Tuesday, February 28, 2017

February Book Haul

Kalau dipikir-pikir, aku termasuk jarang melaporkan hasil belanja buku di blog. Bukan apa-apa sih, ada masanya aku masih kalap alias gelap mata kalau nemu buku diskonan, terutama di pameran atau bazaar buku. Apalagi waktu masih hot-hotnya pelaksanaan program BUBU (Beli Ulang Baca Ulang). Terlalu banyak soalnya.

Sekarang boleh dibilang aku sudah mengurangi taraf belanja bukuku ke tingkat yang cukup normal, yaitu belanja komik mingguan yang diselingi belanja satu atau dua buku nonkomik, baik secara online atau offline. Kalap belanja terakhir yang kualami sudah lumayan lama, di event Big Bad Wolf BSD tahun lalu, bahkan belanja di event Harbolnas Gramedia.com yang all item 70% saja aku terhitung masih bisa menahan diri. Yay!

Tapi... (iya ada tapinya), kadang-kadang kalau aku main ke mall dengan niat nonton film saja di akhir pekan, adaaaaa saja buku-buku yang tanpa sengaja terbawa pulang, apalagi kalau sampai ketemu lapak obralan Bybooks dan Periplus.

Karena di bulan Februari ini aku kepingin banget nonton Batman Lego, John Wick 2, dan Split... ternyata lumayan banyak juga buku yang kubeli tanpa rencana.

Pulang nonton Batman Lego di FX Senayan, aku mampir ke Bybooks dan Periplus, dan membawa pulang buku-buku yang harganya berkisar antara Rp. 10.000,- s/d Rp. 40.000,- per jilidnya.

11 Februari 2017
Dari lapak Bybooks, aku menemukan beberapa buku anak-anak, dari buku fiksi karya Michael Morpurgo, Jacqueline Wilson, Louis Sachar dan buku nonfiksi dari serial Horrible (Histories/Science/Geography). Yang bukan buku anak-anak antara lain buku Michael Chabon, Mary Roach, sampai buku biografi Andre Agassi.

Dari lapak Periplus, aku menemukan jilid 10 seri How to Train Your Dragon, dua buku Mohsin Hamid, David & Goliath-nya Malcolm Gladwell, The Rosie Project-nya Graeme Simsion dan In The Heart of the Sea-nya Nathaniel Philbrick (niatnya dibaca dulu sebelum ditonton versi filmnya).

12, 15, dan 18 Februari 2017
Selain buku-buku tersebut, masih ada buku yang kubeli dengan harga normal, misalnya manga Hunter X Hunter, Bakuman, dan Nisekoi yang kubeli di Gramedia Mal Ambassador sebelum menyeberang ke Lotte Shopping Avenue buat nonton film John Wick 2. Atau buku jilid 6 seri Mistborn-nya Brandon Sanderson dan buku Joe Hill yang kupesan dari Periplus. Buku lainnya adalah Koleksi Kasus 2 Sherlock Holmes yang kubeli via Tokopedia. Buku yang terakhir itu terpaksa kubeli dengan harga normal di sana karena aku terlanjur punya buku pertamanya. Waktu Halbornas di Gramedia.com aku order buku satu dan dua sekaligus sih, yang meskipun ordernya sukses, belakangan dibatalkan sepihak oleh Gramedia dengan alasan stok di gudang kosong. Eh, pas paket bukunya kubuka, buku yang masih tersegel ini ternyata masih terbungkus kantong plastik Gramedia... Ih, jadi curiga deh kalau si penjual buku mungkin salah satu sainganku waktu mengorder buku ini di Halbornas!

Minggu depannya, setelah selesai nonton film Split di FX Senayan, aku tetap mampir di lapak Bybooks dengan asumsi tak bakal banyak beli karena menduga koleksinya masih belum banyak perubahan, toh baru saja satu minggu. Eh, ternyata stoknya sudah bertambah... Jadinya... belanja lagi deh...

18 Februari 2017

Yang banyak kubeli kali ini adalah buku cerita anak-anak karya Dick King-Smith, penulis buku The Sheep-pig yang sudah diadaptasi jadi film Babe. Biasanya sih karena aku memprioritaskan untuk melengkapi koleksi Horrible Series, buku penulis anak-anak lain (kecuali buku Jacqueline Wilson) kulewatkan. Tentu saja, selain buku Michael Morpurgo dan Eoin Colfer, kali ini aku juga masih mencomot beberapa buku dari seri Horrible yang belum kumiliki (ada sebanyak apa sih serial ini?) Pas mau bayar di kasir, eh malah nemu buku ensiklopedi Sherlock Holmes. Harganya masih bikin nyeri dompet sih... tapi ya sudahlah.

Selanjutnya, pada weekend terakhir bulan Februari ini, aku tidak main ke bioskop. Selain belum ada film yang menarik, aku memang ada acara outbond kantor ke Yogyakarta. Pas acara bebas, sementara rekan-rekan main ke toko atau pasar di Malioboro untuk mencari oleh-oleh, aku main ke Taman Pintar Bookstore untuk sekadar "melihat-lihat". Apa boleh buat, ada saja buku yang kelihatannya menarik, meskipun sebenarnya sebagian bisa kubeli di toko buku online atau offline di Jakarta.

25 Februari 2017
Yang kugondol pulang antara lain buku-buku kumpulan cerpen Kompas, buku-buku Marjin Kiri, buku-buku Komunitas Bambu, dan buku-buku Benedict Anderson yang diterbitkan oleh Matabangsa. Bikin berat tas saja deh. Untungnya lima dari sekian buku di atas bisa kubaca selama perjalanan kereta api balik ke Jakarta.

