadanya.

Kisah Drupadi bukan kisah yang baru bagiku. Di masa kecil aku mengetahuinya dari komik wayang versi Jan Mintaraga dan Teguh Santosa yang menjadi sisipan majalah Ananda serta kemudian versi komik R.A. Kosasih yang kupinjam dari taman bacaan. Belakangan ini aku membaca versi novel Chitra Banerjee Divakaruni. Dibandingkan cerita komik dan novel tersebut, menurut pendapatku boleh dibilang kisah yang dituturkan secara singkat oleh SGA ini (banyak episode yang dilompati) adalah versi yang paling realistis.

Dari sisi pernikahan Drupadi, ketimbang versi saduran cerita wayang Indonesia di mana Drupadi dipersembahkan kepada dan hanya menjadi istri Yudistira atau Samiaji, nasib Drupadi di sini adalah versi India, yang sesuai subjudul novelnya, Perempuan Poliandris, menikahi kelima ksatria Pandawa. Pernikahan ganjil itu juga bukan terjadi secara kebetulan, misalnya karena Dewi Kunti tanpa tahu duduk perkaranya menyuruh hadiah sayembara kerajaan Pancala dibagi sama rata buat kelima anaknya. Keputusan diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat (sampai di sini kita akan sadar bahwa tidak semua keputusan musyawarah baik adanya, terutama bagi objek penderita).

Dan apa untungnya punya lima suami, bila saat sang istri dihina oleh Kurawa, kelimanya hanya bisa menonton dan tak sanggup berbuat apa-apa? Siapa suruh Yudistira mempertaruhkan semua harta benda, bahkan sampai istrinya, di meja judi?

Penghinaan atas Drupadi di novel ini juga realistis. Begitu Dursasana menyeret Drupadi ke lokasi judi, tidak ada intervensi Batara Wisnu yang melindungi kehormatan Drupadi dengan membuat pakaiannya tak ada habisnya saat dilucuti. Begitu ditelanjangi, telanjanglah. Begitu diperkosa...

... bukan cuma Duryudana atau Dursasana yang menikmati kemenangan di meja judi ini. Seluruh kakak beradik Kurawa kebagian jatah! SGA sampai mempersembahkan khusus satu halaman untuk membuat daftar urut 100 orang Kurawa yang menggilir Drupadi di atas meja judi... termasuk Dursilawati!

Karenanya, untuk versi yang satu ini, mudah dipahami betapa dalamnya dendam Drupadi kepada Dursasana, kepada Kurawa. Dan sangat wajar apabila Drupadi murka ketika Pandawa yang sempat bimbang untuk memerangi Kurawa yang nota bene sepupu mereka. Tidak ingatkah mereka pada penghinaan Kurawa selama puluhan tahun terhadap keluarga mereka, kepada istri mereka? Tidak semua orang bisa bersikap legawa, bisa memaafkan. Tidak semua orang bisa melupakan dendam hanya karena ikatan persaudaraan.

Kisah Mahabharata tidak akan dimulai apabila tidak ada dendam Gandari, yang terpaksa menjadi istri Destarata yang buta, alih-alih menjadi istri Pandu, sehingga ia berambisi agar darah dagingnya, Kurawa, dapat merebut kekuasaan dari keturunan Pandu, Pandawa. Kisah Mahabharata tidak akan lengkap apabila tidak ada dendam Drupadi, yang menginginkan Pandawa menghabisi Kurawa yang telah menghinanya.

Begitu banyak dendam dalam kisah Mahabharata, yang tak mungkin semuanya dituliskan dalam buku tipis yang berfokus pada kisah Drupadi ini. Dan lingkaran dendam itu tak akan pernah terputus, meskipun perang besar antara Pandawa dan Kurawa berakhir di padang Kurusetra.

Selalu ada hikmah yang bisa dipetik dari setiap cerita. Mengingat akhir dari kisah Drupadi, yang terpuaskan dendamnya namun terhenti langkahnya dalam perjalanan moksa... bisakah kita melupakan dendam, menghilangkan semua amarah, fitnah, dengki, yang bisa mendidihkan darah dan menghanguskan jiwa?

P.S.
Komentarku singkatku atas buku SGA yang cukup mengaduk emosi ini dibuat dalam rangka mengikuti:
Kategori: Name In A Book


No comments:

Post a Comment