Nah, pas sudah kembali ke kosan, eh pesanan komikku di Gramedia.com empat hari sebelumnya juga ternyata sudah datang.

26 Februari 2017

Duh, nambah-nambahin timbunan saja, meskipun belanjaan yang terakhir ini sebenarnya bisa segera dibaca sih, kalau badan tidak tepar gara-gara perjalanan jauh.

Omong-omong, saat ini sebenarnya masih ada buku yang kubeli secara online yang masih dalam perjalanan, tapi karena pada prinsipnya aku menginput database buku berdasarkan buku yang sudah kuterima secara fisik, biarlah buku-buku itu masuk ke laporan book haul berikutnya saja.

Fiuh, sudah ah, kok malah jadi panjang. Laporannya sampai di sini dulu saja, ya...


George Speaks

Judul : George Speaks

Penulis : Dick King-Smith

Penerbit : Puffin Books

Tebal : 92 halaman

Dibeli di : Bybooks FX Senayan

Harga beli : Rp. 20.000,-

Dibeli tanggal : 18 Februari 2017

Dibaca tanggal : 22 Februari 2017

Sinopsis :
George is no ordinary baby.
He looks ordinary, with his round face and squashy nose. But his sister Laura soon discovers that he's absolutely extraordinary. Everyone's life is turned upside down from the day George speaks!

Review :

1. Cover
Tanpa perlu membaca sinopsis di sampul belakang buku ini, calon pembaca sudah dapat mengira-ngira bagaimana isi buku ini kalau dikaitkan dengan judul dan gambar di sampul depannya. George Speaks. Padahal George masih bayi lho!

2. Cerita
Plot utamanya persis seperti yang tersirat di sampul bukunya. George yang masih bayi sudah bisa berbicara sejak lahir!

Lupakan cerita serupa tentang bayi lain yang juga sudah bisa berbicara sejak lahir. Kita tidak akan pernah tahu sebab-musababnya di balik kemampuan George atau hal-hal supranatural yang mungkin saja ada, karena alur buku ini murni membawa ceritanya ke ranah komedi situasi.

Meskipun sudah bisa berbicara sejak lahir, George baru berbicara dengan kakaknya yang sudah berumur tujuh tahun, Laura, ketika usianya menginjak empat minggu. Bayangkan seperti apa kagetnya Laura, karena mendadak adiknya bisa berbicara dengan fasih dan lancar, dengan tutur kata yang layaknya orang dewasa. Bukan itu saja, George jauh lebih pintar dari Laura, sampai membantunya untuk menghafal tabel perkalian segala!

Karena rahasia mereka tidak bisa disimpan lama-lama, George mulai berbicara sedikit-sedikit kepada orang tuanya. Mulanya satu-dua kata dulu, mengulangi kata-kata orang lain seperti beo. Lama-lama, ketika akhirnya George mulai berbicara dengan kalimat pendek, mereka sudah tidak kaget lagi.

"George speaks!"

Tentu saja George tidak puas kalau tidak bisa berbicara dengan bebas, sehingga akhirnya menentukan untuk mulai berbicara normal dengan siapa saja pada pesta ulang tahunnya yang pertama. Ia menentukan sendiri menu pesta, hadiah ulang tahun (ensiklopedia, tentu saja), dan tamu undangannya. Tidak, ia tidak mau tamu sesama bayi, melainkan orang dewasa semua (kecuali Laura tentunya)! Kakek-nenek, paman-bibi, semuanya diundang. Sederhananya, George ingin coming out!

3. Kesimpulan
Ceritanya absurd!

Membaca kalimat-kalimat yang diucapkan George, rasanya dia bukan seperti bayi yang terlalu pintar sehingga dewasa sebelum waktunya. Ia malah seperti orang dewasa yang terjebak dalam tubuh seorang bayi!

Well, coba tebak, dengan keahlian berbicara seperti itu, akan menjadi apa George saat benar-benar dewasa kelak!


Review ini dibuat dalam rangka mengikuti tantangan ini:
Kategori: Lima Buku dari Penulis Yang Sama




Mr Ape

Judul : Mr Ape

Penulis : Dick King-Smith

Penerbit : Corgi Yearling Books

Tebal : 128 halaman

Dibeli di : Bybooks FX Senayan

Harga beli : Rp. 15.000,-

Dibeli tanggal : 18 Februari 2017

Dibaca tanggal : 23 Februari 2017

Sinopsis :
Abandoned by his bossy wife and children, old Mr Ape finds himself living all alone in his huge and rambling house. And then he gets a brilliant idea: he can fill the house with animals, the pets his wife and children would never let him have. But pets have a habit of increasing and soon every room is stuffed to the brim with animals.

Review :

1. Cover
Iya, gambar sampulnya menipu. Kukira seperti cerita-cerita Dick King-Smith yang kubaca belakangan, tokoh utamanya binatang, yang dari judulnya sempat kukira seekor monyet, yang penampakannya seperti di film Planet of the Apes dan sekuel-sekuelnya. Gambar guinea pig yang terpajang di cover depan malah tambah bikin bingung. Apakah ini guinea pig yang dinamai Mr Ape?

2. Cerita
APE di sini ternyata singkatan nama tokoh utamanya, Archibald Peregrine Edmund Spring-Russell. Panjang benar ya namanya, mungkin karena itu disingkat jadi Mr. A.P.E. Spring-Russell.

Pertama kita berkenalan dengan Mr. Ape, ternyata ia hidup di rumah besar yang sunyi, sepi, sendirian. Setelah 30 tahun menikah, istrinya pergi meninggalkannya, dengan kalimat perpisahan yang menyakitkan,

"Right, Ape, i'm sick of this ugly great house and i'm tired of you, so I'm off."

Tiba-tiba saja Mr Ape kepikiran, daripada tinggal sendirian, ia bisa mengisi rumah dengan binatang, yang selama ini tidak bisa dipeliharanya karena dilarang oleh istri dan anak-anaknya.

Setelah melakukan garage sale sehingga isi rumahnya benar-benar kosong,  Mr Ape mulai menjalankan niatnya mengoleksi binatang. Dimulai dari ayam-ayam betina yang ditaruh di ruang tengah, lalu guinea pig di ruang makan, lantas keledai di kebun, disusul kelincim anjing, burung beo, dan seterusnya! Bagaimana lagi, rumahnya kan besar dan luas, bisa diisi banyak binatang!

Selain hidup bersama banyak binatang, Mr Ape juga berkenalan dan berteman dengan anak gipsi, Jake dan ayahnya Joe, hal yang menimbulkan gosip miring dari tetangga yang nyinyir, mengingat reputasi kaum gipsi yang kurang sedap, apalagi di lingkungan bangsawan. Hanya saja, Mr Ape sudah tidak peduli lagi pandangan orang lain, yang penting happy!

Dipikir-pikir, urusan Mr. Ape dan kebun rumah binatangnya ini mengingatkanku pada penulis buku ini, Dick King-Smith, yang penjelasan di Goodreads berbunyi : "Dick King-Smith was born and raised in Gloucestershire, surrounded by pet animals." Wajar saja kalau buku anak-anak yang ditulisnya kebanyakan bertema binatang!

Anyway, terlepas dari jalan ceritanya, judul-judul dari bab di buku ini membuatku teringat pada judul-judul episode (atau buku) dari serial Mr. Monk (detektif, bukan biksu), yang bisa dilihat dari daftar bawah ini:
- Ape Has a Brainwave
- Ape Goes to Market
- Ape Has Visitors
- Ape Has Gets Some Pets
- Ape Has a Birthday
- Ape Get Nice Surprises
- Ape Does a Deal
- Ape Starts a Fire
- Ape Hits Rock Bottom
- Ape Buys a House
- Ape Makes a Decision

3. Pelajaran yang bisa diambil
Jangan main api sembarangan, kalau tidak mau kebakaran!


Review singkat ini dibuat dalam rangka mengikuti tantangan ini:
Kategori: Lima Buku dari Penulis Yang Sama


Fat Lawrence

Judul : Fat Lawrence

Penulis : Dick King-Smith

Penerbit : Puffin Books

Tebal : 64 halaman

Dibeli di : Bybooks FX Senayan

Harga beli : Rp. 10.000,-

Dibeli tanggal : 18 Februari 2017

Dibaca tanggal : 23 Februari 2017

Sinopsis :
Lawrence is indeed a very fat cat. Well, he does manage to eat four good meals a day. But even Lawrence begins to think a cat can be just too fat. What can he do?

Review :
Lawrence, kucing hitam yang luar biasa gendut, hanya makan satu hari sekali.

Tapi, yang namanya satu kali itu:
- satu kali sarapan di rumah Mrs Higgins (di mana ia dikenal sebagai Lawrence Higgins)
- satu kali makan siang di rumah keluarga Norman (di mana ia dikenal sebagai Lawrence Norman)
- satu kali minum teh di rumah Mr Mason (di mana ia dikenal sebagai Lawrence Mason)
- satu kali makan malam di kediaman Barclay-Lloyds (di mana ia dikenal sebagai Lawrence Barclay-Lloyds).

Well, dia punya empat majikan, dan semuanya bingung karena Lawrence begitu gendutnya, padahal mereka cuma memberi makanan satu kali sehari.

Lawrence sendiri bukannya happy-happy saja. Lama-lama karena makin gendut, ia makin capek berkeliling dari rumah ke rumah. Belum lagi, ia jadi tidak pede untuk mendekati gebetannya, kucing betina bernama Bella. Mulailah ia cari petunjuk ke teman-teman di lingkungan rumah majikannya. Saran mereka serupa tapi tak sama: diet dong, bro!

"Tapi aku kan cuma makan satu kali sehari," rengek Lawrence pada masing-masing temannya, Bert, Fred, dan Percy.

Cuma Darius teman yang tahu alasan Lawrence menjadi gendut dengan makan satu kali sehari. Dan cuma Darius yang memberikan nasehat yang menggentarkan: Lawrence benar-benar harus makan satu kali sehari, dengan mengunjungi setiap majikannya secara bergantian setiap hari.

Tips diet dari Darius mulanya membuat Lawrence lapar dan para majikannya bingung, tapi jelas efektif karena Lawrence menjadi kurus dan fit.

Tapi... ada tapinya. Begitu Lawrence berani pedekate ke Bella...



Bella ternyata sudah jatuh cinta pada seekor kucing jantan hitam gendut yang sering dilihatnya berkeliaran di jalan!

Verdict :
Twist ending-nya, yang mengubah diet Lawrence kembali seperti semula membuatku merasa wajib memberi ponten lebih pada cerita ini:



Oh, Bella... You just wait!


Review (atau ringkasan cerita ya?) ini kubuat untuk mengikuti tantangan berikut:

Kategori: Lima Buku dari Penulis Yang Sama



The Hodgeheg

Judul : The Hodgeheg

Penulis : Dick King-Smith

Penerbit : Puffin Books

Tebal : 86 halaman

Dibeli di : Bybooks FX Senayan

Harga beli : Rp. 10.000,-

Dibeli tanggal : 18 Februari 2017

Dibaca tanggal : 23 Februari 2017

Sinopsis :
The story of Max, the hedgehog who becomes a hodgeheg, who becomes a hero!
Max's family dreams of reaching the Park. But no one has ever found a safe way of crossing the very busy road. Can Max really solve the problem?

Review :
Pertanyaan pertama yang timbul: mengapa landak menyeberang jalan?
Padahal biasanya pertanyaan yang standar adalah mengapa ayam menyeberang jalan.
Jawabannya sesuai keterangan di sinopsis buku: sampai ke tanah impian yang dijanjikan: taman.

Premis cerita buku anak-anak ini sederhana saja: bagaimana cara menyeberang jalan dengan aman, mengingat kakek, sepupu, dan tante dari tokoh utama buku ini telah menjadi korban.

Tokoh utama buku ini adalah seekor landak bernama Victor Maximilian St George, atau disingkat Max. Max bukan tipe yang hanya bermimpi untuk bisa mencapai Taman, tapi juga mau berusaha sampai ke tujuan dengan menempuh banyak risiko utama: tertabrak kendaraan yang lalu lalang di jalan raya!

Pertayaan kedua: mengapa judulnya Hodgeheg, bukan Hedgehog?

Begini ceritanya...Max nekad mencoba menyeberangi jalan, raya. Meskipun sebenarnya sudah sesuai aturan dengan berusaha menyeberang di zebra cross, tapi tetap saja ia tertabrak sepeda. membentur trotoar, dan mengalami gegar otak. Akibatnya, otaknya mulai korslet, terutama dalam berbicara. Setelah tertabrak, omongan Max mulai ngaco, tidak sinkron antara apa yang dipikirkan dan ada yang diucapkan. Hedgehog menjadi Hodgeheg, OK menjadi KO!

Meskipun otak dan mulutnya sudah tidak sinkron, tapi Max tetap gigih dalam upayanya menyeberangi jalan untuk mencapai ke taman. Masalahnya, menyeberang sendirian saja sudah amat sangat berbahaya sekali, bagaimana kalau ia mau mengajak rombongan keluarganya sekaligus? Bagaimana caranyaa?

Hikmah yang bisa diambil:
Do not give up, even if you cannot talk right again because of it!

Review ini dibuat dalam rangka memenuhi tantangan berikut :
Kategori: Lima Buku dari Penulis Yang Sama





Horse Pie

Judul : Horse Pie

Penulis : Dick King-Smith

Penerbit : Young Corgi

Tebal : 64 halaman

Dibeli di : Bybooks FX Senayan

Harga beli : Rp. 10.000,-

Dibeli tanggal : 18 Februari 2017

Dibaca tanggal : 22 Februari 2017

Sinopsis :
Captain, Ladybird and Herbert - two Shire horses and a Suffolk Punch - are not pleased when Jenny, a retired seaside donkey, arrives at the Old Horses' Home. It's supposed to be a home for horses, and they don't want to share their field with a common little donkey.
Then rustlers are spotted in the area: thieves who like nothing better than to steal horses and ship them abroad - to be made into horse pie! Can Jenny and her friends save the huge heavy horses?


Review :

1. Cover
Unyuuuu! Eh salah, unguuuu!
Kalau tidak membaca cover belakangnya, bisa jadi ada pertanyaan yang muncul saat melihat gambar cover depannya seperti ini : "Judulnya sih Horse Pie, tapi kenapa gambar sampulnya keledai?"
Catatan: ini kalau yang memberi komentar bisa membedakan gambar kuda dan keledai.

2. Cerita
Oke, seperti ditunjukkan gambar di cover buku ini, tokoh utama cerita ini adalah seekor keledai bernama Jenny.

Lalu apa hubungannya dengan judul yang secara harfiah berarti Pie Daging Kuda?

Jenny adalah satu-satunya keledai yang dititipkan di Old Horses' Home. Kehadirannya di sana tidak disukai oleh beberapa kuda, khususnya yang bernama Captain, Ladybird dan Herbert. Namanya juga tempat penampungan kuda tua, masa ada spesies yang derajatnya lebih rendah ikutan numpang. Ih, dideportasi sana!

Cerita jadi lain waktu mulai timbul rumor tentang pencuri kuda yang berkeliaran di sekitar tempat penampungan kuda. Dan gosip semakin sip karena konon kuda-kuda yang dicuri dikirim ke Prancis buat disembelih dan dijadikan pie daging kuda! Siap-siap saja, kuda yang kelihatan gemuk dan sehat pasti bakal diincar untuk dicuri. Captain, Ladybird dan Herbert termasuk ke golongan ini!

Cuma Alfie, salah seekor kuda yang mau berteman dengan Jenny. Tapi berbeda pandangan dengan Alfie, Jenny merasa perlu untuk berusaha menolong kuda-kuda lainnya dari nasib mengenaskan berakhir di perut orang Prancis. Dan semua itu tidak mudah. Perlu kerja sama yang kompak dengan para kuda, termasuk tiga kuda gemuk yang demen membully Jenny!

3. Pelajaran yang bisa dipetik
Pertama, orang Prancis suka makan daging kuda, terutama dalam bentuk pie.
Kedua, jangan rasis, ah. Kuda dan keledai memang berbeda spesies, tapi kan masih satu Ordo, Ordo Perissodactyla, masih sama-sama mamalia, masih sama-sama makhluk Tuhan.
Ketiga, jangan terjebak stereotype yang menuduh keledai itu bodoh dan keras kepala.


Review ini dibuat untuk mengikuti tantangan :
Kategori : Lima Buku dari Penulis Yang Sama

E.S.P.

Judul : E.S.P.

Penulis : Dick King-Smith

Penerbit : Young Corgi

Tebal : 80 halaman

Dibeli di: Bybooks FX Senayan

Harga beli : Rp. 10.000,-

Dibeli tanggal : 18 Februari 2017

Dibaca tanggal : 22 Februari 2017

Sinopsis :
Old Smelly loves to bet on the horse races, but he never has much luck - until he meets Eric Stanley Pigeon, that is. For this young bird has a very unusual talent... Old Smelly dreams of winning a fortune, but will his dreams come true?

Review :

1. Cover
Aku suka warna merah oranye yang mendominasi cover buku ini. Aslinya, di lapak Bybooks ada dua jilid buku ini dengan dua macam cover yang berbeda. Jilid yang pertama kucomot covernya didominasi warna biru muda, sementara jilid yang kutemukan berikutnya adalah jilid dengan cover di atas. Sebagai pecinta warna merah, sudah pasti yang kubeli jilid buku yang terakhir.

2. Cerita
Apa arti E.S.P. di judul ini?

Apakah singkatan dari Extra Sensory Perception? Apakah ini buku tentang seekor burung yang memiliki kekuatan ajaib?

Yah, memang itu sih plot utama cerita ini. Buku tentang burung merpati yang mungkin saja seekor esper. Tapi ESP juga bisa berarti singkatan dari Eric Stanley Pigeon, nama burung merpati yang bersangkutan.

Lahir dan bersarang di tumpukan koran di puncak gedung bertingkat, ESP ternyata punya hobi mematuk-matuk koran. Segmen koran yang dipatuknya spesial pula: pacuan kuda. Sudah begitu, ternyata nama kuda yang dipatuk ESP ternyata nama kuda pemenang pacuan!

Meski ESP tidak tahu kebetulan tersebut, ternyata hasil patukannya dibaca oleh seorang gelandangan yang dijuluki Old Smelly (kira-kira asal usul julukannya sudah cukup jelas). Karena sehari-harinya ia hobi tidur beralas dan berselimutkan koran, tanpa sengaja ia menemukan bahwa ada seekor burung yang suka mematuk pemenang pacuan! (Iya, ini aslinya permainan kata, pecked a winner dari picked a winner).

Namanya juga manusia. Begitu dapat kesempatan untuk menguji teori kekuatan ajaib ESP, langsung deh Old Smelly memasang taruhan di pacuan yang akan datang, dan... menang! Begitu dicoba lagi... eh ternyata menang lagi!

Jangan-jangan, ESP memang punya kekuatan ESP!
Jangan-jangan Old Smelly bisa kaya raya!
Jangan-jangan Old Smelly bisa tidak bau lagi!
Eh, yang terakhir mah kayaknya belum tentu deh... tapi yang pertama dan kedua juga belum tentu!

3. Hikmah
Sebagaimana layaknya buku cerita anak-anak, selalu ada hikmah yang bisa dipetik dan dipelajari oleh pembaca. Di sini, intinya jelas: jangan menggantungkan diri pada keberuntungan, melainkan pada usaha dan kerja keras!


Review singkat ini kubuat dalam rangka mengikuti tantangan ini:

Kategori: Children Literature


The Sheep-Pig

Judul : The Sheep-Pig

Penulis : Dick King-Smith

Penerbit : Puffin Books

Tebal : 134 halaman

Literary Awards : Guardian's Children's Fiction Prize (1984)

Dibeli di : Bybooks

Harga beli : Rp. 20.000,-

Dibeli tanggal : 18 Februari 2017

Dibaca tanggal : 22 Februari 2017

Sinopsis :
When Babe, the little orphaned piglet, is won at a fair by Farmer Hogget, he is adopted by Fly, the kind-hearted sheep-dog. Babe is determined to learn everything he can from Fly. He knows he can't be a sheep-dog. But maybe, just maybe, he might be a sheep-pig.

Review :
Pernah menonton film Babe (1995)?


Kisah tentang babi penggembala domba ini ternyata merupakan adaptasi dari buku anak-anak karya Dick King-Smith, yang pertama kali terbit pada tahun 1983.

Kisahnya sederhana, tentang seekor anak babi (yang kemudian dipanggil Babe, karena ia ingat ibu kandungnya pernah memanggilnya demikian), yang dipelihara oleh seorang petani bernama Hogget, yang memperolehnya secara tak sengaja karena berhasil menebak beratnya dengan tepat. Karena Pak Hogget tidak memelihara babi, rencananya Bu Hogget akan menyembelihnya untuk hidangan natal.

Sebagai babi sebatang kara, akhirnya Babe menjadi anak angkat Fly, anjing gembala betina yang tengah membesarkan anak-anaknya.  Justru karena salah asuhan itulah tingkah laku Babe meniru dan menyerupai anjing, sampai belajar pula bagaimana menggiring ternak. Begitu anak-anak Fly dibeli orang untuk bekerja sebagai anjing gembala profesional di tempat lain, Fly mencurahkan segala perhatian dan usahanya untuk mendidik Babe.

Lalu, bagaimana cara Babe menggiring kawanan domba? Apakah benar-benar sama dengan ajing gembala pada umumnya?

Ternyata tidak. Kawanan domba patuh kepada anjing gembala karena ketakutan, karena bagi mereka para anjing sama dengan srigala. Mereka patuh dan menurut kepada Babe, justru karena babi kecil itu selalu bersikap sopan dan meminta mereka untuk melakukan apa yang disampaikannya secara baik-baik.

Tapi tentu saja, bakat Babe tidak terlewatkan begitu saja oleh Pak Hogget. Diam-diam ia mendaftarkan babinya pada kompetisi anjing gembala yang disiarkan di televisi secara nasional! Masalahnya, semua domba di pertanian Hogget mematuhi perintah Babe karena mereka sudah mengenalnya dan menganggapnya teman baik, sementara para domba yang ada di kompetisi benar-benar domba asing yang tidak mengenal Babe! Bagaimana caranya agar Babe bisa mengalahkan para anjing gembala profesional yang menjadi saingannya?

Babe, versi adaptasi film buku ini dibuat di Australia, dengan sutradara Chris Noonan, sedangkan visual effect dikerjakan oleh Rhythm & Hues Studios dan Jim Henson's Creature Shop. Selain sukses secara finansial, filmnya juga sukses menuai pujian (saat ini rating di Rotten Tomatoes masih 97%!), mendapatkan tujuh nominasi Academy Award, termasuk Best Picture, Best Director, Best Adapted Screenplay, dan menang di kategori Best Visual Effect. Selain itu, film Babe juga memenangkan Best Motion Picture - Musical or Comedy di Golden Globe Award.

Omong-omong, ternyata salah satu pengisi suaranya adalah Hugo Weaving, lho. Sayangnya tokoh yang diperankannya adalah tokoh tambahan yang tidak ada di versi bukunya.

Best quote :
"That'll do, Pig. That'll do."

Verdict :


Review ini dibuat dalam rangka mengikuti :

Kategori: Award Winning Books



Tuesday, February 21, 2017

The War of Art

Judul : The War of Art

Subjudul : Break Through the Blocks and Win Your Inner Creative Battles

Penulis : Steven Pressfield

Penerbit : Black Irish Entertainment

Tebal : 190 halaman

Tanggal dibaca : 06 Februari 2017

Verdict :

Review :
Judul buku ini bukan salah ketik. Ini bukan bukunya Sun Tzu yang kesohor berabad-abad itu.

Judul buku ini juga sempat bikin aku salah paham, sih. Mengingat beberapa buku Steven Pressfield yang sudah kumiliki dan kubaca termasuk genre historical fiction, semula kukira buku ini juga setipe, atau minimal historical nonfiction gitu. Mungkin karena belum lama ini aku membaca manga Au Revoir, Sorcier yang membahas perseteruan antara kaum ningrat yang ingin memonopoli seni dengan para seniman jalanan.

Ternyata... perang yang dimaksud pada judul buku ini adalah perang para artis, khususnya penulis, melawan dirinya sendiri, melawan kecenderungan untuk resisten dan suka menunda-nunda.

Bukan cuma buat artis atau penulis, tentunya, karena secara umum buku ini juga dapat dibaca dan dijadikan pedoman buat kita semua, manusia biasa yang punya penyakit bawaan yang sama: malas.

Di halaman awal, Pressfield memberi daftar contoh kegiatan yang pada umumnya menimbulkan resistensi:
1. Memenuhi panggilan jiwa dalam menulis, melukis, bermusik, menari, atau seni kreatif apapun;
2. Membuka usaha, baik yang mencari laba ataupun tidak;
3. Berdiet atau bergaya hidup sehat;
4. Meningkatkan kegiatan spiritual;
5. Setiap aktivitas yang bertujuan mengencangkan otot perut;
6. Setiap kursus atau program yang dirancang untuk mengatasi kebiasaan buruk atau ketagihan;
7. Segala bentuk pendidikan;
8. Setiap tindakan politis, moral atau etis, termasuk keputusan untuk berubah untuk menjadi lebih baik dalam pikiran maupun perbuatan;
9. Melakukan kegiatan yang bertujuan membantu orang lain;
10. Mengambil tindakan yang membutuhkan komitmen: menikah, punya anak, memperbaiki hubungan

Dari daftar di atas, kira-kira mana saja yang menjadi resolusi kita di awal tahun, dan kemudian kita tetapkan sebagai resolusi awal tahun berikutnya?

Perilaku menunda-nunda adalah manifestasi yang paling lazim dari resistensi.

Ada satu quote yang selalu kuamini selama ini, karena... cocok:

Never put off until tomorrow what you can do the day after tomorrow
---Mark Twain

Tidak ada yang lebih asyik daripada menunda-nunda sesuatu yang sebenarnya bisa dikerjakan sekarang (kalau mau), dengan seribu satu alasan yang rasa-rasanya sih valid :P

Kalau yang ditunda sifatnya iseng (seperti menulis review buku ini, misalnya) sih kemungkinan besar tidak apa-apa. Tapi kalau sudah masuk ranah pekerjaan dan profesional, konsekuensinya bisa ke mana-mana deh. Ujung-ujungnya duit. Bisa duit perusahaan, duit orang lain, dan yang lebih gawat lagi: duit sendiri.

Omong-omong, apa sih definisi profesional menurut Pressfield?
1. We show up everyday.
2. We show up no matter what.
3. We stay on the job all day.
4. We are committed over the long haul.
5. The stakes for us are high and real.
6. We accept remuneration for our labor.
7. We do not overidentify with our jobs.
8. We master the technique of our jobs.
9. We have a sense of humor about our jobs.
10. We receive praise or blame in the real world.

Bersikap profesional bagi orang kantoran lebih mudah karena hak dan kewajiban, kedisiplinan, penghargaan dan sanksi sudah diatur jelas dalam peraturan perusahaan. Bersikap profesional bagi seniman relatif lebih berat karena ia sendiri yang harus bisa mengendalikan kedisiplinannya.

Di buku ini, Pressfield memberikan resep dan strategi bagi para profesional di bidang seni (khususnya para penulis seperti dirinya) untuk melawan resistensi dan perilaku menunda-nunda agar tidak berkembang menjadi kebiasaan, karena terlalu banyak godaannya. Sengaja tidak kukutip di sini, karena selain terlalu banyak, tulisan ini hanya dimaksudkan sebagai review singkat, bukan ringkasan buku. Kalau memang ingin tahu lebih jauh, akan lebih baik bila membaca bukunya saja.

Akhir kata, kututup review ini dengan surat dari seniman Sol LeWitt kepada rekannya Eva Hesse, pada tahun 1965:


Just stop thinking, worrying, looking over your shoulder, wondering, doubting, fearing, hurting, hoping for some easy way out, struggling, grasping, confusing, itching, scratching, mumbling, bumbling, grumbling, humbling, stumbling, numbling, rambling, gambling, tumbling, scumbling, scrambling, hitching, hatching, bitching, moaning, groaning, honing, boning, horse-shitting, hair-splitting, nit-picking, piss-trickling, nose sticking, ass-gouging, eyeball-poking, finger-pointing, alleyway-sneaking, long waiting, small stepping, evil-eyeing, back-scratching, searching, perching, besmirching, grinding, grinding, grinding away at yourself. Stop it and just DO.


Serta kata-kata bijak dari Yoda kepada Luke Skywalker:

Do. Or Not Do. There Is No Try.


Self Improvement and Self-Help

Sherlock: A Study in Pink

Judul : Sherlock: A Study in Pink

By : Steven Moffat, Mark Gatiss, Jay

Penerbit : m&c!

Tebal : 216 halaman

Dibeli di : Gramedia.com

Harga beli : Rp. 35.000,- (diskon 30%)

Dipesan tanggal : 19 Januari 2017

Diterima tanggal : 29 Januari 2017

Dibaca tanggal : 03 Februari 2017

Review :
BEWARE: REVIEW MANGA INI SANGAT BIAS, karena dibahas oleh salah seorang penggemar serial teve Sherlock, yang sudah menonton semua episodenya berulang kali, apalagi episode pertama season pertama yang diwujudkan dalam bentuk manga ini.

Omong-omong, manga ini termasuk ke dalam golongan manga yang amat sangat terlambat sekali muncul versi terjemahan resminya di Indonesia, karena baru terbit tanggal 11 Januari 2017, saat Sherlock Season 4 sudah tayang. Memang sih aku sudah pernah membaca versi scanlation-nya, tapi tentu saja aku merasa wajib punya begitu m&c! merilis manga ini.

Oke, sekarang kita bahas singkat saja yuk...   

1. Cover
Begitu segel plastik dibuka, ternyata cover manga ini berupa flap cover! Jadi nostalgia nih, teringat masa-masa waktu manga (versi Elex Media) pertama kali terbit di Indonesia.

cover depan
cover belakang
Ada gambar hitam putih Mycroft Holmes dan John Watson di cover bagian dalamnya! Salah satu pertimbangan dihilangkannya flap cover untuk manga di Indonesia sudah pasti untuk menekan biaya. Manga ini harganya lumayan mahal, lebih dari dua kali harga manga biasa saat ini. Kebetulan saja aku belinya pas ada diskon 30% di Gramedia.com. 

2. Artwork & Chara Design
Artworknya rapi, dan boleh dibilang seperti storyboard yang cukup detail untuk episode pertama serial tevenya. Sedetail apa? Untuk gambar background, wallpaper dan segala pernak-pernik berantakan yang ada di Flat di Baker Street 221B, misalnya. 

Tapi sejujurnya, aku tidak terlalu suka dengan chara design-nya. Sepertinya dari semua chara yang ada, menurut pendapatku cuma chara design Sherlock yang mendekati versi serial tevenya, lengkap dari tulang pipinya yang tinggi sampai kemejanya yang kekecilan satu nomor.



3. Story
Aku sudah bilang kalau manga ini seperti storyboard untuk episode pertama season pertama serial tevenya, kan? Namanya juga versi adaptasi manga. Jalan cerita dari panel ke panel mengikuti adegan dan dialog di serial tevenya.

4. Terjemahan
Karena aku sudah terlalu sering menonton episode ini dengan teks bahasa Inggrisnya, otomatis aku jadi ingat secara verbatim dialog yang diucapkan para karakternya. Sewaktu aku membaca versi scanlation-nya, dialog asli dari serial teve itulah yang dicantumkan di sana. Nah sekarang, waktu aku membaca versi terjemahan Bahasa Indonesianya, aku malah merasa ada sesuatu yang tidak pas, karena terdapat pergeseran makna di sana-sini. Secara keseluruhan, karena cuma sedikit, tidak mengganggu jalan ceritanya sih, tapi tetap saja membuatku jadi merasa gatal. Entah apa penyebabnya. Mungkinkah karena manga ini diterjemahkan dari versi bahasa Jepangnya, sehingga menimbulkan lost in translation

5. Verdict
Seperti peringatan di atas, penilaian atas manga ini sangat bias. Meskipun terdapat beberapa aspek yang tidak begitu kusukai dari manga ini, aku bersyukur serial Sherlock ada versi adaptasi manganya, dan aku juga bersyukur akhirnya ada penerbit lokal yang menerbitkannya secara resmi. Karena itu, apapun kekurangannya, tetap saja manga ini kuponten :

Graphic Novels & Comic Books





Saturday, February 18, 2017

Au Revoir: Sorcier

Judul : Au Revoir, Sorcier

Mangaka : Hozumi

Penerbit : Level Comics

Terbit : Desember dan Januari 2017

Dibeli di : Gramedia.com

Dipesan tanggal : 19 Januari 2017

Diterima tanggal : 29 Januari 2017

Dibaca tanggal : 02 Februari 2017

Final Verdict :

Review :
Buat mereka yang mengenali nama Vincent Van Gogh dan mengetahui satu atau dua karyanya yang terkenal (atau termahal)...

Atau buat mereka yang pernah membaca novel Lust for Life karya Irving Stone atau versi filmnya yang digawangi Kirk Douglas...

Atau buat mereka yang pernah menonton film dokumenter BBC tahun 2010, Van Gogh: Painted with Words yang diperkuat oleh akting Benedict Cumberbatch...

minimal tahu sedikit (meskipun lupa-lupa ingat) seperti apa kisah hidup Van Gogh dan bagaimana hubungannya dengan adiknya, Theodore Van Gogh.

Manga dua jilid karya Hozumi ini berkisah tentang kehidupan (dan kematian) kakak beradik Van Gogh. Namun demikian, peringatan khusus buat yang sudah terlanjur berharap jalan ceritanya mendekati sama dengan karya-karya di atas, karena manga ini merekonstruksi total karakter dan kisah hidup Vincent Van Gogh.

Petunjuk utama: lihat saja cover manga dua jilid ini.

Cover jilid 1 menampilkan Theo Van Gogh, sang adik yang berprofesi sebagai art dealer jenius dan sukses di galeri seni ternama, Goupil & Cie. Dukungan finansial dan emosional dari sang adik inilah yang membuat sang kakak bisa fokus dan mendedikasikan seluruh hidupnya untuk melukis.

Cover jilid 2 menampilkan Vincent Van Gogh, sang kakak yang pelukis jenius, yang memandang dunia dengan segala macam suka dukanya dari kacamata keindahan, dan semua itu tercermin dari karya-karyanya yang mencerminkan keindahan semata, apapun objeknya. Vincent Van Gogh yang digambarkan di sini memang merupakan karakter yang easy going dan happy-go-lucky! Kelihatan banget dari covernya, lugu dan polos, kan?

Sebagai orang yang menyukai seni namun tidak punya bakat menggambar sedikit pun, Theo iri sekaligus kagum pada bakat kakaknya, yang terlalu polos untuk menyadari karunia yang dimilikinya. Namun berbeda dengan kakaknya yang putus sekolah, Theo bisa menyalurkan minatnya pada dunia seni dengan caranya sendiri. Keinginan besarnya untuk menunjukkan kejeniusan dan karya kakaknya pada dunia, sekaligus karya para pelukis jalanan lainnya yang terpinggirkan, membuatnya melancarkan perang gerilya, bahkan perang terbuka dengan pihak Academie Des Beaux-Arts, yang membatasi bahwa seni adalah melukis objek yang mermartabat dan hanya bisa diapresiasi oleh kalangan yang bermartabat pula.

Perjuangannya membebaskan seni hingga bisa dibuat oleh siapa saja dan dinikmati siapa saja ini membuat Theo mendapat musuh dari pihak Academie, yang berusaha menyakitinya dengan menggunakan orang yang paling dekat dengannya. Pada saat Theo diancam untuk memilih antara mundur dari dunia seni atau Vincent mati di depan matanya, baru terungkap bahwa Vincent yang tampak selalu bahagia tanpa memikirkan apapun sebenarnya juga iri dan kagum pada adiknya, yang memiliki kecerdasan dan kharisma yang tidak dimilikinya. Dalam drama yang menyusul kemudian, tragedi telinga Van Gogh di sini mendapat asal-usul yang berbeda!

Namun, bukan berarti manga ini menafikan kisah Van Gogh bersaudara yang kita kenal selama ini, karena... semua kisah hidup Vincent Van Gogh yang tragis itu, yang didasarkan pada korespondensi antara Theo dan Vincent, "ternyata" merupakan hasil karangan Theo semata! Mengapa?

"Almarhum kakakku tidak punya nama, tapi dia seorang pelukis genius. Tapi kehidupannya amat sangat biasa. Dia itu selalu mengembara tanpa tujuan dan melukis. Selalu melukis untuk orang lain dan tertawa cengenesan, lalu meninggal ditusuk penjahat di saat akan memulai karier... kehidupannya membosankan. Kau ingin melihat lukisan pria macam itu? Kehidupan pelukis yang menarik perhatian orang seharusnya menyedihkan dan penuh gairah."

Semata-mata agar masyarakat tertarik untuk mengenal dan mengapresiasi karya lukis kakaknya...

Terlepas dari kisah ceritanya yang kugolongkan ke golongan "what if" ini, yang membuatku memberi nilai lebih pada manga ini seperti biasa adalah hubungan cinta dan kasih sayang yang digambarkan begitu dalam di antara para karakternya, dalam hal ini Van Gogh bersaudara. Dan tentu saja, karakter Theo yang digambarkan jauh lebih menonjol dibandingkan Vincent. Bagaimanapun, dialah tokoh utamanya, dan dialah yang disebut sebagai Sorcier, sang penyihir, pada judul manga ini,